Archive for November, 2010

Bahasa Hibrida dari Masyarakat Diaspora

PUNTEN. Cakana boga kotok bibit? Caang tah poek? Kami aya perlu. Kami ndak nanya ka anak kita, daek tah hente? Diterima tah hente? Kami mawa jago ndak ngan-jang. Mun diterima, iye serena. Esina aya gambir, bako, serejeng lainna. Ngges ente Hia, kami ndak goyang, panglamaran diterima mah. Sejen poe, kami ndak nentuken waktu, jeng nentuken poe kawinna.”

ADA nuansa yang terasa asing pada penggunaan bahasa Sunda seperti di atas. Bahasa yang digunakan mayoritas penduduk di Jawa Barat itu, di Indramayu seperti terjadi distorsi dan akulturasi dengan bahasa daerah lainnya (Cirebon/Indramayu dan Melayu-Betawi).

Bahasa Sunda yang khas itu sudah be-rabad-abad digunakan, yakni di Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandang-haur, serta Desa Lelea dan pemekarannya, Tamansari Kecamatan Lelea. Masyarakat mengenalnya sebagai bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea.

Maksud kalimat di atas adalah, “Katanya punya anak gadis? Sudah punya pasangan belum? Saya ada perlu. Saya hendak bertanya kepada anak saudara, diterima atau tidak? Saya membawa jago hendak melamar. Kalau diterima, ini sirihnya. Isinya ada gambir, tembakau, sirih, dan lainnya. Sudah ya, saya tidak lama-lama, saya hendak pulang, kalau lamaran diterima mah. Lain hari, saya hendak menentukan waktu dan menentukan hari perkawinan.”

Kosakata asing dalam bahasa Sunda bermunculan pada kalimat di atas, seperti kami, kita, goyang. Sepintas kosakata tersebut seperti kata serapan dari bahasa Indonesia. Setelah mengetahui artinya, temyata bukan.
Kami artinya saya, dalam arti tunggal, bukan jamak. Kita berarti saudara. Goyang mengambil serapan dari bahasa Indramayu, yang artinya pulang.

Penggunaan kosakata kami merupakan pengambilan undak usuk yang dianggap halus dibandingkan aing, meski ada yang lebih halus lagi yakni kolo. Kosakata kita juga lebih halus, sebab penggunaan yang kasarnya adala inya. Dalam percakapan sehari-hari tentu saja akan lebih banyak lagi dijumpai kata-kata atau kalimat yang asing. Keasingan itu bisa jadi akan menimbulkan kesalapahaman, bahkan pengertian yang berbeda bagi orang luar.

“Bini aing benang kebanjir” disangka orang luar sebagai “istri saya hanyut oleh banjir”, padahal artinya “benih padi saya hanyut kena banjir”. “Melak waluh, buahna kendi?” disangka sebagai “menanam labu, buahnya kendi?” padahal artinya, “menanam labu, buahnya mana?”

Urutan penyebutan bilangan dari satu sampai sepuluh juga agak berbeda dengan bahasa Sunda, yakni siji, dua, tolu, opat, lima, genep, tuju, delapan, salapan, sepulu. Bisa jadi pula akan dijumpai kosakata, seperti seneng atau senung (anak perempuan), senang (anak laki-laki), kaka (kakak), cowene (gadis), perja-ka (jejaka), laki (lelaki), wewe (perempuan), ataupun ewe aing (istri). Keunikan kosakata seperti itu sering dijadikan “keusilan” bagi pihak luar sehingga muncullah kosakata pa-notog aing untuk menyebut suami.

Jika dalam bahasa Sunda mengenal abjad eu, dalam bahasa Sunda-Parean maupun Sunda-Lea hal seperti itu tampaknya tidak digunakan. Dalam penulisan maupun pengucapan selurunya menjadi e, seperti halnya bahasa Jawa setempat. Pada kosakata heunteu, misalnya, ditulis hente.

