Posts from the ‘Gegedug Maestro Cerbon’ Category

Karya Legendaris [ Sing Kawentar ]

Karya-karya tarling legendaris:

A.       Drama

1.       Baridin, karya Abdul Adjib

2.       Saedah Saeni, karya Uci sanusi

3.       Ajian Semar mesem

4.       Kang Ato Ayame Ilang (Gandrung Kapilayu), karya Sunarto MA.

5.       Sruet, tarling Cahaya Muda/H. T Ma’mun

B.       Kiser Manunggal, karya Jayana.

C.       Lagu-lagu hits

1.       Warung Pojok, Hj. Uun

2.       Kembang Boled, Cipt. Hj. Abdul Adjib

3.       Nambang Dawa, Ini Damini

4.       Manuk Dara Sepasang, Hj. Dariyah

5.       Sulaya janji, Hj, Dariyah

6.       Pemuda Idaman, Itih, S

7.       Jawa Sunda, Yoyo Suwaryo

8.       Mboke Bocah, Yoyo Suwaryo

9.       Pengen Dikawin, Dewi Kirana

10.     Sewulan Maning, Aas Rolani, dst.

Grup-grup Tarling:

a)       Putra Sangkala, pimpinan H. Abdul Adjib

b)       Nada Budaya, pimpinan Sunarto martaatmadja

c)       Kamajaya Grup, pimpinan Udin Zaen

d)       Primadona, pimpinan Pepen Effendi

e)       Cahaya Muda, pimpinan H. Ma’mun/Hj.Dariyah

f)       Bhayangkara Putra Buana

g)       Chandra Lelana, pimpinan Maman Suparman

h)       Jaya Lelana, pimpinan Jayana

i)        Dharma Muda, pimpinan Yoyo Suwaryo

*Jaran Guyang         : Ajian pengasihan untuk memelet seorang yang kita cintai       

*Ranggon/jondol      : semacem balai tempat santai/gazebo/pos ronda

dijukut sing http://sejarah.kompasiana.com/ kesuwun Kang…

Maestro Seni dan Regenerasi

 

Oleh Supali Kasim

Maestro-maestro seni di Tatar Cirebon-Indramayu memang pada akhirnya satu per satu pergi karena takdir kematian. Sebuah takdir dengan berbagai sebab: usia renta, penyakit, atau bahkan kecelakaan lalu lintas. Di sisi lain regenerasi seni menjadi bagian amat penting terhadap keberlangsungan seni tradisi karena ketiadaan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang khusus mempelajari seni Cerbon-Dermayon.

Transformasi seni Cerbon-Dermayon selama bertahun-tahun berlangsung dalam lingkup keluarga seniman. Regenerasi dan sentuhan modernisasi dilakukan secara alamiah tanpa ada eksplorasi, apalagi pengkajian ilmiah. Hal ini berbeda, misalnya, dengan eksistensi kebudayaan Sunda yang banyak ditopang pendidikan formal di Bandung, seperti di STSI, UPI, atau Unpad, dan kebudayaan Jawa yang disokong ISI Surakarta, ISI dan UGM Yogyakarta, bahkan UI Jakarta.

“Kawah candradimuka” untuk penggondokan seniman di Indramayu dan Cirebon biasanya dilakukan seniman maestro, terutama terhadap anak-cucunya. Metode pun bervariasi, dari pendekatan hati hingga sabetan rotan.

Secara garis keturunan, anak-cucu tersebut memang menderas darah seniman. Ibaratnya, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Lingkungan rumah setiap saat juga bernuansa kesenian. Pengaruh yang sangat kuat adalah pendidikan informal secara hati ataupun rotan tersebut.

Regenerasi maestro

Maestro seni Indramayu, Mama Taham (75), yang pernah memperoleh anugerah seni dari Gubernur Jabar ataupun Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, adalah salah satu contohnya. Sebenarnya tak hanya anak-cucunya, mereka yang di luar lingkungan keluarga pun tak sedikit karena sikap keterbukaannya, atau istilahnya, “baka gelem, menea, diblajari!” (kalau mau, ke sini, diajari). Darah seninya juga berasal secara turun-temurun, dari ayah-kakek-buyut-canggah, dan seterusnya. Anak, cucu, menantu, dan keponakan mampu dididik menjadi seniman, seperti Sidem Permanawati (pesinden, penari), Wangi Indriya (perempuan dalang wayang kulit, penari, pesinden), Suheti (penari, pesinden), Sunanah (penari), Suparma (dalang wayang kulit), Haris (pembuat keris), Dasma Hadiwijaya (seniman macapat), ataupun Rakidi, Cucun Yan, Tayo, Sidu (pengukir). Beberapa cucunya ada yang lulusan atau tengah menimba ilmu di STSI.

Hal serupa ditemui pada keluarga Rasmin (dalang wayang kulit) dan istrinya Suminta (penari topeng), yang menurunkan putra-putri, Tomo (dalang wayang kulit), Tarih (pesinden, penari topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (pesinden), Darsinih (wiyaga), Rusdi (dalang wayang kulit), Encin Rosinta (pesinden), Duniawati (pesinden, pemain tarling), puluhan keponakan, cucu dan cicit yang bergelut di dunia yang sama.

Maestro tari topeng Rasinah yang juga sudah mendapatkan anugerah seni dari gubernur ataupun menteri juga tak jauh berbeda. Didikan keluarga amat disiplin sejak kecil, termasuk melakoni berbagai puasa, seperti mutih (puasa hanya dengan makan nasi dan air putih), ngetan (saat berbuka hanya nasi ketan), ataupun puasa wali (puasa berturut-turut selama tiga hari atau tujuh hari, dan seterusnya.) Suaminya, Amat, sangat mendukung sebagai pengendang. Anak-cucunya, yakni Wacih dan Aerli, kini melanjutkan eksistensinya.

Puluhan atau bahkan ratusan seniman lain memiliki latar belakang yang sama. Generasi demi generasi lahir. Maestro berbagai seni selalu bermunculan. Dalang Abyor, Warih Priadi, Akirna Hadi Wekasan, dan sebagainya pada wayang kulit, dalang Tayut, Taram, Asmara, Tarjaya, dan sebagainya pada wayang golek cepak, pembuat kedok Royani hingga Sunewi, pesinden Carinih hingga Kamsiyah.

