Archive for September, 2009

Propinsi Cirebon

Her Suganda – Wartawan Senior

KEINGINAN Cirebon dan Indramayu yang mencuat ingin memisahkan diri
dari Propinsi Jawa Barat merupakan pengulangan masa lalu. Walaupun
berada dalam bingkai wilayah Propinsi Jawa Barat, Cirebon adalah
daerah yang unik dan menarik.
Salah satunya, bahasa Cirebon tidak sama dengan bahasa Sunda dan
bahasa Jawa. Karena itu, ketika Pemda Jabar berusaha menyeragamkan
bahasa Sunda sebagai muatan lokal di sekolah dasar (SD), seorang anak
SD di daerah ini melakukan protes dengan menghapus mata pelajaran itu
dari daftar kurikulum yang tertera di atas papan tulis kepala sekolahnya.

Penutur bahasa Cirebon memang tergolong minoritas. Tetapi
keberadaannya tidak mau dikesampingkan dengan begitu saja. Orang-orang
Cirebon sangat bangga dengan bahasa dan budayanya. Buktinya, ketika
tokoh-tokoh Cirebon menghadiri sidang Konferensi Jawa Barat III di
Bandung pada tanggal 28 Februari 1948, mereka menolak tegas mosi
Soeria Kartalegawa yang mengusulkan agar pembicaraan dalam rapat badan
perwakilan tersebut dibolehkan menggunakan bahasa Sunda.

Salah seorang di antaranya, Soekardi menyatakan: “Djika dibolehkan
berbitjara dalam bahasa Soenda, orang-orang yang ingin memakai bahasa
daerah lainnya poen haroes diizinkan, oempamanja bahasa daerah
Tjirebon”. Penolakan juga disampaikan ketika nama Jawa Barat akan
diganti dengan Pasundan.

Soeria Kartalegawa adalah Ketua Partai Rakyat Pasundan (PRP) yang
memproklamirkan Negara Pasundan sebagai negara “boneka” buatan van
Mook yang bertujuan memecah belah masyarakat Jawa Barat. Proklamasi
negara tersebut diselenggarakan di alun-alun Bandung pada tanggal 4
Mei 1947.

Tetapi keinginan mengganti nama Jawa Barat sebagai wilayah propinsi
rupanya belum padam sampai setengah abad kemudian. Keinginan itu
pernah dimunculkan kembali ketika Propinsi Banten terbentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, sehingga sejak itu
wilayah Propinsi Jawa Barat terbagi dua.

Isu penggantian nama menjadi Propinsi Pasundan akhirnya menggelinding
menjadi bola panas. Dengan nada mengancam, masyarakat Cirebon
menyatakan akan memisahkan diri dengan mendirikan Propinsi Cirebon.

Sebuah keinginan yang hingga kini belum padam. Tulisan sama sekali
tidak bertujuan mengungkit-ungkit masa lalu, tetapi lebih bermaksud
mengingatkan, bahwa Cirebon memiliki latar belakang sejarah yang
berbeda. Dari satu sisi, Cirebon memang berasal dari satu akar pohon
Jayadewata yang dalam tradisi setempat dijuluki Prabu Siliwangi.
Tetapi pada sisi lain, anak dan cucu-cucunya menempuh jalan yang berbeda.

Cirebon dibangun Pangeran Cakrabuana, salah seorang putra Jayadewata
dari istri kedua, Nay Subanglarang, yakni salah seorang santri
Pesantren Syeh Quro di Karawang yang didirikan Syeh Hasanudin pada
tahun 1416. Istri pertama Nay Sindang Kasih. Akan halnya Jayadewata
adalah cucu Wastukancana, penguasa Galuh yang kemudian membagi
kekuasaannya pada kedua anaknya.