Pengaruh Jawa dan Melayu

Secara geografis, komunitas pengguna bahasa Sunda-Parean di Kecamatan Kandang-haur dan Sunda-Lea di Kecamatan Lelea di kelilingi komunitas pengguna bahasa Cirebon Indramayu.

Sangat mungkin beberapa kosakata dari bahasa Jawa atau Cirebon-Indramayu ikut memengaruhi. Begitu pula dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.

Letak kedua kecamatan itu cukup berjauhan sekitar 30 km serta jauh pula dari wilayah Pasundan. Kandanghaur berada di pantai utara, dengan mayoritas penduduknya adalah nelayan sangat mungkin bersentuhan dengan pengguna bahasa daerah lain.

Meski demikian, fanatisme pengguna bahasa Sunda-Parean tetap kuat pada empat desa. Hal yang berbeda pada pengguna bahasa Sunda-Lea yang kini kuantitasnya agak menurun karena kuatnya pengaruh bahasa Indramayu di sekitarnya.

Baik orang Parean maupun Lelea menganggap terciptanya komunitas Sunda terse-but berasal dari pengaruh Sumedang ketika menjadi kerajaan yang cukup masyhur. Wilayah Sumedang hingga mencapai tanah di Indramayu.

Akulturasi yang terjadi kemudian menciptakan masyarakat setempat menjadi dwiba-hasawan. Pengguna bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea memahami bahasa Cirebon-Indramayu, begitu pula sebaliknya. Percakapan sehari-hari antarkeduanya sering kali masing-masing menggunakan bahasanya sendiri, tetapi tetap komunikatif.

Ambil contoh percakapan dua bahasa itu yang dilakukan orang dari Parean yang berbahasa Sunda-Parean dengan orang dari desa tetangga, yakni Desa Eratan yang berbahasa Cirebon-Indramayu.

Orang Parean, “Aing biena ndak nyokot es ke inya. Mung Wa Kaji nawaran es ke kami, jadi kami te enakan, orah?” (Saya tadinya mau mengambil es ke kamu. Tetapi Wak Haji, menawarkan es ke saya. Jadi, saya tidak enakan ten?)

Orang Eretan, Ya, wis beli papa, sejen dina bae.” (Ya, sudah tidak apa-apa. Lain hari saja).

Orang Parean, “Oh, ngges. Suun*n. “(Oh, ya sudah, terima kasih).

Orang Eretan “Nggih.”(Ya).

Sunda-minoritas

Selain empat desa di Kecamatan Kandanghaur dan dua desa di Kecamatan Lelea, bahasa Sunda di Indramayu juga dijumpai di beberapa desa dan kecamatan lainnya. Meski demikian, hampir tak ada perbedaan kosakata dengan bahasa Sunda di Pasundan, selain di alek.

Hal itu karena secara kultural penggunanya adalah masyarakat Sunda yang ada di perbatasan Kabupaten Indramayu dengan Subang maupun Sumedang. Penggunanya antara lain di Desa Cikawung Kecamatan Terisi serta beberapa desa di Kecamatan Gantar dan Kecamatan Haurgeulis. Sedangkan di Blok Karangjaya, Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, asal usulnya adalah keluarga dari Bandung pada awal abad ke-20.

Pengguna bahasa Sunda di Indramayu boleh dikatakan minoritas di antara 301 desa dan 31 kecamatan. Menjadi Sunda-minoritas di Jawa Barat memang agak aneh kedengarannya. Ibaratnya Jawa Barat identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Jawa Barat.

Namun demikianlah kenyataannya bagi masyarakat Sunda yang berdiam di Kabupaten Indramayu. Mereka adalah minoritas – dengan segala kekhasannya – di tengah-tengah masyarakat Indramayu yang Jawa.

Menjadi minoritas ataupun mayoritas, tentu saja bukan sesuatu yang salah. Tak ada sudut pandang untuk menjadi merasa kecil ataupun besar.