Secara biologis tak sedikit pula yang tak mampu menciptakan regenerasi seniman karena berbagai sebab. Ahmadi (dalang wayang golek), Domo Suraji, Salmin, Gendut Rumli (seniman sandiwara), Dariyah, Dadang Darniyah (pesinden, seniman tarling), Dirman Tjasim (seniman sintren), Jayana, Sugra (wiraswara tarling), adalah di antaranya. Meski demikian, anak-anak secara ideologis tak sedikit jumlahnya.

Hampir semua seniman tarling bersentuhan dan dipengaruhi oleh Sugra, Jayana, Uci Sanusi, Abdul Ajib, ataupun Sunarto Marta Atmaja. Seniman sandiwara banyak berguru kepada Domo Suraji, Salmin, dan Gendut Rumli. Pesinden ataupun wiraswara mengikuti petunjuk Carinih, Dariyah, Dadang Darniyah, ataupun Aam Kaminah. Dalang wayang berpusat pada komunitas sanggar di Tambi, Lohbener, Gegesik, dan lainnya.

Pendidikan formal

Ketika beberapa maestro sudah meninggal dan beberapa lainnya sudah uzur digerogoti usia, eksistensi mereka memang seakan-akan tak tergantikan. Seniman, dengan berbagai cabang seni pertunjukan, dalam khazanah Cerbon-Dermayon identik disebut sebagai dalang. Sebagai seniman, para maestro sudah mencapai tingkatan dalang mukti (seniman yang juga melakukan syiar kebaikan dan kebenaran) dan dalang sejati (tak semata-mata karena upah).

Generasi berikutnya tak sedikit yang masih dalam taraf dalang makarya (lebih karena upah) dan dalang micara (melakukan kegiatan seni tanpa memahami filsafat dan karakter penokohannya).

Totalitas penghayatan, pengabdian, dan kecintaan terhadap seni dan kehidupan dianggap belum dicapai generasi berikutnya. Faktor waktu, pengaruh lingkungan sosial-budaya, godaan pragmatis dan hedonis sangat berpengaruh kuat dalam menghambat totalitas tersebut. Apalagi, selama ini transformasi berlangsung secara alamiah. Tak sedikit pula yang awalnya atau pendalamannya secara otodidak. Kata kunci dari totalitas itu cenderung sebagai “cinta yang keras kepala” terhadap bidangnya.

Ke depan, tentu saja, jangan hanya bergantung pada regenerasi yang bertumpu pada transformasi kekeluargaan semata. Institusi pendidikan formal amat diperlukan. SMKI Pakungwati Cirebon yang sudah berdiri agaknya perlu nutrisi baru agar tak lesu darah, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena ragam seni-budaya Cerbon-Dermayon yang dianggap berbeda dengan Jawa ataupun Sunda.

Pengkajian dan pendalamannya tidak tepat jika bergantung pada pendidikan formal di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, ataupun Jakarta. Sudah saatnya perguruan yang mengkhususkan seni-budaya Cerbon-Dermayon berdiri di Cirebon dan Indramayu untuk ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dan dikembangkan.

SUPALI KASIM Pemerhati Budaya, Tinggal di Indramayu

dijukut sing http://cetak.kompas.com/ kesuwun, Kang…

Maestro Topeng Cirebon

Mimi Rasinah (lahir di Indramayu, 3 Februari 1930) adalah seorang empu tari topeng Cirebon, satu-satunya yang tersisa sejak wafatnya Sawitri, penari topeng Cirebon asal Losari pada 1999.

Dari kecil Mimi sudah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya. Keseriusan Mimi Rasinah dalam menggeluti kesenian ini dibuktikan dengan mempertahankan tradisi tari ini, sehingga banyak yang menyebutnya klasik.

Sejak tahun 1990 ia sudah berkelana untuk pentas tari topeng ke luar negeri: Jepang, Belanda, dll. Hidupnya dihabiskannya demi pengembangan tari topeng. Saat ini Mimi terbaring sakit karena stroke. Meskipun demikian, kegiatan latihan tari topeng di Sanggar Tari “Mimi Rasinah” di desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, tetap berjalan terus.

[…dari Wikipedia]

Affandi Koesoema

Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 – 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.

Biografi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai–yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur–memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung, ayo Bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.

Lalu apa topik yang diangkat Affandi? “Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?” demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan ‘Perikebinatangan’ tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai ‘kebudayaan imperialis’. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: “Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!” kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.

Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Affandi dan melukis

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.

Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.

Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.

Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.

Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.

Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.

Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.

Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.

Museum Affandi

Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.

Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.

Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain “Apa yang Harus Kuperbuat” (Januari 99), “Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi” (Februari 99), “Tidak Adil” (Juni 99), “Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya” (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.

Affandi di mata dunia

Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.

Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia.

Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan “Bintang Jasa Utama” yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul “Kepada Pelukis Affandi”.

Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia.

Kesuwun kanggo http://imajiku-diksi.blogspot.com sing wis tak jukut tulisane… Kesuwun Kang!

Salana, Seni, dan Situs Cirebon

BERBICARA dengan Salana (60) seperti menghadapi ensiklopedia hidup. Segala hal dari kesenian tradisional, naskah-naskah kuno hingga situs purbakala di sekitar Cirebon, akan dijelaskan oleh lulusan SPG tahun 1967 ini dengan runtut, detail, dan jernih.

Ia memang bukan doktor yang melakukan penelitian secara akademis, tetapi ia punya passion yang barangkali tidak dimiliki seorang calon doktor atau bahkan doktor sekalipun. Sejak muda Salana sangat tertarik pada seni budaya Cirebon. Selama puluhan tahun dia keluar-masuk kampung, melintasi gang-gang kecil dengan sepeda tua untuk menginventarisasi berbagai atraksi kesenian tradisional yang hidup atau pernah hidup di sekitar Cirebon. Jika senimannya masih ada, dia tidak segan-segan berguru dan belajar, untuk mencegah seni tradisional tersebut dari kepunahan. Tidak heran jika Salana menguasai berbagai jenis kesenian tradisional seperti kidung macapat, pedalangan, sendratari, masres (sandiwara), menabuh gamelan dan mahir memainkan berbagai instrumen karawitan Cirebon.

