Archive for Juni, 2010

Maestro Seni dan Regenerasi

 

Oleh Supali Kasim

Maestro-maestro seni di Tatar Cirebon-Indramayu memang pada akhirnya satu per satu pergi karena takdir kematian. Sebuah takdir dengan berbagai sebab: usia renta, penyakit, atau bahkan kecelakaan lalu lintas. Di sisi lain regenerasi seni menjadi bagian amat penting terhadap keberlangsungan seni tradisi karena ketiadaan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang khusus mempelajari seni Cerbon-Dermayon.

Transformasi seni Cerbon-Dermayon selama bertahun-tahun berlangsung dalam lingkup keluarga seniman. Regenerasi dan sentuhan modernisasi dilakukan secara alamiah tanpa ada eksplorasi, apalagi pengkajian ilmiah. Hal ini berbeda, misalnya, dengan eksistensi kebudayaan Sunda yang banyak ditopang pendidikan formal di Bandung, seperti di STSI, UPI, atau Unpad, dan kebudayaan Jawa yang disokong ISI Surakarta, ISI dan UGM Yogyakarta, bahkan UI Jakarta.

“Kawah candradimuka” untuk penggondokan seniman di Indramayu dan Cirebon biasanya dilakukan seniman maestro, terutama terhadap anak-cucunya. Metode pun bervariasi, dari pendekatan hati hingga sabetan rotan.

Secara garis keturunan, anak-cucu tersebut memang menderas darah seniman. Ibaratnya, buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Lingkungan rumah setiap saat juga bernuansa kesenian. Pengaruh yang sangat kuat adalah pendidikan informal secara hati ataupun rotan tersebut.

Regenerasi maestro

Maestro seni Indramayu, Mama Taham (75), yang pernah memperoleh anugerah seni dari Gubernur Jabar ataupun Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, adalah salah satu contohnya. Sebenarnya tak hanya anak-cucunya, mereka yang di luar lingkungan keluarga pun tak sedikit karena sikap keterbukaannya, atau istilahnya, “baka gelem, menea, diblajari!” (kalau mau, ke sini, diajari). Darah seninya juga berasal secara turun-temurun, dari ayah-kakek-buyut-canggah, dan seterusnya. Anak, cucu, menantu, dan keponakan mampu dididik menjadi seniman, seperti Sidem Permanawati (pesinden, penari), Wangi Indriya (perempuan dalang wayang kulit, penari, pesinden), Suheti (penari, pesinden), Sunanah (penari), Suparma (dalang wayang kulit), Haris (pembuat keris), Dasma Hadiwijaya (seniman macapat), ataupun Rakidi, Cucun Yan, Tayo, Sidu (pengukir). Beberapa cucunya ada yang lulusan atau tengah menimba ilmu di STSI.

Hal serupa ditemui pada keluarga Rasmin (dalang wayang kulit) dan istrinya Suminta (penari topeng), yang menurunkan putra-putri, Tomo (dalang wayang kulit), Tarih (pesinden, penari topeng), Rusminih (wiyaga), Darkinih (pesinden), Darsinih (wiyaga), Rusdi (dalang wayang kulit), Encin Rosinta (pesinden), Duniawati (pesinden, pemain tarling), puluhan keponakan, cucu dan cicit yang bergelut di dunia yang sama.

Maestro tari topeng Rasinah yang juga sudah mendapatkan anugerah seni dari gubernur ataupun menteri juga tak jauh berbeda. Didikan keluarga amat disiplin sejak kecil, termasuk melakoni berbagai puasa, seperti mutih (puasa hanya dengan makan nasi dan air putih), ngetan (saat berbuka hanya nasi ketan), ataupun puasa wali (puasa berturut-turut selama tiga hari atau tujuh hari, dan seterusnya.) Suaminya, Amat, sangat mendukung sebagai pengendang. Anak-cucunya, yakni Wacih dan Aerli, kini melanjutkan eksistensinya.

Puluhan atau bahkan ratusan seniman lain memiliki latar belakang yang sama. Generasi demi generasi lahir. Maestro berbagai seni selalu bermunculan. Dalang Abyor, Warih Priadi, Akirna Hadi Wekasan, dan sebagainya pada wayang kulit, dalang Tayut, Taram, Asmara, Tarjaya, dan sebagainya pada wayang golek cepak, pembuat kedok Royani hingga Sunewi, pesinden Carinih hingga Kamsiyah.

