Archive for Agustus, 2010

Budaya Pesisir Utara Jawa Barat

diposkan oleh Diposkan oleh B.Santosa

Letaknya yang secara geokultur berada di perlintasan dua kebudayaan besar membuat masyarakat di Cirebon, Indramayu, dan (sebagian) Majalengka (Ciayumaja) memiliki dua bahasa ibu. Perjalanan sejarahnya yang panjang kemudian membentuk peta kebudayaan yang mencerminkan adanya tarik-menarik pengaruh di antara dua kebudayaan besar tadi.

Yang dimaksud dua kebudayaan besar itu ialah Sunda di sebelah barat dan selatan, serta Jawa di sebelah timur dan utara. Pengaruh Sunda, dalam sejarahnya lebih bersifat politis karena Cirebon (Ciayumaja) dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan (geopolitik) kerajaan-kerajaan Buddha-Hindu Kuno seperti Galuh, Pajajaran, dan Sumedang Larang.

Sementara pengaruh Jawa, lebih bersifat kebudayaan (geokultur) melalui interaksi sosial yang terbentuk karena letak geografis pesisir pantura yang strategis sebagai sentra perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, di antaranya lewat syiar Islam Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa, seolah makin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut.

Tarik-menarik di antara dua kebudayaan besar tadi, dalam perjalanannya, kemudian menghasilkan suatu kebudayaan tersendiri, yakni apa yang sampai sekarang disebut dengan kebudayaan Cirebon. Dari sisi kebahasaan, masyarakat yang berdiam di Ciayumaja, sampai sekarang lalu mengenal dua bahasa ibu (dwibahasa), yakni Sunda dan Jawa.

bahasa-jawa-cerbon-dermayonDari sisi kebahasaan (bahasa ibu) tadi, terbentuk pula peta dua bahasa yang bila merunut lewat kronologi sejarah atau proses terbentuknya konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya, menggambarkan intensitas pengaruh dari dua kebudayaan besar tadi (Sunda dan Jawa). Dalam konteks kewilayahan secara administratif kenegaraan masa sekarang, di antara lima daerah, yakni Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan (Ciayumajakuning), hanya masyarakat Kuningan yang bahasa ibunya sama dengan daerah Pasundan umumnya, yakni bahasa Sunda. Empat daerah lainnya, yakni Ciayumaja, mengenal dua bahasa ibu, Sunda dan Jawa.

Akibat tarik-menarik pengaruh tadi, terbentuk entitas kebudayaan tersendiri yang disebut kebudayaan Cirebon. Dari segi bahasa, juga kemudian membentuk bahasa tersendiri, yakni yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sunda Cirebon atau juga Jawa Cirebon.

Kata “Cirebon” menunjukkan bahasa Sunda yang dipakai masyarakat Ciayumaja, terdapat kekhasan, pun demikian dengan bahasa Jawa. Ada perbedaan-perbedaan dengan Sunda atau Jawa mainstream, terutama pada dialek (irama bahasa) dan idiolek (ragam bahasa).

Perbedaan yang terasa itu pada dialek dan idiolek. Sunda yang digunakan wong Cerbon, beda dengan Sunda mainstream. Juga dengan bahasa Jawanya. Dari fenomena itu muncul “peng-aku-an” bahwa Cirebon ya Cirebon, bukan Sunda maupun Jawa.

Pada fenomena itu, terdapat pula sisi keanehan, yakni bahwa bahasa Sunda dan Jawa yang digunakan masyarakat di Ciayumaja, terdapat kosakata “Sunda Buhun” dan “Jawa Kuno” yang di masyarakat Pasundan atau Jawa sudah tidak lagi digunakan.

Contohnya seperti masyarakat Kecamatan Lelea di Indramayu yang berbahasa Sunda (atau disebut Sunda Lelea). Untuk menyebut kata “istriku”, bukan pamajikan atau pamajikan urang, tetapi panotog aing. Menurut Nurochman Sudibyo, budayawan setempat, panotog itu kosakata Sunda Buhun yang oleh masyarakat Pasundan sendiri sudah tidak lagi digunakan atau hilang.