Salana berhasil menginventarisasi 22 jenis kelompok seni yang pernah hidup di sekitar Cirebon sampai tahun 1970-an. Kesenian-kesenian itu menghilang karena tidak pernah ditampilkan di tengah masyarakat, atau senimannya meninggal dunia. ”Kini seni gambyung, genjring, tayuban, jidur, klenengan, telempu dan berbagai jenis kesenian lainnya hanya tinggal kenangan. Padahal, sekitar tahun 1970-an seni tradisional tersebut masih bertahan,” kata Salana yang pernah menjadi juara sendratari tingkat Jawa Barat tahun 1967 dan juara menulis cerita pawayangan tingkat Jawa Barat tahun 1970.

Ayah empat anak kelahiran Cirebon 15 Juni 1940 ini juga mencari dan menginventarisasi naskah-naskah kuno yang tersebar di masyarakat sekitar Cirebon, Indramayu, dan Kabupaten Majalengka.

Kerja kerasnya ini membuahkan hasil, berupa pembuatan katalog sekitar 200 naskah kuno yang tersebar di masyarakat dan sekitar 700 naskah kuno yang tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Naskah kuno berumur ratusan tahun yang sebagian besar ditulis pada daun lontar dan deluwang (kertas dari serbuk kayu) tersebut, dengan cermat dan hati-hati kemudian dicatat judul, ringkasan isi, jumlah halaman, bentuk tulisan dan bahasa yang digunakan serta nama penulisnya. Tidak lupa pula dicatat nama pemilik dan desa tempat tinggalnya.

”Kalau orang lain dengan meneliti seperti ini mungkin sudah dapat gelar doktor, tetapi saya cukup S-3: SR, SPG dan SGB,” kelakar Salana menceritakan jenjang pendidikannya di sekolah guru tempo dulu.
***

MENGINVENTARISASI naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun bukanlah pekerjaan mudah. Salana harus rela keluar-masuk kampung dan rajin bertanya untuk mencari pemilik naskah-naskah kuno. Kalaupun pemiliknya ditemukan, bisa jadi naskahnya sudah tidak ada karena dijual dengan harga sangat murah kepada ”kolektor” asal Jakarta yang memburu hingga ke kampung-kampung. Sedangkan jika naskahnya ditemukan, pemiliknya belum tentu mau meminjamkan, karena naskah kuno warisan leluhur dianggapnya sebagai barang keramat yang tidak boleh dibuka dan ditunjukkan sembarangan.

Di Cirebon Barat misalnya, Salana menemukan kitab Tetamba yang ditulis pada daun lontar setebal 50 halaman dan berisi tentang khasiat obat-obatan. Kitab itu oleh pemiliknya semula hanya dibungkus kain putih, dan pada hari-hari tertentu diasapi di atas bakaran kemenyan.

Begitu pun di Gegesik, Salana menemukan kitab suci Al Quran yang ditulis tangan setebal 700 halaman dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh pemiliknya, kitab tersebut hanya dibungkus kain putih tanpa pernah dibuka apalagi dipelajari isinya. Setiap kali kain pembungkusnya lapuk karena dimakan usia, lalu dilapisi kain putih yang lebih baru. ”Saya hitung kain pembungkusnya sudah 15 lapis, berarti kitab tersebut diperkirakan sudah berumur ratusan tahun,” kata Salana yang menyimpan puluhan naskah kuno hasil pemberian orang yang menaruh simpati kepadanya.

Kalaupun sebuah naskah kuno sudah diperoleh, bukan berarti segalanya selesai. Untuk memahami isinya bukan pekerjaan mudah, karena huruf yang digunakan dalam naskah kuno itu sebagian besar huruf Palawa, Arab Pegon, dan Jawa Kuno. Sedangkan Salana tidak memiliki latar belakang pendidikan formal tentang aksara-aksara kuno (filologi).

Untungnya Salana memiliki pengetahuan menulis dan membaca huruf Jawa hasil pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) dulu serta memahami tulisan Arab hasil didikan di madrasah semasa kecil.

”Untuk memahami isinya, saya harus menggunakan luyu bahasa atau disesuaikan dengan konteks kalimat,” kata Salana yang sudah mengalihkan beberapa naskah ke dalam huruf Latin, tetapi belum sanggup menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sehingga naskah tersebut dibiarkan sesuai bahasa aslinya.

”Saya tidak punya biaya,” kata Salana yang setiap bulan bisa menghabiskan dua rim kertas untuk alih huruf tersebut dengan biaya sendiri. Padahal untuk menopang hidupnya di rumah sederhana di Desa Jemaras Lor, Kabupaten Cirebon, Salana hanya mengandalkan uang pensiun pegawai negeri sipil yang diterimanya sejak tahun 1991. Uang itu harus dicukup-cukupkan untuk istri dan biaya sekolah keempat anaknya.

Salana tidak mempunyai pekerjaan lain, karena seluruh waktunya dihabiskan untuk memelihara dan mengembangkan seni budaya Cirebon. Kalaupun memberikan pelatihan kepada mahasiswa dan para peminat seni, seperti seni macapat, pedalangan dan karawitan, semuanya dilakukan tampa pamrih. Dia juga menerima ketika jabatannya selama 23 tahun tidak berubah, sejak masuk PNS 1968 hingga pensiun 1991, jabatannya tetap tidak berubah sebagai penilik kebudayaan di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cirebon.
***

SALANA banyak menemukan hal baru setelah membaca sendiri naskah-naskah kuno tersebut. Kitab Tetamba yang ditulis pada 50 lembar daun lontar misalnya, berisi khasiat berbagai tumbuhan untuk obat-obatan.

Kitab Ilmu Nahu setebal 234 halaman, berisi ilmu mempelajari Al Quran. Sedangkan Kitab Nabi Sulaeman yang terdiri atas 241 halaman dan Kitab Nabi Yusuf yang terdiri dari 268 halaman, berisi kisah-kisah keagamaan. Kitab lainnya berisi tentang sastra, perbintangan, seni, mantera, pola kepemimpinan hingga sejarah kerajaan-kerajaan di Tanah Air pada abad ke-15, 16, 17 dan 18.