Anaknya yang pertama, Dewaniskala tetap berkuasa di Galuh dan
Susuktunggal berkuasa di Pakuan. Kedua wilayah kerajaan tersebut
dibatasi Sungai Citarum. Karena melanggar larangan dengan menikahi
wanita yang sudah bertunangan yang dalam Carita Parahiyangan disebut
“estri larangan ti kaluaran” dan mengawinkan anaknya dengan salah
seorang pengungsi dari Majapahit, Dewaniskala diturunkan sehingga
hanya bertahta tujuh tahun karena dianggap berdosa besar. Ia
digantikan Jayadewata yang merupakan anak keduanya.

Setelah menikah dengan Nay Kentring Manik Mayang Sunda, putri
Susuktunggal yang tidak lain putri pamannya sendiri, Jayadewata
dianugerahi gelar Sribaduga Maharaja. Sejak itu, dua wilayah yang
sebelumnya terpisah dipersatukan kembali. Inilah yang sering disebut
masa jaya Kerajaan Sunda Pajajaran dengan pusat pemerintahan di Pakuan
(kini Bogor).

Dari Nay Subanglarang, Sribaduga Maharaja dikaruniai tiga anak,
masing-masing Walangsungsang, Nay Larasantang, dan Raja Sangara.
Sebagai satu-satunya pemeluk agama Islam, tidak pernah diketahui
bagaimana perasaan dan kehidupannya di tengah keraton Pakuan
Pajajaran pada masa pra-Islam. Yang jelas, setelah meninggal, dua
orang anaknya memilih meninggalkan istana. Mula-mula Walangsungsang
dan kemudian menyusul adiknya Nay Larasantang. Keduanya menuntut ilmu
agama Islam di Cirebon, tempat asal ibunya.

Kakak beradik itu kemudian menunaikan ibadah Haji. Jika kakaknya
kembali ke Cirebon dan kemudian dikukuhkan menjadi kuwu Cerbon dengan
nama Pangeran Cakrabuana, sang adik Nay Larasantang diperistri, salah
seorang penguasa Mesir dan dikaruniai tiga anak.
Putra sulungnya, Syarif Hidayatullah yang kelak dikenal sebagai Sunan
Gunungjati, setelah dewasa berangkat ke Cirebon . Ia menerima
kekuasaan dari uwaknya (kakak ibunya) setelah menikahi putrinya,
Pakungwati.

Cirebon yang semula berada di bawah Galuh, pada masa Sunan Gunungjati
menyatakan memisahkan diri dengan cara menolak memberi upeti. Sehingga
sejak itu, Cirebon berdiri sendiri sebagai kesultanan bercorak Islam.
Pengaruhnya berkembang jauh sampai ke wilayah Priangan Timur. Bahkan
dalam perjalanan selanjutnya, pasukan cicit Sribaduga Maharaja yang
berasal dari Banten dan Cirebon dibantu Demak telah menghancurkan
keraton Pakuan, sehingga Kerajaan Sunda Pajajaran berakhir pada tahun
1579 M.

Walaupun pada masa pemerintahan Belanda kekuasaan dan pengaruh Sultan
Cirebon pernah dipersempit, namun keberadan Kesultanan masih tetap ada
hingga kini. Sebuah bukti bahwa daerah ini memang memiliki sejarah
panjang dan tidak sama dengan daerah lainnya di Jawa Barat.*

dijukut sing http://www.opensubscriber.com/message/baraya_sunda@yahoogroups.com/8610487.html

Bahasa Cirebon, Hegemoni dan Fatamorgana

 

Oleh Supali Kasim

Ada nuansa gugatan dan rasa sentimentil yang cukup jauh dikemukakan Dadang Kusnandar dalam tulisan “Hegemoni Bahasa” (Kompas Jawa Barat, 18/7). Kekecewaan beberapa aktivis bahasa Cirebon dalam kegiatan yang diadakan Balai Pengembangan Bahasa Daerah (BPBD) Dinas Pendidikan Jabar di Cirebon itu agaknya menyeret tulisan tersebut ke ranah lebih jauh secara kilas balik berupa potongan-potongan gambar: politik, budaya, dan sejarah.