Keunikan pada bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea dalam kacamata bahasa Sunda, bisa jadi sesuatu yang tidak berbeda jauh ketika bahasa Cirebon-Indramayu dilihat dari kacamata bahasa Jawa yang ada di Solo atau Yogyakarta. Bahasa Jawa yang terasa asing, sekaligus unik

Ini merupakan fenomena budaya masyarakat yang mengalami diaspora (terpisah dari induknya). Di tanah kehidupan yang baru, unsur budaya nenek moyang terjepit dengan unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Yang terjadi kemudian proses akulturasi budaya yang dalam gejala kebahasaan ada serapan dan ada juga pelepasan, yang kemudian membentuk bahasa hibrid, yang unik. ***

Supali Kasim, Ketua III Lembaga Basa lan Sastra Cerbon (LBSC).

dijukut sing http://bataviase.co.id/ kesuwun Kang…

Wayang Cepak Cirebon

Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled, Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi daerah Kapetakan dan Arjawinangun.

Wayang ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon.

Pertunjukan wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya terbatas pada upacara adat seperti Ngunjung Buyut (nadran, ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan (ngaruwat = melakukan ritus inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat ini biasanya berupa: wunggal (anak tunggal), nanggung bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi (empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga tanggal kausak (seorang putra diapit dua orang putri), dan lain sebagainya.

Dalam pertunjukannya di masyarakat, wayang cepak Cirebon memiliki struktur yang baku. Adapun susunan adegan wayang cepak Cirebon secara umum sebagai berikut :
(1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer / kawit, murwa, nyandra, suluk / kakawen dan biantara;
(2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan;
(3) Nagara sejen;
(4) Patepah;
(5) Perang gagal;
(6) Panakawan / Goro-goro;
(7) Perang kembang;
(8) Perang Raket;
(9) Tutug.

Waditra yang mengiringi wayang cepak pada awalnya berlaras pelog, tetapi karena untuk menyesuaikan situasi dan kondisi, waditra yang dipakai diberi berlaras salendro. Waditra ini meliputi gambang, gender, suling, saron I, saron II, bonang, kendang, jenglong, dan ketuk. Sementara beberapa lagu yang mengiringi pertunjukan wayang cepak, di antaranya Bayeman, Gonjing, Lompong Kali, Gagalan, Kiser Kedongdong dan lain-lain.

dijukut sing http://www.facebook.com/notes/wayang-indonesia/wayang-cepak-cirebon/177553982501 kesuwun Kang…

Karya Legendaris [ Sing Kawentar ]

Karya-karya tarling legendaris:

A.       Drama

1.       Baridin, karya Abdul Adjib

2.       Saedah Saeni, karya Uci sanusi

3.       Ajian Semar mesem

4.       Kang Ato Ayame Ilang (Gandrung Kapilayu), karya Sunarto MA.

5.       Sruet, tarling Cahaya Muda/H. T Ma’mun

B.       Kiser Manunggal, karya Jayana.

C.       Lagu-lagu hits

1.       Warung Pojok, Hj. Uun

2.       Kembang Boled, Cipt. Hj. Abdul Adjib

3.       Nambang Dawa, Ini Damini

4.       Manuk Dara Sepasang, Hj. Dariyah

5.       Sulaya janji, Hj, Dariyah

6.       Pemuda Idaman, Itih, S

7.       Jawa Sunda, Yoyo Suwaryo

8.       Mboke Bocah, Yoyo Suwaryo

9.       Pengen Dikawin, Dewi Kirana

10.     Sewulan Maning, Aas Rolani, dst.

Grup-grup Tarling:

a)       Putra Sangkala, pimpinan H. Abdul Adjib

b)       Nada Budaya, pimpinan Sunarto martaatmadja

c)       Kamajaya Grup, pimpinan Udin Zaen

d)       Primadona, pimpinan Pepen Effendi

e)       Cahaya Muda, pimpinan H. Ma’mun/Hj.Dariyah

f)       Bhayangkara Putra Buana

g)       Chandra Lelana, pimpinan Maman Suparman

h)       Jaya Lelana, pimpinan Jayana

i)        Dharma Muda, pimpinan Yoyo Suwaryo

*Jaran Guyang         : Ajian pengasihan untuk memelet seorang yang kita cintai       

*Ranggon/jondol      : semacem balai tempat santai/gazebo/pos ronda

dijukut sing http://sejarah.kompasiana.com/ kesuwun Kang…

Sejarah Dan Asal Usul Desa Kamarang

Menurut temuan para tokoh sejarah bahwa Desa Kamarang termasuk desa tua di Kabupaten Cirebon, hal ini dipandang dari aspek budaya dan peninggalan sejarah dari leluhurnya sebagai pendiri desa Kamarang.

Berikut Sejarahnya :
Pada awal abad ke 15 (+ tahun 1418 M) dua orang bersudara atau kakak beradik sebagai abdi dalem di Kerajaan Galuh Pakuan yaitu bernama Ki Danu Warsih dan Ki Danu Sela. Ketika runtuhnya kerajaan Galuh Pakuan, berdiri kerajan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi sejak itu Ki Danu Warsih dan Ki Danu Sela meninggalkan Galuh Pakuan untuk mengembara (ngelalana). Kedua orang tersebut sampailah di daerah Ciamis, bermukim di suatu tempat yang dinamakan Gunung Marapi, karena keduanya sedang melaksanakan Ilmu kema’ripatan.

Bertaun-tauan lamanya tinggal di gunung Marapi, kemudian Ki Danu Warsih menikah dengan seorang putri.
Dari pernikahan tersebut mempunyai seorang putri bernama. Nyai Mas Endang Ayu / Nyai Mas Endang Geulis.

Dua orang putra / putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran yaitu Raden Walang Sungsan dan Nyai Mas Rara Santang. Raden Walang Sungsang dan Nyi mas Rara Santang meninggalkan kerajaan Pajajaran, yang tujuannya mau mencari guru agama Islam. Kemudian sampailah di tempatnya Ki Danu Warsih. Setelah beberapa lama kemudian Raden Walang Sungsang merasa tertarik melihat kecantikannya Nyai Mas Endang Ayu. Singkat kata Raden Walang Sungsang Kemudian menikah dengan nyai Mas Endang Ayu.

Kemudian semuannya tertari kepada ajaran Agam Islam dan sepakat ingin mencari guru Agama Islam, lalu semuanya meninggalkan Gunung Marapi.
Dengan beberapa orang ulama dari negeri Bagdad untuk menyiarkan Agama Islam kemudian Ki Danu Warsih dan pengikutnya yaitu : Ki Danu Sela, Raden Walang Sungsang dan Nyai mas Endang Ayu sampailah di Dukuh Pasambangan, tempatnya Syeh Nurjati dan menjadi muridnya untuk berguru Agama Islam. Setelah beberapa lama di Dukuh Pasambangan Ki Danu Warsih berpamitan kepada Syeh Nurjati untuk melanjutkan mengembara atau mengelana.

Ki Danu Sela diperintahkan oleh gurunya untuk membuka hutan di sebelah Selatan Dukuh Pasambangan untuk dijadikan pemukiman agar penduduk banyak yang datang untuk bermukim. Ki Danu Sela dan Raden Walang Sungsang selesai membuka hutan, kemudian tempat tersebut dinamakan Kebon Pesisir, atau (sekarang Desa Lemah Wungkuk).

Kemudian Ki Danu Sela oleh gurunya diberi julukan ki Gedhe Alang-Alang yang selanjutnya menjadi Kuwu Pertama di Desa Caruban (Cirebon).
Dalam perjalannya Ki Danu Warsih sampailah ke suatu tempat yang berbukit atau tebing sehingga tempat tersebut cocok untuk meneruskan tapanya / (ngelalana). Tempat itu dinamakan bukit mara’api karena pada saat itu sedang melakukan tapa atau semedi, yang berasal dari kata ma’ripat selesai melaksukan tapa Ki Danu Warsih menemukan tumbuhan semacam pohon gadung setelah digali tumbuhan itu ada sebuah bakang, yaitu Goong kecil atau Bareng. Kemudian Goong tersebut dinamakan Goong Sekar Gadung.