Salah satu manfaat yang diperoleh Salana dari naskah-naskah kuno tersebut antara lain petunjuk tentang adanya bangunan-bangunan penting di sekitar Cirebon. Ketika ditelusuri dengan susah-payah sejak tahun 1970-an, Salana menemukan sembilan lokasi situs di sekitar Cirebon mulai dari situs Sedong, Panongan, Cimandung dan Sindangkasih di Cirebon Selatan, hingga situs Koreak dan Timbang di Kabupaten Kuningan. Situs tersebut sangat beragam bentuknya, mulai dari menhir, domain, batu lempar hingga keranda.

Keberadaan situs tersebut sejak tahun 1970-an sudah dilaporkan Salana kepada aparat berwenang agar segera dilindungi untuk mencegah dari kerusakan dan kehancuran. Namun hingga saat ini tidak pernah ada tanggapan dari pemerintah, sehingga satu-persatu situs-situs tersebut hancur atau sengaja dirusak penduduk.

Di Kecamatan Arjawinangun misalnya, areal situs Lemahtamba saat ini disewakan untuk areal sawah. Di Cirebon Utara, situs makam keluarga raja-raja dirusak dan kemudian di atasnya dibangun sekolah dasar. Sedangkan di areal Situs Cimandung, Cirebon Selatan, batu berbentuk gajah dan berhias jempol tangan, dijual untuk bangunan rumah.

”Saya sedih, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Salana dengan nada khawatir dan hampir putus asa. Dia khawatir nasib situs akan sama dengan naskah dan seni tradisional Cirebon yang perlahan-lahan musnah karena ditinggalkan masyarakat. (try harijono)

Kesuwun kanggo http://www2.kompas.com sing wis tak jukut tulisane… Kesuwun Kang!

Hj. Umayah Dachlan

MEMASUKI awal tahun 2009, dunia seni rupa di negeri ini digayuti mendung dukacita dengan meninggalnya wanita pelukis kenamaan Kota Bandung, Dra. Hj. Umayah Dachlan, yang lebih dikenal dengan panggilan Umi Dachlan. Pelukis kelahiran Cirebon, 13 Agustus 1942 ini meninggal dunia pada Kamis (1/01) pagi, sekitar pukul 7.15 WIB, di tempat tinggalnya, Jln. Taman Sari No. 22-A Kota Bandung. Jenazah dikebumikan di TPU Jabang Bayi, Cirebon, atas permintaan keluarga almarhumah.

Kepergian pelukis Umi Dachlan, dalam pandangan perupa Sunaryo, adalah sebuah kehilangan besar bagi perkembangan dan pertumbuhan seni rupa di Indonesia. Karya-karya lukis Umi Dachlan yang cenderung abstrak itu mempunyai “warna” dan tempat tersendiri dalam peta perkembangan dan pertumbuhan seni rupa Indonesia yang dari waktu ke waktu terasa cepat. “Almarhumah Umi Dachlan semasa hidupnya dikenal sebagai wanita pelukis yang konsisten dalam menjalani profesinya dan terjaga dalam pencapaian artistiknya. Dapat dikatakan almarhumah Umi Dachlan adalah sosok penting wajah seni modern Indonesia, khususnya di Bandung. Karya-karya lukisnya sarat dengan renungan religius, penuh arti,” tutur Sunaryo, yang saat itu hadir melayat.

Selain pelukis Sunaryo, hadir pula pelukis A.D. Pirous, Setiawan Sabana, Biranul Anas, Heyi Ma`mun, Erna Ganarsih Pirous, Srihadi, dan teman seangkatan Umi di FSRD ITB, Sam Bimbo dan beberapa tamu lainnya. Berkaitan dengan ketokohan Umi dalam perkembangan dan pertumbuhan seni rupa modern di Bandung khususnya, dan di Indonesia pada umumnya, wanita pelukis Heyi Ma`mun mengatakan, Umi adalah sosok pelukis yang tiada henti-hentinya mendorong generasi muda untuk terus maju.

“Dalam dunia pendidikan, Umi adalah dosen yang cukup disegani di FSRD ITB. Wawasannya cukup luas. Hal itu tercermin dalam sejumlah karya yang dikreasinya,” ujar Heyi.

Selain itu, Heyi mengatakan, sosok Umi Dachlan bisa dibilang sebagai orang yang terbuka untuk ditanya dan tidak pelit dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Sosok Umi Dachlan baik sebagai perupa maupun sebagai manusia biasa adalah orang yang ramah dengan sesama dan punya rasa sosial yang cukup tinggi. “Saya mengenal Ceu Umi Dachlan sejak ia masih mahasiswi di FSRD ITB. Saat itu, Umi indekos di rumah nenek saya. Ceu Umilah yang memperkenalkan apa dan bagaimana dunia seni rupa kepada saya. Secara tidak langsung ketika saya masih remaja mendapat bimbingan melukis dari Ceu Umi. Selain itu, Ceu Umi juga memperkenalkan saya pada buah pikiran Barat tentang seni rupa. Jadi, bagi saya kehilangan besar dengan meninggalnya Ceu Umi,” ucap Heyi dengan mata berkaca-kaca.

Hal senada juga dikatakan musikus yang juga dikenal sebagai perupa, Sam Bimbo. Menurut Sam, karya-karya Umi banyak bermuatan nilai-nilai religius yang digali dari ranah Islam. “Di angkatannya, Umi termasuk mahasiswi yang cemerlang. Ia teman gurau sekaligus teman pasea saya,” ujar Sam Bimbo.

Dikatakan Sam, ketika masih mahasiswa dirinya pernah mencandai Umi, yang membuat dirinya nyaris keluar dari FSRD ITB. Saat itu, Sam sedang bercakap-cakap dengan pelukis Srihadi dan Sadali, dan Umi hanya memerhatikan dari kejauhan. Sesaat kemudian, setelah percakapan itu usai, Umi menanyakan kepada Sam apa yang telah dipercakapkan Srihadi dan Sadali dengan Sam, yang notabene kedua orang tersebut adalah dosen Umi dan Sam di FSRD ITB. Dengan enteng Sam bilang bahwa Umi Dachlan tidak berbakat dalam melukis. “Sesungguhnya saya bergurau mengatakan itu. Kedua orang yang saya hormati itu tidak mengatakan yang demikian. Sungguh tidak diduga, akibatnya cukup membuat Umi murung. Selama satu minggu Umi tidak kuliah. Lalu saya mencari tahu, ternyata Umi mau keluar dari FSRD ITB dan siap-siap masuk Kowad. Wah, saya merasa berdosa, lalu segera minta maaf. Hasilnya beberapa tahun kemudian, Umi adalah mahasiswi yang sangat cerdas, lukisannya laku, dan pamerannya digelar di mana-mana. Itulah kenangan manis saya dengan Umi Dachlan,” kata Sam mengenang.