Secara biologis tak sedikit pula yang tak mampu menciptakan regenerasi seniman karena berbagai sebab. Ahmadi (dalang wayang golek), Domo Suraji, Salmin, Gendut Rumli (seniman sandiwara), Dariyah, Dadang Darniyah (pesinden, seniman tarling), Dirman Tjasim (seniman sintren), Jayana, Sugra (wiraswara tarling), adalah di antaranya. Meski demikian, anak-anak secara ideologis tak sedikit jumlahnya.

Hampir semua seniman tarling bersentuhan dan dipengaruhi oleh Sugra, Jayana, Uci Sanusi, Abdul Ajib, ataupun Sunarto Marta Atmaja. Seniman sandiwara banyak berguru kepada Domo Suraji, Salmin, dan Gendut Rumli. Pesinden ataupun wiraswara mengikuti petunjuk Carinih, Dariyah, Dadang Darniyah, ataupun Aam Kaminah. Dalang wayang berpusat pada komunitas sanggar di Tambi, Lohbener, Gegesik, dan lainnya.

Pendidikan formal

Ketika beberapa maestro sudah meninggal dan beberapa lainnya sudah uzur digerogoti usia, eksistensi mereka memang seakan-akan tak tergantikan. Seniman, dengan berbagai cabang seni pertunjukan, dalam khazanah Cerbon-Dermayon identik disebut sebagai dalang. Sebagai seniman, para maestro sudah mencapai tingkatan dalang mukti (seniman yang juga melakukan syiar kebaikan dan kebenaran) dan dalang sejati (tak semata-mata karena upah).

Generasi berikutnya tak sedikit yang masih dalam taraf dalang makarya (lebih karena upah) dan dalang micara (melakukan kegiatan seni tanpa memahami filsafat dan karakter penokohannya).

Totalitas penghayatan, pengabdian, dan kecintaan terhadap seni dan kehidupan dianggap belum dicapai generasi berikutnya. Faktor waktu, pengaruh lingkungan sosial-budaya, godaan pragmatis dan hedonis sangat berpengaruh kuat dalam menghambat totalitas tersebut. Apalagi, selama ini transformasi berlangsung secara alamiah. Tak sedikit pula yang awalnya atau pendalamannya secara otodidak. Kata kunci dari totalitas itu cenderung sebagai “cinta yang keras kepala” terhadap bidangnya.

Ke depan, tentu saja, jangan hanya bergantung pada regenerasi yang bertumpu pada transformasi kekeluargaan semata. Institusi pendidikan formal amat diperlukan. SMKI Pakungwati Cirebon yang sudah berdiri agaknya perlu nutrisi baru agar tak lesu darah, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena ragam seni-budaya Cerbon-Dermayon yang dianggap berbeda dengan Jawa ataupun Sunda.

Pengkajian dan pendalamannya tidak tepat jika bergantung pada pendidikan formal di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, ataupun Jakarta. Sudah saatnya perguruan yang mengkhususkan seni-budaya Cerbon-Dermayon berdiri di Cirebon dan Indramayu untuk ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dan dikembangkan.

SUPALI KASIM Pemerhati Budaya, Tinggal di Indramayu

dijukut sing http://cetak.kompas.com/ kesuwun, Kang…

Nasehat Sunan Gunung Djati

Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:

  • Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
  • Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
  • Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
  • Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
  • Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
  • Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan

  • Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji)
  • Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong)
  • Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benara atau disalahgunakan)

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:

  • Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik)
  • Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik)
  • Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
  • Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
  • Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
  • Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
  • Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
  • Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar)
  • Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
  • Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).
  • Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
  • Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang).
  • Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu).
  • Angasana diri (harus mawas diri)
  • Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik).
  • Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal)
  • Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih).
  • Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
  • Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji)
  • Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
  • Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
  • Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
  • Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
  • Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:

  • Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
  • Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur).
  • Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
  • Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia).
  • Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kehidupan sosial;

  • Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
  • Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
  • Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
  • Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
  • Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang).

Petetah petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks, sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam petatah-petitih SGD, yaitu:

Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt.

Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya.

Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar.

Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang.

Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam.

Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9).

dicuplik sebagian sing http://mutiaratintaku.dagdigdug.com/ kesuwun, Kang

Katemenggungan Cirebon

KESULTANAN Demak dengan rajanya Raden Patah (1475-1518), disebut-sebut sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, kalau melihat sejarahnya dari berbagai sumber tertulis, pada sekitar tahun 1415 di Cirebon sudah berdiri lebih dulu kadipaten (kerajaan kecil) yang mengembangkan agama Islam di Jawa. Kadipaten itu dipimpin oleh Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu, yang memerintah sekitar abad XV. Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana itu perintis pengembangan masuknya Islam di Jawa. Jauh sebelum Demak berdiri tahun 1475. Dari pakuwon (bangunan kerajaan kecil) Pakungwati yang kini menjadi tempat berdirinya Keraton Kasepuhan Cirebon, Cakrabuwana telah mengembangkan Islam,” kata budayawan Cirebon TD Sudjana yang banyak menerjemahkan karya-karya kuno seperti sastra, hukum dalam pemerintahan Keraton Kasepuhan.

Mantan Residen Cirebon RH Unang Sunardjo SH (almarhum) yang tekun membaca babat maupun sumber-sumber tertulis sejarah-yang kemudian menyusun buku berjudul Selayang Pandang Masa Kejayaan Keraton Cirebon-menyebutkan, Katemenggungan/Kadipaten Cirebon ini merupakan satu dari kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan bagian negara federasi Kerajaan Pajajaran. Negara-negara kecil itu diperkenankan mengelola seluruh hasil bumi dan kegiatan perekonomiannya. Syaratnya, negara kecil ini harus menyerahkan hulu bekti (upeti) kepada Maharaja Pajajaran.

Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana yang bernama kecil Raden Walang Sungsang ini adalah anak hasil pernikahan Prabu Siliwangi dengan putri Cirebon Nyi Ratu Subang Larang anak dari Ki Ageng Tapa, Kepala Pelabuhan Muarajati, Cirebon. Cakrabuwana punya dua saudara, Raden Sangara dan Nyi Ratu Mas Rarasantang. Ketika ibunya meninggal, ketiga putra Prabu Siliwangi itu meninggalkan Istana Pajajaran dan memilih menetap di Cirebon, ikut kakeknya Ki Ageng Tapa.

Di rumah kakeknya itu, ketiganya memeluk Islam setelah masuk pesantren yang dipimpin Syeh Datuk Kafi. Setelah tamat, Cakrabuwana bekerja sebagai kepala desa (kuwu) Cirebon. Berangkat dari seorang kuwu inilah Raden Walang Sungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memperluas wilayahnya sampai daerah Tegal Alang-alang, melebihi ukuran sebuah desa. Makin banyak pula masyarakat pemeluk Islam-semula beragama Hindu karena pengaruh Pajajaran-di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya.

***

APA yang dilakukan oleh Raden Walang Sungsang diketahui oleh ayahandanya Prabu Siliwangi, Maharaja Pajajaran. Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Siliwangi, karena kerja dalam pemerintahan Raden Walang Sungsang dinilai baik. Dalam memberikan upeti ke Pajajaran, juga tidak mengecewakan. Sayang, tidak diketahui pasti kapan penobatannya menjadi bupati. Dalam Babad Cirebon ataupun buku karya RH Unang Sunardjo SH itu juga tidak disebut tahun berapa penobatan itu. Yang jelas pada tahun 1415 Cakrabuwana sudah giat.

Justru karena prestasinya itu, Walang Sungsang oleh Prabu Siliwangi diangkat menjadi tumenggung, jabatan setingkat bupati yang menguasai wilayah Cirebon. Sejak menjadi tumenggung itulah Walang Sungsang diberi gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana. Dia lantas membangun Pakuwon (keraton kecil) yang diberi nama Pakungwati (nama anak perempuannya).

Meski Katemenggungan Cirebon merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Cakrabuwana tetap terus mengembangkan agama Islam. Apa yang dilakukan Cakrabuwana tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan Pajajaran.

“Jadi, Cakrabuwana waktu itu satu-satunya pejabat tinggi dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam. Ada memang yang beragama Islam yaitu Ki Ageng Tapa, tetapi dia bukan penguasa daerah, hanya Kepala Pelabuhan Muarajati,” kata TD Sudjana. Dia menambahkan, keberanian Cakrabuwana masuk Islam itulah yang akhirnya membawa Cirebon bisa menjadi Kerajaan Islam yang akhirnya mampu mendesak bubarnya Pajajaran, meskipun harus dengan peperangan.