Setelah beberapa waktu lamanya Goong tersebut disimpan di bukit Mara’api oleh Ki Danu Warsih.
Dan Pada suatu hari ada kejadian yang aneh Bareng/Goong tersebut di kerumuni oleh binatang aneh (semacam tawon) Ki Danu Warsih merasa kaget dan heran karena belum pernah melihat makhluk semacam itu sebelumnya. Kemudian ki Danu Warsih melakukan semedinya kepada sang pencipta, dan tiba-tiba ada suara tanpa wujud; yang bunyinya; mahluk itu namanya “Kamarang”. Yang selanjutnya sebutan Kamarang oleh ki Danu Warsih dijadikan nama Desa. Yaitu Desa Kamarang. Ki Danu Warsih membuat sebuah sumur, sumur tersebut dinamakan Sumur Kejayaan.

Sampai sekarang sumur kejayaan itu menjadi sumur keramat yang diyakini bisa memberikan Berkah / keselamatan bagi siapa saja yang menggunakan.
Banyak tempat-tempat lain sebagai petilasan atau peninggalan Ki Danu Warsih di pedukuhan Cirebon.
Setelah Ki Gedhe Alang-alang wafat, yang memimpin desa Cirebon digantikan oleh Raden Walang Sungsang yang bergelar Pangeran Cakrabuana membangun keraton pertama yaitu keraton Pakung Wati.
Sedangkan Goong Sekar Gadung atas perintah Pangeran Cakra Buana harus disimpan di Keraton Pakung Wati (seblum Keraton Cirebon). Untuk melestarikan Goong sekar Gadung dibawa ke Keraton Pakung Wati Cirebon oleh Muridnya dan pengikutnya Ki Danu Warsih. Dan sampai sekarang Goong Sekar Gadung disimpan di Mesium Keraton Kasepuhan Cirebon dan setiap bulan mulud selalu di bersihkan bersma pusaka-pusakan kerajajaan lainnya.

Itulah sejarah singkat Desa Kamarang dan hubungannya dengan Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang.
Pada tanggal 13 April 1984 Desa Kamarang mengalami pemekaran yaitu Desa Kamarang dan Desa Kamarang lebak. Kamarang Lebak yang mempunyai luas wilayah 154,639 Ha. Dan tempat-tempat bersjarah terletak di Desa Kamarang Lebak.

Desa Kamarang Lebak sebelum tahun 2007 berada di Wilayah Kecamatan Beber kemudian bulan Januari 2007 pengembangan Kecamatan dan Desa Kamarang Lebak masuk ke Wilayah Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon.

dijukut sing http://enmito-komputer.blogspot.com/ kesuwun Kang…

Asal Usul Desa Pegagan Kapetakan

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN KAPETAKAN

Sebelum menjadi Desa Pegagan, wilayah ini dahulu kala terdiri dari hutan-hutan dan banyak rawa-rawanya. Karena hutan tersebut dipisahkan olah rawa-rawa dan sungai, maka Sunan Gunung Jati memberi nama wilayah itu Pulau Raja. Kemudian setelah hutan-hutan dibabad dan dibakar maka jadilah hamparan pesawahan yang sangat luas. Oleh penduduk tanah tersebut dijadikan lahan pertanian, disebut Pegagan. Maka bermukim di padukuan, sekarang Desa Dukuh. Melihat kesuburan tanah di Pegagan dan luasnya lahan yang tersedia, maka banyaklah penduduk yang berdatangan untuk ikut menggarap sawah dan ladang. Lambat laun karena banyak yang bermukim di Pegagan tersebut, maka jadilah perkampungan yang disebut kampung Pegagan, asal kata dari Pegagaan.