Untuk bahasa Jawa, misalnya kata bobat (bohong), masyarakat Jawa (di Jateng dan Jatim) sudah sama sekali tidak mengenal. Untuk menyebut “bohong”, rata-rata orang Jawa menyebut dengan lombo atau nglombo atau ngapusi.

Kata bobat ini merupakan bahasa Jawa kuno yang oleh rata-rata masyarakat Jawa sendiri sudah tidak digunakan. Padahal, di balik kata bobat ada peristiwa sejarah yang sangat dramatis dan menimbulkan trauma bagi masyarakat Sunda umumnya, yakni Perang Bubat, (bubat berasal dari kata bobat) atau perang bohong-bohongan yang terjadi ketika sepasukan tentara Majapahit, atas perintah Patih Gajah Mada, menyerang rombongan Putri Padjajaran Diah Pitaloka (diyakini di daerah Majalengka) sekadar untuk menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan putri Kerajaan Sunda itu.

“Bahwa ada kosakata-kosakata kuno yang masih bertahan ini sama dengan fenomena Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname itu lebih Jawa daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahasa Jawa Suriname lebih klasik dibandingkan dengan Jawa yang ada di Pulau Jawa,” tutur Nurochman.

Penggunaan Basa Jawa Cerbon/Dermayon
Sunda Lelea & Parean

Untuk Indramayu, ada dua kantong (enclave) masyarakat Sunda yang unik yang masih mempertahankan bahasa ibu Sunda di tengah-tengah masyarakat umumnya yang berbahasa Jawa (Jawa Dermayon), yakni di Desa Lelea (Kecamatan Lelea) dan masyarakat nelayan di Desa Parean (Kecamatan Kandanghaur). Orang Indramayu menyebutnya Sunda Lelea dan Sunda Parean, bahasa Sunda yang digunakan masyarakat dua desa itu hampir sama, dan berbeda dengan Sunda mainstream.

“Masyarakat Sunda Lelea dan Parean sebagai fakta dari rentetan sejarah pengaruh Kerajaan Sumedang Larang di Indramayu. Lucunya, bahasa Sunda di dua desa itu tidak mengenal tingkatan. Dalam terminologi sekarang cenderung disebut Sunda kasar,” tutur Nurochman yang penyair itu.

Ini berbeda dengan masyarakat yang berhasa Jawa. Sama dengan Jawa umumnya, mengenal tingkatan bahasa antara ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bedanya di Ciayumaja hanya mengenal dua tingkatan, yakni ngoko (Jawa kasar) dan kromo (Jawa halus).

Di antara masyarakat berbahasa ibu Jawa di Ciayumaja juga terdapat beragam perbedaan dialek dan idiolek. Misalnya masyarakat Cirebon barat (Plered dan sekitarnya), utara (Suranenggala, Kapetakan) sampai Krangkeng dan sebagian Karangampel (Indramayu), dialek dan idioleknya hampir sama, yang menonjol pada penggunaan huruf “O”, misalnya kata “tentaro” untuk “tentara“, “siro” untuk “sira” (engkau, kamu), ini berbeda dengan masyarakat Cirebon kota dan Indramayu pada umumnya yang huruf “A” tetap dibaca “A” (tidak “O”). Rata-rata wong Dermayu menyebut “aku” dengan kata reang, sedang wong Cerbon isun.

Bahasa Jawa di Indramayu (Jawa Dermayu) juga terpecah dalam dialek-dialek dan idiolek yang lebih sempit lagi. Meski secara umum sama, tapi tetap dijumpai perbedaan misalnya bahasa Jawa Dermayu masyarakat Desa Tugu (Kecamatan Sliyeg) berbeda dengan Singaraja (Kecamatan Indramayu), juga berbeda dengan Jambak (Kecamatan Cikedung).