“PENDEKNYA, Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten dibantu Kerajaan Demak, yang membuat Agama Islam berkembang pesat di Jawa Barat,” kata TD Sudjana. Raden Patah yang menjadi Sultan Demak itu pula yang akhirnya membantu Katemenggungan Cirebon menjadi keraton dengan peradaban Islam yang sangat berpengaruh di Jabar.

Ceritanya begini. Awalnya, setelah Tumenggung Cakrabuwana makin mampu meningkatkan kekuatannya dalam memimpin Katemenggungan Cirebon, dia ingin meningkatkan katemenggungan menjadi kerajaan Islam yang bebas berdaulat, mandiri tidak lagi di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena itu, dia mengirim keponakannya Syarif Hidayatullah untuk pergi ke Kesultanan Demak.

Syarif Hidayatullah yang kemudian disebut Sunan Gunungjati adalah anak dari Nyai Ratu Rarasantang adik Tumenggung Cakrabuwana yang ketika pergi ke Arab menikah dengan Syarif Abdullah, Sultan Mesir. Tampaknya Cakrabuwana sudah mengenal Raden Patah. Karena itu, Syarif Hidayatullah diharapkan bisa membantu Raden Patah memperluas kerajaannya sebagai kerajaan Islam, sekaligus menyerap pengetahuan bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri.

Saat itu, antara tahun 1475-1479, Demak sedang melakukan kerja besar meruntuhkan Majapahit, yang memang sudah surut kekuatannya setelah pecah dua menjadi Majapahit barat tetap bernama Majapahit dan timur bernama Kerajaan Blambangan.

Dengan kekuatan yang dibantu Syarif Hidayatullah, Raden Patah-putra Majapahit terakhir yang bernama Bre Kertabumi-mampu menghanguskan pusat Kerajaan Majapahit yang sekarang diduga sebagai situs Trowulan. “Konon, Kertabumi, ayah Raden Patah tetap dihormati, diboyong ke Demak dan tinggal di kesultanan sampai akhir hayatnya,” kata TD Sudjana.

Syarif Hidayatullah yang memang dikenal sebagai ahli penyusun strategi itu, oleh Raden Patah diperintahkan segera pulang ke Cirebon dan mendirikan kerajaan. Benar, tahun 1479 atau empat tahun setelah berdirinya Majapahit (1475), berdirilah Kerajaan Cirebon. Tumenggung Cakrabuwana yang sudah lama merintis kerajaan Islam tidak ingin memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Cirebon.

Keraton Pakungwati diserahkan kepada Syarif Hidayatullah keponakannya itu, yang dinobatkan menjadi raja dan bergelar Susuhunan Jati Purba Wisesa yang terkenal pula dengan nama Syeh Maulana Jati (setelah meninggal disebut Sunan Gunungjati karena makamnya di daerah Gunungjati, Cirebon). Sunan Gunungjati kemudian menikahi Pakungwati, putri Tumenggung Cakrabuwana, dan menyatakan diri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat, lepas dari Pajajaran.

Maulana Jati bukan saja mengembangkan Keraton Pakungwati yang sisanya masih tampak pada Keraton Kasepuhan sekarang, tetapi juga merencanakan pengembangan wilayah. Namun, tantangan dari Pajajaran juga cukup besar.

Sunan Gunungjati atau Maulana Jati memiliki strategi politik yang cukup cerdik. Yang dia lakukan terlebih dahulu adalah menyerang Banten, wilayah Pajajaran paling barat. Ketika Banten dikuasai, Sunan Gunungjati mengangkat putranya, Hasanuddin, menjadi adipati pertama di Banten. Adipati ini pula yang kemudian menjadikan Banten sebagai kesultanan, tahun 1532.

Kekuasaan Pajajaran makin tergerogoti oleh Cirebon. Bahkan, atas bantuan tentara Kesultanan Demak, sultan kedua di Banten bernama Sultan Maulana Yusuf yang menggantikan Sultan Hassunuddin, tahun 1568, menyerbu Pajajaran yang waktu itu diperintah oleh Maharaja Sri Bima Utarayana Mandura, pengganti Prabu Siliwangi. Cirebon bersama Banten akhirnya menguasai seluruh Jawa Barat. Tamatlah riwayat Kerajaan Pajajaran, kerajaan besar yang menganut faham Hindu Mahayana, dan berkibarlah Cirebon-bersama Banten-sebagai kerajaan Islam di Jawa Barat.