Untuk memimpin perkampungan yang disebut kampung tersebut, Sunan Gunung Jati menetapkan murid Mbah Kuwu Cirebon bernama Syekh Mukhamad yang berasal dari Syam dan terkenal dengan sebutan Syekh Mengger (Monggor).

Namun Ki Mengger tidak lama menjadi gegeden daerah tersebut karena ia diminta pulang oleh orang tuanya untuk menajadi pemimpin negeri Syam. Sebagai penggantinya Sunan Gunung Jati menunjuk Patih unggulannya yang bernama Ki Banjaran dengan gelar Ki Cangak Putih. Ia dibantu putrinya yang bernama Nyi Mas Ayu Kendini yang berwajah cantik, beliau rajin membantu orang tuanya dalam mengolah sawah dan juga ikut meluaskan wilayah dengan membakar hutan sehingga wilayah itu semakin luas.

Disamping itu ia juga trampil mengatur tata praja, maka tidak menghereankan apabila peran Nyi Mas Ayu Kendini semakin terkenal. Saking kagumnya penduduk terhadap Nyi Mas Ayu Kendini atas kepandaian dan kecantikannya, maka dijuluki Bidadari Dwei Nawang Wulan. Pemandian Dewi Nawang Wulan sampai sekarang masih ada di komplek makam benjaran namanya Balong Widadaren.
Wilayah kampung Pegagan sangat luas dan memanjang ke barat sampai ke wilayah Panguragan (Blok Gempol Murub), bahkan ada wilayah Pegagan yang berada di daerah simbal Cantilan Jagapura yang luasnya kurang lebih 5 hektar. Hal ini di sebabkan pembakaran hutan yang dilakukan oleh Nyi Mas Ayu Kendini yang apinya meletuk terbawa angin dan jatuh di Daerah Simbal. Sekarang Wilayah tersebut sudah resmi masuk di Wilayah Jagapura melalui musyawara antara Kuwu Pegagan dan Kuwu Jagapura.

Dengan Pimpinan Ki Ageng Putih dan Putrinya, kampung pegagan bertambah maju, tertib dan teratur, penduduknya subur makmur tidak kurang sandang pangan.
Perkampungan Pegagan mampunyai Cantilan :
1. Cantilan Dukuh
2. Cantilan Kroya

Nyi Mas Ayu Kendini terkenal bukan karena pandai mengatur tata praja dan keterampilan serta peretanian saja, tetapi juga karena kecantikannya. Sehingga banyak pemuda yang tergila-gila pada putri Sekar Kedaton Pegagan. Diantaranya yang pertama-tama datang melamar ialah Rambit, lamaran itu langsung diterima oleh Ki Benjara tanpa berunding dengan putrinya. Padahal putrinya tidak mencintainya. Saat pernikahan akan dilangsungkan, Ki Benjara serta orang-orang Pegagan sangat kaget, karena putri Sekar Kedaton ada yang menculiknya. Tentu saja R.Ambit sangat murka dan tanpa banyak tutur lagi segera lari mengejarnya.