Baik Sam maupun Heyi memandang lukisan-lukisan Umi banyak bermuatan nilai-nilai religius karena Umi memang termasuk orang yang serius dalam menekuni agama. Boleh jadi pengaruh pelukis Sadali terhadap Umi Dachlan demikian tinggi, dan kita tahu bahwa Achmad Sadali adalah pelukis yang tekun mendalami agama dan estetika Islam.

Ketua Komunitas Pasar Seni Tamansari Kota Bandung, H. Maman Iskandar mengatakan, meninggalnya Umi Dachlan adalah kehilangan besar bagi dunia pendidikan. Maman mengatakan, pelukis Gilang Cempaka dalam proses belajar melukis pada masa-masa pertumbuhannya banyak diasuh dan dididik Umi Dachlan. “Ceu Umi itu punya rasa sosial yang tinggi. Saya tidak bisa melupakan jasa-jasanya saat ia mengajar anak saya, Gilang Cempaka, atau saat saya bertanya tentang sesuatu kepada Umi. Semoga Allah SWT memberikan ampunan dan tempat yang layak di sisi-Nya. Di samping itu, saya katakan dengan jujur Umi Dachlan adalah wanita pelukis senior di Kota Bandung yang mempunyai tempat khusus dalam perkembangan dan pertumbuhan seni rupa Indonesia kini,” ungkap Maman. (Soni Farid Maulana/”PR”)***

Kesuwun kanggo http://newspaper.pikiran-rakyat.com sing wis tak cukil tulisane… kesuwun Kang!

Toto Sudarto Bachtiar

Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi (1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.

 

Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.

 

Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.

 

Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “

 

Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.

 

Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.

 

Kesuwun kanggo http://www.tamanismailmarzuki.com sing wis tak jukut tulisane… kesuwun Kang!

Norbertus Riantiarno (Nano)

Pendiri Teater Koma (1 Maret 1977) Norbertus Riantiarno yang akrab dipanggil Nano lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Suami dari aktris Ratna Riantiarno ini seorang aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia. Nano, terpilih sebagai penerima Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Riantiarno terpilih karena kontribusinya pada dunia teater di Indonesia. Dewan juri FTI 2008 yang diketuai Jacob Soemardjo dengan anggota Radhar Panca Dahana, Jajang C Noer, Nirwan Arsuka, dan Kenedi Nurhan, menilai Nano sangat konsisten berkarya dalam dunia teater. Sehingga kononsistensinya patut dihargai. Penganugerahan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari jadi ke-4 FTI pada 27 Desember 2008.

Menurut anggota dewan juri Anugerah FTI 2008, Radhar Panca Dahana, di Jakarta, Rabu 10/12/2008, sejak berdiri 1977, Teater Koma selalu pentas setiap tahun dan penonton pun selalu memenuhi gedung pertunjukan, bahkan pernah pentas selama 40 hari.

Menurut Radhar, lamanya waktu pentas Teater Koma, itu sesuatu yang fenomenal untuk dunia teater. ”Riantiarno memberi inspirasi pada pekerja teater di daerah untuk menggunakan musik dan tari dalam pementasannya. Teater di daerah pun menirukan dengan gaya-gaya akrobatik dan sukses. Inspirasi semacam ini memperkaya kehidupan teater Indonesia,” kata Radhar.

Di kota kelahirannya, Cirebon anak kelima dari tujuh bersaudara ini menamatkan pendidikan SD (1960), SMP (1963) dan SMA (1967). Ketika kanak-kanak, ia hobi menonton teater rakyat, wayang, reog, dan masres (ketoprak), genjring dogdog — semacam sirkus yang menggunakan tarian. Saking seringnya menonton sampai pagi, suatu ketika Nano dikurung orang tuanya di gudang. Namun ketika dikurung itu, ia pun lantas menulis cerpen dan komik.

Saat di SMA, orangtuanya heran, ketika Nano sudah bicara tentang pilihan karirnya menjadi orang teater. Koq teater, untuk apa? Sebab di keluarga itu tidak ada latar belakang teater. Ayahnya, M. Soemardi, pegawai kereta api.

Sejak SMA, Nano sudah mulai mengenal seni pertunjukan, bergabung dengan Teater Tanah Air yang bermarkas di RRI Cirebon. Suasana berkesenian waktu itu sangat kondusif. Nano turut mendengarkan jika Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi membaca puisi.

Kemudian Nano melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta. Di luar jam kuliah, Nano bersama Boyke Roring dan Slamet Rahardjo, mengikuti acting course di bawah bimbingan Teguh Karya. Teguh mengajaknya ke Hotel Indonesia, dimana Teguh menjadi stage manager. Akhirnya Nano bersama Teguh mendirikan Teater Populer, 1968.

Lalu , kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Dia pun mengecap pendidikan International Writing Program, University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, 1978.

Pengalaman yang dia peroleh dari Teater Populer, mendorong Nano mendirikan Teater Koma, 1975. Saat itu usianya 26 tahun. Ia pun berkeliling Indonesia selama enam bulan untuk mengenal kehidupan teater rakyat di pelbagai daerah. Suatu ketika, saat hendak menuju Ujungpandang, perahu yang ditumpanginya dihantam gelombang. Namun, Nano selamat.

Nano telah aktif dalam dunia teater sejak 1965 di Cirebon. Dia pun menjadi pemain drama, pemain film-tv, penulis dan asisten sutradara panggung dan film (1968-1977). Pada tahun 1968, Nano sudah ikut mendirikan Teater Populer (bersama Teguh Karya) di Jakarta.