***

SURUTNYA Cirebon setelah penguasa Mataram (Mataram perkembangan dari Kesultanan Demak) ingkar janji, bahwa kerajaan besar dengan rajanya Sultan Agung Anyokrokusumo itu sekali-kali tidak akan menguasai Kesultanan Banten dan Keraton Cirebon, sebagai wujud penghormatan terhadap kerukunan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Namun, kegagalan Sultan Agung mengusir VOC dari Batavia, tahun 1628 dan 1629, mendorong Sultan Agung terusik hatinya untuk menguasai Jawa Barat.

Hanya dengan menguasai Jabar itu, dalam pandangan Sultan Agung, VOC bisa terkalahkan. Benar juga, tahun 1640 rencana Sultan Agung terwujud. Selain Banten dan Cirebon, semua kabupaten di Jabar dapat dikuasai oleh Sultan Agung.

Atas perlakukan Raja Mataram itu, Sultan Banten Sultan Ageng Tirtayasa-sebagai saudara serumpun-tidak tinggal diam. Atas bantuan Trunojoyo dari Madura, Banten menyerang Cirebon, tahun 1667. Martadipa yang memang sudah uzur menyerah dan pulang ke Mataram. Putra bungsu Pengeran Adipati Cirebon I yang bernama Wangsakerta, yang sedianya akan menyusul ayahnya menjadi tahanan politik di Kerajaan Mataram, digagalkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Dia dibawa ke Banten dan dilantik menjadi sultan.

Penyerangan ke Mataram hanya dilakukan oleh Trunojoyo sendiri yang memang dikenal pemberani. Sultan Banten hanya membantu persenjataan dan 22 perahu. Mataram cukup pontang-panting menghadapi pemberontakan Trunojoyo ini. Trunojoyo yang ibunya sempat menjadi selir Sultan Agung ini, sangat benci kepada Amangkurat yang sangat kejam dan akrab dengan Belanda.

Putra kedua Pangeran Dipati Cirebon, Kertawijaya, yang mendampingi ayahnya saat meninggal cepat-cepat dipulangkan ke Cirebon. Oleh Sultan Banten, Kertawijaya dilantik menjadi Sultan Cirebon menggantikan adiknya Wangsakerta yang sebelumnya dilantik sebagai pejabat sementara.

Namun, beberapa saat setelah Kertawijaya dilantik, pasukan Trunojoyo mengantarkan putra sulung, Martawijaya, yang paling berhak menduduki Keraton Cirebon. Karena ketiganya sudah dilantik menjadi Sultan Cirebon, maka Sultan Banten Ageng Tirtayasa menetapkan ketiganya sebagai raja.

Sebagai anak sulung, Martawijaya diberi gelar Sultan Sepuh I. Adiknya, Kertawijaya, diberi gelar dan berganti nama Pangeran Mohammad Badrudin bergelar Sultan Anom Pertama, dan si bungsu Wangsawijaya yang menjadi pejabat sementara kepala pemerintahan, diberi gelar Panembahan Gusti atau Panembahan Tohpati.

Dari kasus itulah, terhitung sejak pertengahan abad XVII di Cirebon ada tiga kerajaan, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Tiga bangunan itu sampai sekarang masih ada, walaupun kondisinya kian memprihatinkan. Keturunan ketiga kerajaan yang secara intern berkuasa di bangunan tua itu, tidak memiliki dana cukup untuk mewujudkan kebesaran keraton sebagai peninggalan budaya, perintis kerajaan Islam di Jawa. (top)

dijukut sing http://okanila.brinkster.net/ kesuwun, Kang…

Ora Kerasa…

Ora kerasa, jaman wis obah…jaman bengiyen, wis lewat adoh pisan ning guri. Jaman melaku terus, muter terus, ngelinding terus…

Terus, lamun jaman terus ganti… kebudayaan Cerbon masih ana beli, yah? mengko suk kiki..??

Keraton wis pudar, pudar kumandange, pudar wibawa’ne, pudar warna tembok’ke… akeh lumut, akeh suket, tembok’ke pada rontok. Padahal waktu jaman semana, wibawa keraton ‘kawentar’ sampe teka ning tanah Demak, bahkan China…

Basa Cerbon wis rontok, jarang nemo’ni bahasa Cerbonan, bebasan, bagongan, ning kota. Basa Cerbon cuma ana ning kampung-kampung pelosok, ning lor-an, ning kidul-an, jare wong pinter sih : sudah terpinggirkan di tanah air sendiri…

Sintren, Tarling, Berokan, Genjring, Topeng… wis diganti karo dangdutan, di giles organ tunggal. Wis ora ana tarling klasik, kiser Saedah-Saeni. Jaman Jayana, Adjid, Kang Ato…wis bli dikenal maning.