R.Sambarasa murid Ki Ageng Jopak atau Ki Gede Kaliwedi yang baru menyelesaikan tapanya dialas jatianom, ditengah alas itu ia melihat R. Sembaga yang sedang menggendong. Nyi Mas Ayu Kendini dalam keadaan pingsan. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan pada diri R. Sambarasa. Ia meminta kepada R. Sembaga untuk menurunkan putri itu dari gendongannya, tetapi R.Sembaga untuk menolaknya, terjadilah perang tanding yang sangat seru, masing-masing mengeluarkan ilmunya. Tetapi lama kelamaan R.Sembaga merasa terdesak dan lari meninggalkan musuhnya. Kemudian R.Sambarasa menyembuhkan Nyi Mas Ayu Kendini dari pingsannya, dan diajaklah pulang ke orang tuanya di Pegagan, tetapi Nyi Mas Ayu Kendini menolaknya dan mengajak R.Sambarasa untuk pergi jauh dan menika disana. Mendengar pernyataan Nyi Mas Ayu Kendini yang tulus maka R.Sambarasa berdiam diri tidak sampai hati menolaknya. Namun pembicaraan itu terputus karena kehadiran R. Ambit yang langsung menyerangnya duduk masalahnya, tetapi R. Ambit tetap tidak percaya, hingga terjadilah perang tanding yang sangat seru, yang kedua-duanya mengeluarkan ilmu andalannya. Tetapi lama kelamaan R. Sambarasa dapat dirobohkan oleh R. Ambit dan ditendangnya ke dasar jurang. Setelah siuman R. Sambarasa menemui gurunya Ki Gede Kaliwedi.

Kembalinya Nyi Mas Ayu Kendini ke Pegagan disambut gembira oleh rakyat Pegagan, lebih lebih orang tuanya Ki Benjara.

Untuk tidak membuang waktu segera Ki Benjara melangsungkan pernikahan dengan R.Ambit. Tetapi lagi lagi mengalami kegagalan karena kehadiran Ki Ageng Jopak yang datang menuntut balas atas kekalahan R.Sambarasa muridnya, apalagi posisi muridnya adalah benar, maka tanpa banyak bicara lagi langsung Ki Ageng Jopak menyerang R.Ambit. Untunglah bon memisahkannya dalam garis penuturan bukan jodohnya tetapi jodoh R.sambarasa.

Di Keraton Kedaton, Sinuhun Gunung Jati kedatangan tamu dari tanah seberang yang maksudnya mau menjemput Ki Benjara bersama keluarganya untuk dinobatkan menjadi raja di negerinya. Mendapat permintaan itu, Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu tidak bisa menolaknya. Selanjutnya Ki Benjara bersama dengan Nyi Mas Ayu Kendini dan suaminya R.Sambarasa berpamitan kepada Sunan Gunung Jati serta Mbah Kuwu Ki Cakrabuana untuk meninggalkan Pendukuhan Pegagan. Adapun untuk gegedennya Pedukuhan Pegagan diserahkan pada Syekh Magelung Sakti yang ada di Pedukuhan Karang Kendal.

Memasuki Abad 17 tepatnya tahun 1628 tentara mataram dibawah pimpinan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. Serangan ini gagal, karena kekurangan makanan dan serangan penyakit malaria. Memang saat itu transportasi tidak mudah seperti sekarang, maka kegagalan ini oleh pimpinan tentara Mataram di jadikan pengalaman untuk serangan berikutnya.

Seluruh pasukan diperintahkan untuk melucuti senjatahnya dan di kumpulkan lalu di kubur berjajar dua, makanya dari Cirebon sampai Indramayu terutama Kapetakan dan Cirebon Utara hamper di setiap desa di pinggir jalan raya ada makam berjajar dua, hal ini dilakukan sesmata-mata untuk mengelabui Belanda.

Pada suatu saat kampung Pegagan dan Karang Kendal disinggahi tentara Mataram yang membaur dengan penduduk dan banyak pula yang melakukan paerkawinan dengan penduduk setempat. Mereka memilih tempat di tengah yaitu di Desa Dukuh, karena tempatnya agak sepi jauh dari jalan raya tetapi mudah menghubunginya manakala ada berita perjuangan. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Antrawulan yang menetap di Dukuh.

Memasuki abad 18 tepatnya tahun 1808, Gubernur Jenderal Belanda Deanless merombak susunan tata praja, khususnya di tanah jawa, yaitu :
1. Raja-raja akan digaji oleh Belanda dan tidak boleh mengambil Pajak kepada masyarakat.
2. Pergantian Sultan khususnya di Cirebon dicampuri oleh Belanda.
3. Adipati yang menguasai Kadipaten diganti dengan Bupati yang menguasai Kabupaten serta dapat gaji dari Belanda.
4. Ki Gede / Ki Ageng diubah menjadi Kuwu dan medapat bengkok.