Jejak-jejak bahasa yang menunjukkan intensitas pengaruh (hegemoni) budaya Jawa dan Sunda juga dapat terlihat jelas. Pengaruh Jawa sangat terasa mulai di Cirebon utara dari Suranenggala terus sampai ke sebagian besar wilayah Indramayu, ditunjukkan bahwa masyarakat di wilayah itu sama sekali tidak bisa berbahasa Sunda.

Berbeda dengan masyarakat sebagian besar Cirebon yang berdwibahasa, dari mulai Cirebon timur (Cileduk dan sekitarnya), Cirebon selatan (Sumber dan sekitarnya), Kota Cirebon hingga barat (Plered dan sekitarnya). Selain bisa berbahasa ibu Jawa, masyarakat Cirebon tadi juga bisa berbahasa Sunda, atau sebaliknya selain berbahasa ibu Sunda juga bisa berbahasa Jawa.

Masyarakat dwibahasa di Majalengka, terdapat di Majalengka bagian utara berbatasan dengan Indramayu seperti Jatitujuh dan sekitarnya. Sementara masyarakat berdwibahasa di Indramayu, terdapat di wilayah barat (Haurgeulis dan sekitarnya) yang berbatasan dengan Subang, serta Bangodua dan sekitarnya yang berbatasan dengan Majalengka.

Sumber: Pikiran Rakyat

Tempel Keramik

menarik untuk disimak, dipelajari dan diungkap maksud dan falsafah  ‘seni tempel keramik’ di keraton-keraton Cirebon…

apa maksud dan tujuan menempelkan keramik-keramik tersebut ?

Wisata Budaya Cirebon: Seni Hias Tempel Keramik

Mendengar kata keramik tentu bayangan kita akan tampak setumpuk atau sederetan barang-barang pecah belah, baik itu berupa peralatan rumah tangga maupun perlengkapan bangunan. Memang keramik yang terdapat di salah satu kota terbesar di Jawa Barat ini berupa peralatan rumah tangga antara lain piring, tutup cepuk, cawan, dan pot bunga serta perlengkapan bangunan, yaitu tegel; namun keramik-keramik tersebut tidak difungsikan atau digunakan sebagaimana semestinya; tetapi digunakan untuk penghias tembok bangunan profan ataupun sakral dan sebagai pajangan pengindah ruangan. Ciri keunikan ini terdapat di wilayah Cirebon, bekas kerajaan Islam yang tumbuh dari abad ke-15 sampai abad ke-19 bahkan hingga saat kini; pada kenyataannya Cirebon tidak hanya tumbuh dalam lingkup politik dan birokrasi saja. Bersamaan dengan pertumbuhan itu, Cirebon berkembang pula sebagai kota wisata budaya sekaligus wisata ziarah, yang dikenal juga sebagai kota udang, penghasil sumberdaya lautnya!

Setidaknya ada 6 lokasi yang selama ini dianggap penting dan dijadikan azet wisata budaya dan ziarah, yaitu Keraton Kasepuhan (yang diawali dengan Pakungwati nya); Keraton Kanoman; Keraton Kacirebonan; dan Keraton Keprabonan, Kompleks Makam Sunan Gunungjati, serta Taman Gua Sunyaragi. Keenam tempat ini dipandang penting perannya dalam mengungkapkan baik sejarah lokal maupun regional pada periode yang rentangnya cukup panjang. Di sinilah dijumpai Seni Hias Tempel Keramik merupakan salahsatu warisan budaya yang unik. Keunikan ini menjadikan ciri khas tersendiri bagi kebudayaan Cirebon, yang tentunya tidak hanya berkaitan dengan budaya seni, tetapi juga makna yang terkandung di dalam seni tersebut, terlebih kekhasan ini digabung dengan potensi budaya lainnya yang hingga kini masih dimiliki bahkan menjadikan ciri utama ragam seni ka-Cirebon-an; yaitu hiasan mega mendung .

