Tak Boleh Ada Genting di Dusun Keputihan
TERLETAK sebelah utara Sumber, ibu kota Kabupaten Cirebon, nama Dusun Keputihan di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, tampaknya masih belum dikenal banyak orang. Namanya masih terkalahkan oleh Kampung Naga di Tasikmalaya. Padahal dua kampung beda kabupaten tersebut sama-sama masih memegang tradisi leluhur.
Tradisi yang paling kasat mata adalah bangunan rumah para warganya. Meski saat ini jumlahnya tinggal sedikit, semua bangunan rumah di Dusun Keputihan benar-benar tradisional. Beratapkan daun tebu yang disusun sedemikian rupa supaya bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan guyuran hujan lebat, dinding rumah juga tidak menggunakan batu bata.
Warga memilih anyaman bambu sebagai dinding rumah mereka. Rumah pun dibiarkan hanya berlantaikan tanah, bukan ubin dari keramik dan sebagainya. Kamar mandi mereka buat di luar rumah. Itu pun masih tradisional, yakni dengan dilengkapi gerekan.
“Kami memang hidup seperti ini sejak dulu. Tapi sekitar dua tahun terakhir ini sudah mulai sedikit berubah, misalnya atap tidak lagi pakai daun tebu, tapi sudah ada yang pakai asbes,” ujar Sukaeti (30) saat ditemui di rumahnya, Senin (8/3) siang.
Warga, kata Eti, demikian ibu dua anak itu biasa disapa, terpaksa menggunakan asbes karena sulitnya memperoleh daun tebu sebagai bahan baku atap. “Hanya tinggal dua rumah saja yang pakai atap daun tebu. Maklum sekarang kebun tebu semakin sedikit. Jadinya ya terbatas,” kata Eti.
Mengapa tidak menggunakan genting dari tanah liat? Warga lain, Juriah (35), menuturkan, genting termasuk ke dalam benda yang tidak boleh digunakan oleh warga Dusun Keputihan. Meski umumnya warga tidak tahu apa penyebabnya, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, warga yang rumahnya memakai genting tanah selalu terkena sakit atau meninggal tiba-tiba.
“Melihat kejadian itu, warga pada takut jika harus menggunakan genting,” kata Juriah.
Rumah warga di Dusun Keputihan memang tinggal sedikit. Jumlahnya hanya ada 12 rumah. Setiap rumah diisi oleh satu sampai dua keluarga. Seperti di rumah milik Suti (60). Bersama dua anak, satu menantu, dan dua cucu laki-laki, Suti menempati rumah kecil yang masih menganut tradisi leluhur.
“Atapnya memang masih pakai daun tebu. Ini sengaja karena selain tradisi juga pakai atap tebu lebih nyaman,” ujar Suti.
Atap rumahnya itu hasil olah tangannya sendiri. Setiap kali musim panen tebu, dia memanfaatkan daunnya untuk dibuatkan atap. Daun-daun tebu tersebut disusun sedemikian rupa dengan bantuan bambu sepanjang 1,5 meter.
Menurut Suti, atap daun tebu tergolong tahan lama. Bisa bertahan sampai umur dua tahun. Setelah itu, barulah diganti. “Lumayan, Nok,” katanya.
Rumah Suti betul-betul masih sangat tradisional. Di dalamnya masih berlantaikan tanah. Memiliki dua kamar tidur yang dilengkapi ranjang, ruang tamu cukup dialasi oleh terpal. Para tamu hanya dipersilakan duduk di bawah, atau jika mau, cukup duduk di atas amben (tempat duduk dari bambu yang dipipihkan) di luar rumah.
Karena masih memegang tradisi leluhur, setiap bulan di Dusun Keputihan selalu digelar selamatan. Dipimpin oleh seseorang yang dianggap tetua dusun, selamatan bertujuan untuk menghilangkan roh jahat serta mengharapkan keberkahan pada dusun tersebut.
Nama Keputihan, menurut warga, berasal dari kejadian aneh beberapa ratus tahun silam. Di tengah dusun tersebut, terdapat sebuah sumur tua. Secara tiba-tiba muncul tanah putih sebesar lingkaran payung. Tanah tersebut berwarna putih, padahal sebelumnya berwarna biasa, yakni cokelat kehitaman. Sejak saat itulah, dusun tersebut dinamai Dusun Keputihan.
Sebagian besar warga Keputihan berprofesi sebagai buruh tani. Mereka menjadi buruh di dusun tetangga, tapi ada pula yang hanya menggarap kebun milik sendiri. Sebagai sampingan, kaum perempuannya bekerja juga sebagai pembuat net voli atau tenis. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah dengan upah Rp 2.000-Rp 6.000 per satu net.
Kaum lelaki yang tergolong masih muda banyak yang menjadi buruh pembuat kursi dari anyaman rotan. Mereka berburuh di desa tetangga di daerah Plumbon.
Meski masih memegang tradisi leluhur, warga Keputihan masih peduli pada pendidikan. Anak-anak mereka sekolahkan walau hanya tamat SD atau SMP. “Kebetulan sekolah dekat. Tinggal jalan kaki atau naik sepeda,” kata Rohmah (30).
Dusun Keputihan berada di daerah yang sejuk. Dikelilingi hamparan sawah serta kebun, rumah-rumah warga juga berada di antara pohon-pohon tinggi. Tak heran jika pengunjung akan betah berada di sana, seperti saat Tribun berkunjung Senin lalu, suasana sejuk menyelimuti. Kondisi itu jauh berbeda dengan Cirebon pada umumnya, yang memang bercuaca panas.
dijukut sing http://www.tribunjabar.co.id/ kesuwun Kang…