Archive for Agustus, 2009

Dokumentasi Cirebon oleh Orang Asing

Orang asing yang telah aktip pada bidang dokumentasi adalah Dr. Michael Richard Wright, yang buku pentingnya “The Music Culture of Cirebon” 1978 merupakan yang pertamakali memberikan detil analisa tentang Gamelan Tradisional klasik dari Cirebon. Beliaulah yang telah memperkenalkan saya kepada guru saya , almarhum Bapak P.H. Yusuf Dendabrata. Tulisan Dr Wright telah dilestarikan oleh seorang kelahiran belanda bernama Bernard Suryabrata, yang tinggal di Cirebon dan yang telah banyak menulis artikel tentang musik Cirebon.

Pamela Rogers-Aguiniga (telah memperkenalkan saya pada Gamelan Cirebon dan Topen di tahun 1974), telah melakukan studi tentang Topeng Cirebon dengan legendaris Bi Dasih dari desa Ciliwung pada tahun 1970 an dan kemudian dengan Pak Sujana Arja – dinamika dalang topengdari desa Slangit. Tesisn Pamela di tahun 1986 telah mendokumentasikan secara detil Topeng Cirebon gaya Slangit.

Dr. Michael Ewing, sekarang ini adalah guru besar bahasa pada Universitas Melbourne, Australia telah mempublikasikan beberapa pekerjaan berkenaan dengan bahasa Jawa dialek Cirebon. Beliau lama belajar pada penari topeng piawai Pak Sujana Arja, beliau telah belajar melakukan semua kelima karakter dari Topeng Cirebon. Disamping melakukan pekerjaan profesinya, Michael adalah pemimpin Gamelan Cirebon dan Tari ansambel “Putra Panji Asmara” di Melbourne, Australi.

Chad Bailey Nielson telah melakukan studi Gamelan di akademi akademi seni Seattle Comish College of Arts dan di College of Santa fe di New Mexico, yang memiliki Gamelan Cirebon berusia 150 tahun. Pada tahun 2005, ia melakukan perjalanan ke Cirebon untuk merekam dan mendokumentasikan gaya permainan cepat Gender Cirebon oleh salah seorang pemain yang terakhir masih hidup. Chad baru baru ini meluncurkan situs www.gamelancirebon.org sebagai salah satu sumber online diperuntukkan pada Gamelan Cirebon Klasik. Disitu ada ilustrasi tentang instrumen gamelan, juga ada daftar arti dari kata kata khusus atau istilah istilah dari Gamelan Cirebon.

Saat ini, Dr. Matthew Isaac Cohen mungkin merupakan orang yang paling banyak menghasilkan tulisan tulisan tentang Cirebon. Jumlah artikel dan bukunya (dari hitungan terakhir saya sudah lebih dari 30 !) telah mengalirkan pencerahan baru dan meluruskan kesalah pahaman tentang Keraton Cirebon dalam konteks kebudayaan Indonesia. Disertasi doktoral pada WayangKulit Cirebon sesungguhnya merupakan sebuah detil ensiklopedi Kebudayaan Cirebon. Matthew telah menjadi seorang dalang Cirebon dan ia sekarang adalah Pengajar Senior pada Departemen Drama dan Teater dari Universitas Royal Holloway di London.

Richard North telah melakukan studi, mengajar dan menggelar pertunjukan Gamelan Cirebon sejak tahun 1976. Beliau telah banyak mempelajari berbagai aspek dari Budaya Cirebon dengan almarhum Pangeran Yusuf Dendabrata pada Keraton Kacirebonan dan meneruskan studinya dengan anaknya Pak Yusuf, Pangeran Haji Tomi Dendabrata. Beliau telah mengajar Musik Cirebon pada Hawaii Loa College dan North Seattle Community College. Beliau pernah menjadi editor tamu dari Journal Balungan edisi Desember 1988 yang diperuntukkan khusus untuk memuat Seni Cirebon dan ikut memberikan konstribusi 3 buah artikelpada edisi tersebut. Beliau saat ini adalah pengarah pada Gamelan Sinar Surya, sebuah grup Gamelan Cirebon di Santa Barbara, Amerika, dan sekarang bekerja sama dengan para musisi gamelan di Cirebon untuk menolong menemukan kembali puing puing yang telah hilang dari gubahan klasik.
(Biografi Richard North seperti ditulis oleh Chad Bailey Nielson)

Dijukut sing http://www.cirebonarts.com/intro6_id.php

Cirebon Merdeka Lebih Dulu

Begitu Jepang kalah perang, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia dikumandangkan secepatnya. Proklamasi Cirebon dibacakan lebih cepat.

TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.

Tak banyak warga Cirebon tahu dua tugu tersebut merupakan saksi sejarah. Di tugu itu, pada 15 Agustus 1945, dokter Soedarsono membacakan teks proklamasi. ”Hanya para sesepuh yang mengingat itu sebagai tugu peringatan proklamasi 15 Agustus,” tutur Mondy Sukerman, salah satu warga Cirebon yang aktif dalam Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia. Kakek Mondy, Sukanda, aktivis Partai Sosialis Indonesia, hadir saat proklamasi ini dibacakan di kota udang itu.

Saat Soedarsono membacakan teks proklamasi, sekitar 150 orang memenuhi alun-alun Kejaksan. Sebagian besar anggota Partai Nasional Indonesia Pendidikan. Cirebon memang merupakan salah satu basis PNI Pendidikan.

Soedarsono sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Setelah siaran radio BBC pada 14 Agustus 1945 mewartakan kekalahan Jepang oleh Sekutu, Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya. Sjahrir menunggu Bung Karno dan Bung Hatta untuk menandatangani teks proklamasi sebelum 15 Agustus 1945. Sjahrir khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Soekarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi di Saigon. Ternyata harapannya tidak tercapai.

Ada dua versi asal-usul penyusunan teks proklamasi versi Cirebon. Menurut Maroeto Nitimihardjo, lewat kesaksian anaknya, Hadidjojo Nitimihardjo, Soedarsono tak pernah menerima teks proklamasi yang disusun Sjahrir. Maroeto adalah salah satu pendiri PNI Pendidikan.

Informasi diperoleh Maroeto ketika bertemu dengan Soedarsono di Desa Parapatan, sebelah barat Palimanan, saat mengungsikan keluarganya selang satu hari sebelum teks dibacakan di Cirebon. Soedarsono mengira Maroeto membawakan teks proklamasi dari Sjahrir.

”Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon,” ungkap Hadidjojo dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan, yang pekan-pekan ini akan diterbitkan. Sayang, jejak teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono tak berbekas. Tak ada yang memiliki dokumennya.

Kisah berseberangan diungkap Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya.

Penyusunan teks proklamasi ini, antara lain, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.

Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: ”Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga.”

Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Sjahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. ”Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,” kata Sjahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Sjahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Selain mempersiapkan proklamasi, Sjahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan ”virus” proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.

Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Sjahrir. Dan keinginan Sjahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.

Dijukut sing  http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129721.id.html