Mengko suk kiki, Cerbon masih ana beli yah?

Stasiun Prujakan Cirebon

LIDAH “wong Cerbon” menyebutnya dengan nama “tap-siun”. Satu tempat-pertemuan.para pelancong yang akan ataupun tengah turun dari perjalanan. Wajah ragam hias “art de-co”yang didesain pada bangunan itu memang bisa dijadikan pencirian bahwa bangunan tersebut bukan dalam masa klasik, juga bukan dalam masa modern. Lihat saja pada bentuk bagian atas bangunan yang merupakan segitiga, jendela kotak, dan pintu lengkung yang menjadi ciri khasnya.

DEPAN bangunan djadoel (djaman doeloe) tersebut tampak sangat artistik berpola simetris samping kanan dan kiri. Stasiun Kejaksan -begitu nama lain dari stasiun besar Cirebon itu terdiri atas bangunan induk, gudang, dan peturasan. Pada bagian lain terdapat dua dipo (bengkel), tiap-tiap dipo khusus untuk perbaikan dan pemeliharaan lokomotif dan dipo untuk wagon. Keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bangungan stasiun.

Stasiun KA Kejaksan merupakan generasi pertama dari pembangunan stasiun kereta api pada masa penjajahan Hindia Belanda. Jalur yang membentang dari Jakarta dan Semarang pada masa itu. Data yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon mencatat, stasiun ini dibangun pada tahun 1911 atas prakarsa Staatsspoorwegen (perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan jalur kereta api ini dilakukan untuk mempercepat mobilitas barang dan penumpang, yang perintisan-nya mulai dilakukan sejak 1893 untuk jalur SCS (Semarang Cheribon Stoomtram-Maatschappij). Sementara jalur Cirebon-Cikampek dibangun sejak 1909 dan Cirebon Kroya sejak 1912. Angkutan penumpang pengusaha Eropa, termasuk pekerja rodi untuk Kota Batavia atau sebaliknya, dilakukan melalui stasiun ini.

Sejak Indonesia merdeka, stasiun ini menjadi milik dan dikelola PT Kereta Api (KA) Daerah Operasi 3 Cirebon. “Sebagian besar bangunan yang ada di lingkungan stasiun ini benar-benar djadoel,” kata Arie F., Wakil Kepala Seksi Dipo PT KA Daop 3 Cirebon. “lihat saja bangunan yang benar-benar kokoh, seperti bengkel kereta dan gudang air itu,” ucapnya menambahkan.Dipo (bengkel kereta api) yang berada di lingkungan Stasiun Cirebon dibangun setahun setelah stasiun besar tersebut didirikan, sekitar tahun 1913. Di bengkel itu masih tersimpan lokomotif diesel pertama yang dibuat General Electric tahun 1953- Wong Cerbon menamai loko tersebut dengan loko sepur Gajah Mada. Keaslian tersebut juga ditunjang dengan masih utuhnya alat putar lokomotif yang juga dibuat tahun 1913 dengan kondisi yang masih normal.

Dalam ruangan stasiun terdapat pintu gerbang yang kokoh dengan rantai dan gembok asli tertempel di situ. Ada empat pintu gerbang yang berukuran sama yang ditutup dengan pintu besi Anderson. Bagian atas pintu dinaungi kanopi hijau berbentuk siku, terbuat dari rangka besi dan beratap kaca fiber sebagai bangunan tambahan yang dibangun setelah masa kemerdekaan.Stasiun Kejaksan dikenal pula sebagai tempat bersejarah. Pada masa revolusi fisik, ribuan pejuang yang naik kereta dari Jatinegara menuju Yogyakarta sebagian diturunkan untuk menyergap Belanda yang datang membonceng bersama sekutu. Pertempuran besar terjadi di sekitar Alun-alun Kejaksan hingga sebelah barat Masjid At-Taqwa (sekitar Kantor HU Mitra Dialog saat ini).