Tanggapan Dadang Bainur berupa “Fatamorgana Hegemoni Bahasa” (Kompas Jabar, 27/7) menyiratkan ketiadaan masalah. Sebagaimana fatamorgana, terlihat dari jauh ada sesuatu, tetapi sesungguhnya tidak ada. Dari jauh kelihatan ada masalah tentang keberadaan bahasa Cirebon, tetapi sesungguhnya masalah itu tidak ada. Dadang vs Dadang Agak terenyak juga, permasalahan dalam kegiatan BPBD, yang kemudian ditindaklanjuti dengan permohonan maaf, menyeret berbagai dimensi lain, bukan hanya teknis perlombaan seperti yang ditulis Dadang Kusnandar. Tuduhan adanya hegemoni bahasa dengan berbagai akibatnya demikian mengental dalam arus yang padat informasi dan data empiris.

Pandangan tentang diskriminasi dalam pemerintahan dan politik, hegemoni budaya, ataupun marjinalitas bahasa lebih tepat sebagai pernyataan simbolik dengan mengetengahkan patahan-patahan wacana, slide-slide tema, ataupun garis dan titik simbol.

Permasalahan dalam kegiatan BPBD seakan-akan menjadi katup pembuka mengucurnya ketidakberesan yang terpendam bertahun-tahun. Momen tersebut menjadi titik pertama untuk dirangkaikan dengan titik-titik kekecewaan berikutnya. Agak sulit untuk mengiyakan atau menidakkan gugatan tersebut, bahkan kalaupun bersikap abu-abu.

Hal itu, pertama, karena beberapa bagian tulisan Dadang Kusnandar lebih mengarah pada wacana atau pandangan. Bagian yang mengetengahkan latar sejarah bahasa Sunda dan Cirebon lebih tepat disebut sebagai wacana yang memiliki dimensi penafsiran. Kedua, sebagian data yang diketengahkan adalah data lama yang belum tentu aktual untuk mendukung gugusan argumen yang mendukung tuduhan terjadinya hegemoni.

Ranah politik dan pemerintahan, sejarah, budaya, hingga pengajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah di Cirebon dan Indramayu merupakan fakta lama sebelum ada Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003. Di sisi lain tulisan Dadang Bainur justru menafikan lembaran-lembaran lama tersebut dan lebih mengedepankan untuk membuka lembaran baru setelah terbitnya Perda No 5/2003.

Wacana atau pandangan sese-orang belum tentu sehaluan dan seirama dengan orang lain. Begitupun argumentasi Dadang Kusnandar tentang hegemoni bahasa yang berseberangan dengan Dadang Bainur yang menganggapnya fatamorgana semata. Meski demikian, kilas balik sebelum Perda No 5/2003 terbit, fakta tentang pengajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah di Cirebon dan Indramayu adalah keniscayaan. Fakta dan keniscayaan itu sebenarnya sudah dikubur dalam-dalam ke tempat yang paling jauh. Yang ada sekarang adalah pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah di Cirebon dan Indramayu, yaitu bahasa Cirebon (di Kabupaten Indramayu secara formal disebut bahasa Indramayu).

Sangat mungkin permasalahan berasal dari satu titik, kemudian ketika dibahas berkembang ke titik-titik lain. Pleidoi yang dilakukan Dadang Bainur menyiratkan hal demikian untuk mengandaskan tuduhan adanya hegemoni bahasa. Intinya adalah tidak ada hegemoni bahasa. Berbagai argumen yang melatari tuduhan tersebut dipatahkan dengan mengetengahkan data yang lebih faktual dan aktual.

Oleh karena itu, pada bagian akhir tulisannya, yang merupakan gong terakhir, disebutkan, …permintaan untuk mengakhiri hegemoni bahasa dan budaya sesungguhnya tidak perlu karena tidak pernah ada yang memulainya. “Angadohna ing perpadu”

Mengkhidmati polemik Dadang versus Dadang, keduanya seperti melupakan awal permasalahan yang sebenarnya. Pembahasan polemik lebih tertuju pada kembang-kembang masalah yang lebih indah dan seksi: politik, pemerintahan, sejarah, dan budaya. Padahal, akar masalahnya hanyalah masalah teknis semata.