Lalu pada 1 Maret 1977, Nano mendirikan Teater Koma dan sekaligus memimpinnya sampai sekarang (2008). Teater Koma salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia. Pusat Data Tokoh Indonesia mencatat sampai 2008, Teater Koma sudah menggelar lebih 111 produksi panggung dan televisi. Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain: Rumah Kertas; Maaf, Maaf, Maaf; Jakarta Jakarta (mendapat Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI 1978); Kontes 1980; Bom Waktu; Suksesi, Opera Kecoa; Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay; Banci Gugat; Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Rumah Sakit Jiwa, Opera Ular Putih, Semat Gugat, Cinta yang Serakah; Opera Sembelit; Samson Delilah, Republik Bagong dan Tanda Cinta.

Selain drama-drama karya Nano sendiri, Teater Koma juga telah memanggungkan berbagai karya penulis kelas dunia, antara lain; Woyzeck karya Georg Buchner, The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brecht, The Comedy of Errors karya William Shakespeare, Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, Animal Farm karya George Orwell, The Crucible karya Arthur Miller, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere dan
The Marriage of Figaro karya Beaumarchaise.

Selain itu, Nano juga berkarya dalam dunia film, antara lain: – Wajah Seorang Lelaki (1971) – Cinta Pertama (1973) – Ranjang Pengantin (1973) – Kawin Lari (1974)- Jakarta-Jakarta (1977)
– Skandal (1978) – Puber (1978)- Kasus/Kegagalan Cinta (1978) – Dr. Sii Pertiwi Kembali Ke Desa (1979)- Jangan Ambil Nyawaku (1981) – Dalam Kabut dan Badai (1981) – Acuh-Acuh Sayang (1981) – Amalia SH (1981)- Halimun (1982) – Ponirah Terpidana (1983) – Gadis Hitam Putih (1985) – Sama juga Bohong (1985) – Pacar Pertama (1986) – Dorce Ketemu Jodoh (1990). Film layar lebar perdana karyanya, Cemeng 2005 / The Last Primadona (1995) yang diproduksi Dewan Film Nasional Indonesia.

Selain aktif di dunia teater, Nano juga pernah menekuni dunia jurnalistik. Ia ikut mendirikan dan bertugas sebagai Redaktur majalah Zaman, 1979-1985; Juga ikut mendirikan majalah Matra dan menjabat sebagai Wapemred (1985–1988) dan Pemimpin Redaksi (1988 sampai Maret 2001). Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan dan berkiprah sepenuhnya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.

Nano juga aktif sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 1985-1990 dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta, 1984-sekarang.

Nano juga seorang penulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.

Ia juga menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. Ranjang Bayi dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.

Dalam mengembangkan karyanya, pada tahun 1975, Nano berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. Selain kegiatan dalam negeri, pada 1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan. Lalu pada 1987, ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Tahun berikutnya diundang ke New Order Seminar, 1988, di Australia juga.

Nano juga pernah menyampaikan makalah Teater Modern Indonesia di Universitas Cornell, Ithaca, AS, 1990. Juga berbicara mengenai Teater Modern Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth, 1992. Dan di tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.

Nano menyutradarai Sampek Engtay di Singapura, 2001, dimana pekerja dan para pemainnya dari Singapura. Dia juga salah satu pendiri Asia Art Net, AAN, 1998, sebuah organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara-sutradara Asia. Menjabat sebagai artistic founder dan evaluator dari Lembaga Pendidikan Seni Pertunjukan PPAS, Practice Performing Arts School di Singapura.

Ia juga pernah berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pernah pula mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Tiongkok, 1986-1999.

Selain aktif di Dewan Kesenian Jakarta, Nano juga menjadi Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Juga anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004. Juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Dia juga menulis dan menyutradarai 4 pentas multi media kolosal, yaitu: Rama-Shinta 1994, Opera Mahabharata 1996, Opera Anoman 1998 dan Bende Ancol 1999.

Teater Koma juga dikenal dengan kritik-kritik sosialnya. bahkan beberapa karya Nano bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta. Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar pula karena alasan yang serupa. Tapi Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.

Atas berbagai aktivitas dan karyanya, Nano sudah menerima sejumlah penghargaan. Antara lain: – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1972) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1973) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1974) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1975) – Penulis Skenario Terpuji dari Forum Film Bandung atas skenario sinetron Kupu-Kupu Ungu – Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI Ujung Pandang melalui film Jakarta-Jakarta (1978) – Hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen P&K (1978) – Piala Vidya untuk sinetron Karina pada Festival Sinetron Indonesia 1987 – Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K atas nama Pemerintah RI, 1993 – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1997) – Penghargaan Sastra Indonesia 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; sekaligus meraih SEA Write Award, dari Raja Thailand untuk karyanya Semar Gugat – Piagam Penghargaan dari Departemen Pariwisata dan Seni Indonesia, 1999 – Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Selain itu, dua novel pria semampai ini, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, meraih hadiah Sayembara Novelet Majalah Femina dan Sayembara Novel Majalah Kartini. Karya pentasnya Sampek Engtay, 2004, masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama. ►ti/tsl

Referensi:
http://www.tamanismailmarzuki.com
http://www.pdat.co.id

Djair Warni Ponakanda

Antara fiksi dalam komik dan kenyataan begitu tipis batasnya sehingga dirasakan begitu nyata oleh pembacanya. Sebut saja serial komik Jaka Sembung karya Djair Warni di pertengahan tahun 1960-an.

 

“Banyak orang mengira dia hidup dan nyata. Saya bertemu dengan seorang pemuda di sebuah pameran. Dia bercerita pernah bertapa di gua-gua mencari Jaka Sembung. Ada juga tulisan di sebuah majalah misteri soal Jaka Sembung. Kabarnya, seorang wartawan majalah itu bertapa di Gunung Sembung dan ketemu arwah Jaka Sembung. Wartawan itu mengaku diberi keris pusaka. Jaka Sembung itu fiksi, tapi akhirnya menjadi legenda, lalu menjadi mitos,” ujarnya.

 

Djair lebih heran lagi ketika di sebuah seminar budayawan di Taman Ismail Marzuki tahun 1983 juga menganggap Jaka Sembung adalah tokoh cerita fiksi. Padahal, si Jaka Sembung itu hanya tokoh rekaan Djair yang asli Cirebon itu.