Pada tahun 1982-an, ketika Kantor Pikiran Rakyat/”?R” Edisi Cirebon pindah dari Siliwangi 77 ke Jln. Kartini No. 7 masih bisa dilihat tembok dan pintu kayu jari yang bolong-bolong bekas tembakan peluru. Untuk memperingati pertempuran tersebut, kini dibangun tugu kemerdekaan persis di perempatan Jln. Siliwangi-Jln. Kartini.

Stasiun Prujakan

STASIUN KA Prujakan rupanya memiliki jalur rel yang berbeda dengan Stasiun Kejaksan. Stasiun kedua setelah Kejaksan ini awalnya sengaja dibangun untuk angkutan barang dari pelabuhan. lihat saja sisa-sisa rel dan jembatan djadoel yang masih tersisa di pinggir Jln. Sisingamangaraja,Kampung Kegiren dan Syekh magelung.Rel yang menghubungkan pelabuhan tersebut melintasi kedua kampung tersebut dan saat ini telah tertimbun tanah dan banyak dimanfaatkan masyarakat setempat untuk perumahan dan usaha. Sementara di bagian barat berdekatan dengan .Jln. K.S. . Tubun dialokasikan untuk tempat pedagang onderdil sepeda, becak, dan sepeda motor bekas.

Menarik untuk menelusuri jalur rel KA Prujakan ini. Sewaktu masih aktif jalur tersebut, sering kali lokomotif “jugjes” dengan pembakaran batu bara mogok. Otomatis anak-anak yang ada di sekitar kampung tersebut berhamburan untuk melihat sepur (spoor) mogok. Saat lokomotif selesai diperbaiki, mereka menaiki kereta barang tersebut hingga ke Stasiun Prujakan.Di sebelah selatan stasiun terdapat bangunan memanjang yang disebut sebagai “gudang barang”. Namun, sejak dekade 1970-an, gudang tersebut tak lagi dimanfaatkan PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api-kini PT KA) sehingga dimanfaatkan anak-anak muda penggemar bulu tangkis berlatih di situ. Pada masa kejayaan bulu tangkis Indonesia di tingkat internasional, dari gudang barang itu lahir atlet internasional juara All England. Dialah Tjun Tjun yang saat itu berpasangan dengan Johan Wahyudi.

Kini, stasiun barang tersebut kembali dimanfaatkan untuk kereta jurusan Tegal-Brebes-Cirebon. Naik-turun penumpang dilakukan di stasiun tersebut. Karena memang letaknya yang strategis di pinggir Jln. Kembar (kini Jln. Nyi Mas Gandasari). Berbeda dengan Stasiun Kejaksan yang berada agak jauh dari Jln. Siliwangi yang menjadi stasiun utama di Kota Cirebon.Dari catatan yang dihimpun Disbudpar Kota Cirebon, stasiun ini dibangun hampir berbarengan dengan Stasiun Kejaksan, yakni sekitar tahun 1911 atas prakarsa perusahaan kereta api swasta, Semarang-Cheriboncshe-Stoomtram-maatshappij (SCS). Pembangunan stasiun ini dimaksudkan untuk memudahkan dan mempercepat mobilitas arus komoditas pertanian dan barang-barang impor. Arus barang dari stasiun ini selanjutnya bermuara di Pelabuhan Cirebon.Untuk generasi yang lahir pada dekade 1980-an, mereka tak lagi menyaksikan rel kereta yang membentang di tengah kampung padat tersebut, meski sisa-sisanya masih bisa dilihat. Kisah menarik dari Arie F. kepada penulis. “Sering kali saya menaruh paku di rel kereta untuk dibuat semacam pisau kecil,” katanya mengenang.

“Saya lahir di rumah orang tua dekat rel dan alhamdulillah saya pun jadi orang yang bekerja di lingkungan kereta api,” ujarnya.Sekitar tahun 1920, masa awal arus penumpang dilakukan. Anak-anak pribumi yang berpakaian sarung dan bendo sering naik-turun di stasiun tersebut. Dari rumah kampung, mereka naik dokar. Bayarnya cukup satu blendong (di bawah satu sen gulden). Jalan Pekalangan yang kebetulan berhadapan dengan stasiun acap kali riuh ramai pada musim mudik dan arus balik Lebaran. Maklum, mereka juga rindu kampung halaman. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Umum Lembaga Basa lan Sastra Cerbon/LBSQ).

dijukut sing http://bataviase.co.id/ kesuwun Kang…