Masalah teknis tersebut sangat mungkin merupakan akibat kekhilafan atau ketidaktahuan BPBD dalam implementasi Perda No 5/2003. Bahkan kekhilafan dan ketidaktahuan itu sebenarnya juga bukan hanya pada Pasanggiri dan Apresiasi Bahasa, Sastra, dan Seni Daerah (PABSSD), tetapi juga pada kegiatan pembinaan teknis untuk guru.

Semangat keragaman dalam PABSSD di Cirebon sebenarnya tampak. Setidaknya pada malam penganugerahan hadiah diselipkan lagu Cerbonan, semisal “Turun Sintren”, oleh mojang geulis diiringi orkestra dari STSI Bandung. Hanya, baris terakhir pada bait pertama lagu tersebut terlewatkan, yakni tidak ada kalimat Widadari temuruna. Hal yang menjadi kekhilafan atau ketidaktahuan itu adalah alpa menyertakan bahasa, sastra, dan seni Cirebon.

Pada pembinaan teknis juga alpa disertakan seni Cirebon. Akan lebih implementatif jika acara itu bukan hanya kecapi suling dan tembang Cianjuran untuk Sunda, tetapi juga tarling dan tembang Cerbonan-Dermayonan untuk Cirebon-Indramayu.

Ini tentu saja sangat teknis. Ketika ada yang mempersoalkan masalah yang sangat teknis ini, agak mengenyakkan juga jika ditang- gapi dengan penuh kecurigaan. Meski demikian, ada benang merah yang menyembul ketika ditarik dari kedua titiknya. Benang merah itu adalah bagaimana bahasa Cirebon tidak menjadi bahasa ke-3001 setelah 3.000 bahasa daerah di dunia mengalami kepunahan.

Benang merah itu juga merupakan titik temu dari sebuah gugon tuwon (wasiat) Sunan Gunung Jati, seperti, “Anagadohna ing perpadu (Jauhi perselisihan. Dalam menyelesaikan suatu masalah, hendaknya bermusyawarah).”

Sebagai orang yang menjadi salah satu pelaku yang mempertanyakan secara lisan kegiatan BPBD di Cirebon, terus-terang saya agak merinding ketika permasalahan tersebut ditarik ke ranah lain yang lebih jauh, yaitu politik dan pemerintahan dengan segala implikasinya. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan dan saya jangkau.

Saya pun agak trenyuh ketika ada tanggapan penuh kecurigaan seperti pada alinea keempat tulisan Dadang Bainur, Yang “berseteru” adalah kepentingan-kepentingan tertentu dari pihak-pihak tertentu pula yang muatannya patut dipertanyakan, siapa mewakili siapa.

Bisa jadi akan sangat karikaturis jika pertanyaan itu dijawab dengan ringan bahwa kepentingan-kepentingan tertentu itu adalah kepentingan lestarinya bahasa daerah, pihak-pihak tertentu itu adalah anak-anak yang berpengharapan mendapatkan penghargaan tetapi jerih payah mereka tidak dihargai. Muatannya adalah bagaimana sebuah lomba memberikan hak yang sama untuk semua peserta dan figur-figur yang mengusulkan memiliki kesadaran pribadi dan lembaga.

Akan tetapi, di tengah hiruk-pikuk politik, kecemasan budaya, dan keanekaragaman curiga, sebuah jawaban jujur atas permasalahan yang sesungguhnya sangat teknis masihkah mendapatkan ruang?

SUPALI KASIM Mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu; Pengurus Lembaga Basa lan Sastra Cerbon

dijukut sing http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/01/12205717/bahasa.cirebon.hegemoni.dan.fatamorgana