Peninggalan sesepuh Pegagan yang perlu dilestarikan adalah:
1. Ki Jati bereupa kayu jati yang telah memfosil, terletak di depan Balai desa Pegagan Kidul, yang memiliki makna hati-nati dalam mengendalikan pemerintahan.
2. Makam Tumpeng, asalnya dari buah tumpeng yang dikubur berada di sebelah utara Balai Desa Pegagan Kidul, memiliki makna dalam mengendalikan pemerintahan Desa harus lempeng dan jujur.
3. Balong Dalem, memiliki makna hendaknya berpikir yang dalam dan sabar ketika menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Balong Dalem ada di sebelah timur Balai Desa Pegagan Kidul.
4. Buyut Semut ada di sebelah timur Balong Dalem yang memiliki makna harus emut, eling kepada yang Maha Kuasa jangan sampai bertindak angkara murka.

Pada saat Cirebon membara sekitar tahun 1816 – 1818 yang dikenal Perang Kedodongdong, yaitu perlawanan masyarakat Cirebon terhadap penjajahn Belanda dibawah pimpinan Begus serit. Hampir seluruh kuwu yang berada di wilayah Cirebon membantu perjuangan tersebut, baik yang terang-terangan maupun yang dibawah tanah, khususnya kuwu dan masyarakat perjuangan itu, diantaranya adalah tokoh-tokoh Ki Belang, Ki Laisa, Ki Salam dan Ki Lamus (Ki Tika).

Alat yang digunakan semasa perjuangannya, yang sekarang berupa benda pusaka dan masih tersimpan oleh anak cucunya, diantaranya adalah tombok, arti yang biasa berjalan sendiri, bendera waring dan baju antakesuma.

Desa Pegagan mengalami pemekaran pada tahun 1981, menjadi Desa Pegagan Kidul dan Desa Pegagan Lor.

Adapun nama-nama Kepala Desa yang diketahui adalah Desa Pegagan Kidul, sejak tahun 1908 :

1. Ki Narpijan
2. Ki Baijan
3. Ki Laisa
4. Ki Sam
5. Ki Kasem
6. Ki Resmi
7. Ki Salam
8. Ki Kemisat
9. Ki Samad
10. Ki Silem
11. Ki Nerfan
12. Ki Akim
13. Ki Wasiem
14. Ki Sesmpit
15. Sarbinga
16. Ki Ketimpen
17. Ki Dir
18. Ki Kireja
19. Ki Kasti
20. Ki Lampar/Kiwarasesntika
21. Ki Ketimpen
22. Ki Jiyem
23. Ki Suwada
24. Ki Madrais
25. Ki Wangen
26. Ki Muna
27. Ki Lebon
28. Ki Dasnia
29. Ki Padmanegara
30. Ki Darisem
31. Ki Senjani / H.Bakri
32. Ki Darmi
33. Ki Tuba
34. Ki Kamsia
35. Ki Wardeni
36. Ki Arja
37. Ki.H Ali
38. Ki Wangsa
39. Ki Bulyamin
40. Ki Abdulah Sajan
41. Ki Sabil Supeno : – 1969
42. Ki H. Kasanah : 1969 – 1981
43. Ki H. Maksudi (Pjs) : 1981 – 1985
44. Ki H. Dasita : 1985 – 1995
45. Ki Wadira : 1995 – 2003
46. Ki Rusli : 2003 – sekarang.

Desa Pegagan Lor :
1. Ki Dalisa (Pjs) : 1981
2. Ki Dalisa : 1981 – 1993
3. Ki Rokhmat : 1993 – 2003
4. Ki Dedi Asmadi : 2003 – sekarang.

dijukut sing http://vanhellsink.blogspot.com/ kesuwun Kang…