Kata Djair, nama Jaka Sembung berasal dari kata jaka yang berarti pemuda dalam bahasa Jawa atau Sunda. Sembung berasal dari Gunung Sembung. Jaka Sembung berhasil menumpas musuh di Gunung Sembung dan oleh pesantren setempat dia dianugerahi julukan Jaka Sembung. “Nama aslinya sebetulnya Parmin. Karena ia dari keraton alias darah biru, jadi namanya Parmin Sutawinata. Ceritanya si Jaka lahir tahun 1602, sama dengan berdirinya VOC, jadi seolah-olah dia dilahirkan untuk menentang VOC,” ujar Djair.

Dia menerka banyak orang kecele karena Jaka Sembung memang dekat dengan keadaan di lingkungan sosial masyarakat.

Jaka Sembung yang jago silat itu tidak digambarkan berlebihan seperti layaknya superhero atau jagoan lain yang tampil fantastis, seperti Panji Tengkorak atau Si Buta Dari Goa Hantu.

“Jaka itu orang biasa. Artinya, kalo dia ke masjid, ya pakai peci dan sarung. Kalau ke sawah pasti telanjang dada dan pakai topi bambu,” ujar Djair yang tinggal di kawasan Matraman Dalam, di mana banyak terdapat mushala—kehidupan di sekitar rumah ibadah menjadi bagian dari irama hidupnya.

Rumah mungil di belakang mushala kecil itu begitu ramai. Suara video game berdesingan diselingi “kicau” kanak-kanak. Rupanya, bagian depan rumah itu dipakai untuk tempat penyewaan video game.

Dari dalam rumah yang terjepit di permukiman padat penuh gang tikus di kawasan Matraman Dalam itu, Djair Warni dengan rambutnya yang keputih-putihan muncul menyungging senyum dan mempersilakan masuk. Ini dia pencipta Jaka Sembung, tokoh komik pendekar dan jagoan itu.

Sekalipun Jaka Sembung sudah lama tidak keluar dan mejeng di display-display toko buku, sesungguhnya Djair tidak sepenuhnya berhenti berkarya. Pria jebolan STM bidang perkapalan di Cirebon itu dengan semangat empat lima menunjukkan berkas-berkas yang tengah dikerjakannya.

Tampak goresan-goresan yang penuh keyakinan dan sebagian sudah ditimpa spidol. Panel-panel itu bagian adegan dari komik Jaka Sembung Pendekar Metropolitan yang sedang dikerjakannya. Ya, bagi yang sempat besar bersama Jaka Sembung, tentu ceritanya sudah jauh berbeda.

“Yang ini ceritanya ada pemuda kerasukan arwah Jaka Sembung, terus mendadak menjadi pendekar,” ujarnya. Tentu saja Jaka Sembung yang satu ini tidak melawan kompeni atau tuan tanah jahat. Musuhnya, para koruptor dan bandar narkoba! Masalah alot yang dialami generasi sekarang.

Ide itu muncul ketika suatu kali Djair mendengar cerita dari seorang pemuda yang mengaku bertemu Jaka Sembung saat sedang naik gunung. Ada juga beberapa orang lain yang sampai bertapa untuk meminta kebajikan Jaka Sembung. Padahal, menurut Djair, tokoh Jaka Sembung itu benar-benar lahir dari alam khayalnya alias fiksi belaka.

Djair terus menggambar komik untuk tetap melatih diri walaupun kemudian hanya dinikmati sendiri. Sewaktu-waktu dia membuat skenario untuk sinetron Jaka Sembung, Si Tolol, atau Jaka Geledek. Karyanya yang banyak terbit pada era tahun 1960-an hingga 1970-an itu selama ini tidak mendapatkan royalti dan biasanya dijual putus.

kesuwun kanggo http://komik.multiply.com sing wis tak jukut tulisane… Kesuwun Kang!

 

Sunarto Marta Atmadja

Nada Budaya:
Sosok Kang Ato dan Tarlingnya

Oleh Dadang Kusnandar

SIAPA menyangka lulusan STM Negeri Cirebon jurusan Mesin Umum memilih menjalani profesi sebagai seniman tarling. Ijazah STM yang didapat tahun 1965 itu hanya tergantung di dinding ruang tamu, diberi bingkai hingga berubah warna. Sunarto Martaatmadja kecil tergolong orang prihatin. Anak kepala SD di Desa Jemaras Kidul ini harus menempuh jarak puluhan kilometer bersepeda ke sekolahnya. Dengan sepeda tua milik bapaknya pula, ia sering membonceng Uci Sanusi guru tarlingnya, ke Palimanan, Arjawinangun, Celancang, Plumbon, Jamblang bahkan ke Kota Cirebon pada larut malam. Berbekal keinginan untuk memahami gitar dan suling serta beberapa tembang klasik Cerbonan, Narto kecil rela mengayuhkan kaki sambil membonceng gurunya ke dan dari berbagai tempat. Biasanya tempat yang dikunjungi adalah warung remang-remang (warem) sepanjang jalan.

Gurunya saat itu berstatus pimpinan grup “tarling” Melodi Kota Udang yang bernama Pria Lelana. Uci juga memimpin Orkes Keroncong sehingga lagu-lagu dalam tarling dinyanyikan sambil berdiri sebagai pengaruh keroncong. Demikian pula kreativitas Uci menyisipkan gamelan ke dalam tarling. Sementara Jayana saat itu hanya mengandalkan gitar dan suling, tetapi setelah bergabung dengan Uci, ia pun menggunakan tetabuhan gamelan dalam tarlingnya.

Sejak SD, Narto menjuarai beberapa lomba menyanyi. 1962 ia tergabung sebagai vokalis grup band STM sebagai penabuh tamtam atau kendang kecil. Kesibukan Kang Ato mengikuti kata hatinya untuk mengeluti tarling hingga ke seluk beluknya, ia sempat tidak lulus ujian STM. Akan tetapi ketika diulang setahun kemudian, ia lulus juga.

Akhir 1963, Kang Ato diajari sebuah lagu tarling (kiser) oleh Ismail alm, adik Uci. Saat itu ia sudah mencoba mencipta lagu klasik Cerbonan sendiri dengan cara membawa gitar sambil nonton wayang kulit dan menyesuaikan nada tatkala pesinden di panggung membawakan lagu klasik. Hasilnya, ia mengerti lagu-lagu Cerbon Pegot, Dermayonan dalam laras Pelog, seperti Kulu-kulu, Turun Tangis, dan sebagainya.

Setelah merasa cukup memiliki bekal keilmuan tarling, Kang Ato ingin punya gitar sendiri. Namun apa daya: uang tak punya. Maka ia bersama 30 kawannya mengumpulkan jerami (babad dami) paska panen padi dan dijual. Hasilnya dibelikan dua buah gitar akustik. Lengkaplah hasratnya memeluk gitar seharian.

Berbekal gitar itulah ia membentuk grup tarling yang bernama Karya Muda. Bersama kawannya dari Desa Jemaras (sekarang masuk wilayah Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon) ini dikenal sebagai tarling cilik. Setahun kemudian Karya Muda berubah jadi Seni Proletar. Istilah itu identik PKI dan biasa dipakai dalam rapat-rapat terbuka yang menggelorakan semisal rapat alegoris, dan kampanye politik, Kang Ato seorang kader PNI alias Soekarnois, mengubah nama grup tarlingnya menjadi Nada Jaya. Grup ini sudah mampu bersaing dengan grup tarling gurunya sendiri (Uci Sanusi) dan biasa manggung di berbagai tempat, mengundang kekaguman penonton.

Kang Ato bergabung dengan Barmawi, grup tarling Asmara Budaya. Penggabungan Nada Jaya dengan Asmara Budaya itulah yang memuculkan Nada Budaya. Beranggotakan 12 pemain, seorang vokalis (wirasuara) dan dua pesinden, berdiri 15 Agustus 1965. Sinden Nada Budaya saat itu: Kapsah dan Sampen. Lagu-lagu klasik amat dominan dalam pentas tarling, selain tarlingnya Uci yang menyisipkan fragmen Saedah Saeni karya guru Kang Ato, Mimi Carini.

Lagu Jonggrang Laut permintaan Kuwu Mursyid Desa Jamblang dalam hajatan di rumah kakak sepupu Kang Ato urung ditampilkan Uci, tetapi fragmen Saedah Saeni yang disuguhkan. Decak kagum penonton karena tarling dapat disisipi unsure cerita meski hanya sekitar 1 – 2 jam.

Hingga 1962 istilah tarling belum tersosialisasi. Irama Kota Udang merupakan julukan bagi kesenian yang mengandalkan gitar dan suling. Dalam acara Agustusan di reruntuhan Pabrik Gula Arjawinangun, Ketua Badan Pemerintah Harian (BPH) semacam DPRD memberi nama tarling bagi pentas kesenian yang menggunakan gitar dan suling. Tarling, bermakna yen sing melatar kudu eling (siapa pun yang berkelana/ menjalani kehidupan, harus sadar.

Tak dinyana. Uci dan Jayana dikesankan terlibat PKI 1965 pada kepengurusan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meski keduanya bukan anggota PKI tapi karena ingin membalaskan sakit hartinya kepada Pak Kuwu yang memecat dari pekerjaannya sebagai Juru Tulis Desa Jemaras, Uci mendekati Bupati Cirebon, Harun. Uci Sanusi dan Jayana sebenarnya bergaris politik Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibawah pimpinan Sutan Syahrir. “Keterlibatan” kedua dalam pergerakan itulah yang mencipta Nada Budaya tidak mempunyai saingan grup tarling yang kuat, kecuali Putra Sangkala yang dipimpin Abdul Adjib. Bahkan lagu Penganten Baru karya Askadi Sastrasuganda yang dilagukan Abdul Adjib konon dianggap lagu modern pertama di panggung tarling. Kang Ato kala ityu masih membawakan lagu-lagu klasik dalam tiap pertunjukannya. Ketika Kang Ato tidak pentas, Adjib sering mengajaknya manggung. Bujal, anggota Putra Sang Kala yang biasanya menjemput Kang Ato ke Jemaras, ikut juga Kapsah sebagai pesinden.

Nasib Kang Ato mujur. Tanggapan tarling tiap tahun selalu bertambah. Tahun 1966 Nada Budaya tampil 80 kali, naik 30 kali dari tahun sebelumnya. 1967, 125 kali dan pada saat itu Dadang Darniyah bergabung jadi sinden. 1968, 180 kali. 1969, 210 kali. 1970 sebanyak 215. 1971 sejumlah 230. 1972 manggung 243 kali. 1973 – 1976 rata-rata di atas 150-an. Sinden yang pernah bergabung di Nada Budaya adalah Asli, Asiati, Suteni, Serini, Sumiyati dan Desa Kalianyar. Jamisah dari Desa Bulak, dan Tumus dari Desa Kreo.

Lantaran provokasi, Dadang Darniyah keluar dari Nada Budaya. Posisinya digantikan Yayah Kamisiyah yang akhirnya disunting Kang Ato. Nada Budaya di tahun 1966 mulai memasukan unsur cerita di pentas tarlingnya dan unsur pelawak mantan pemain sandiwara rakyat (Masres). Mereka adalah Mang Towal, Si Kindung, Bendik dari Desa Bedulan, Rumi dari Indramayu mantan pemain Masres Tunggal Ika. Juga Gendut mantan pemain Masres Cendrawasih. Demikian pula Jebod dan Kampleng.

Adjib, Kang Ato, dan Uci bergabung membentuk Putra Nada Jaya tahun 1977. Setahun pentas mereka mencapai 90 kali. Grup ini bubar terjegal bagi hasil pentas. Tinggal Kang Ato dan Adjib yang bertahan, di sisi lain grup tarling Uci kian tenggelam.

Zaman terus berderak. Masa keemasan tarling tinggal cerita. Kini publik lebih senang meminta Kang Ato menampilkan organ tunggal ketimbang tarling. Pentas Nada Budaya pun tersisa 20 kali di tahun 2000.****

*)Disalin dan ditulis ulang oleh penulis sendiri dari Pentas Musik Niat Ingsun (Embi C Noer) 14 – 15 Oktober 2000 di Gedung Kesenian Jakarta.

Kesuwun sanget, kagem http://dakusnandar.multiply.com sing sampun kula bakta tulisane teng mriki, …matur kesuwun ya Kang?