Teknologi seni hias tempel keramik ini menggambarkan betapa kreatifnya penggagas atau arsitek untuk menggunakan potensi keramik yang ada pada masa itu guna mempercantik bangunan atau bahkan teknologi ini memiliki makna tertentu di baliknya, yang kita sendiri tidak memahami apa itu?; terlebih lagi diantara keramik-keramik yang digunakan untuk hiasan tempel tersebut menggambarkan kisah-kisah dalam Alkitab, baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Terlepas dari isi cerita tersebut, setidak-tidaknya hasil karya indah ini sampai saat kini masih terawat dan dapat dinikmati atau bahkan menjadi salahsatu daya tarik tersendiri, baik oleh para ilmiahwan, keramolog, maupun wisata budaya.

Keramik bergambar cerita Alkitab tampak sebagai bagian dari hiasan tempel tembok di Keraton Kasepuhan; Keraton Kanoman; Masjid Panjunan; Makam Sunan Gunungjati dan Gua Sunyaragi. Keramik-keramik tersebut berbentuk segiempat, seperti halnya tegel-keramik yang banyak digunakan untuk bangunan rumah; berukuran 13 x 13 cm, tebal 0,3 cm; warna biru-putih serta coklat-putih. Penempelan tegel-tegel ini di selang-seling dengan keramik bergambar non cerita berbentuk piring warna biru-putih asal Cina Dinasti Qing abad ke-18-19 dan bunga teratai warna merah dan sulur-sulur daun berwarna hijau ciri khas budaya Cina, sedangkan tegel keramik berasal dari Belanda abad ke-19-20 an.

Hiasan tempel keramik non cerita dijumpai pula, berupa piring, cawan, tutup cepuk, dan vase; jenis-jenis tersebut tentunya sebelum digunakan sebagai hiasan tembok, berfungsi sebagai alat perlengkapan rumah tangga. Keramik itu sebagian besar berasal dari Cina Dinasti Qing abad ke-17-19 serta Belanda Maastricht abad ke-19-20, beberapa ada made in China nya untuk menggantikan yang pecah atau akibat ulah tangan-tangan jahil. Apabila dihubungkan dengan masalah mengapa hanya jenis keramik tersebut yang banyak?, keberadaan keramik Cina dalam jumlah banyak karena jaringan niaga, dimana Cirebon pada masa lampau merupakan salahsatu pelabuhan terbesar bersifat internasional dan keramik Cina merupakan jenis yang terbanyak dicari dan diperdagangkan; juga karena adanya hubungan perkawinan antara Sunan Gunungjati dengan seorang puteri Cina, hal ini akan sangat mempengaruhinya. Sementara itu, keberadaan keramik dari Belanda Maastricht ware karena penguasaan dan kerjasama erat antara kasultanan pada masa itu dengan kolonial Belanda khususnya hubungan dagang dengan VOC.

Jumlah tegel keramik lebih dari limaratus buah bercampur antara tegel keramik bergambar cerita Alkitab dengan tegel keramik bergambar lain. Tipe keramik bergambar lain, yaitu pemandangan, gereja, kincir air dan rumah khas Belanda, malaikat membawa obor atau ukupan, dan orang memegang salib; juga cawan-cawan kecil baik dalam bentuk bulat maupun segiempat bermotiefkan naga, flora (suluran-suluran dan ceplok bunga), juga banyak digunakan.

Apabila kita berkunjung ke Masjid Panjunan atau lebih dikenal dengan Masjid Abang, yang konon menurut cerita dibangun oleh Syekh Abdurrachman. Di sini kita dapat menyaksikan keramik bergambar cerita Alkitab yang ditempelkan di tembok bergapura paduraksa, menggambarkan Daud sedang memainkan kecapi dihadapan Raja Saul dan disaksikan oleh seseorang yang berdiri di sisi raja. Keunikan lainnya adalah penempelan keramik wadah berbentuk piring pada dinding bangunan masjid ruang utama/dalam dan pada dinding bagian luar, terdiri dari berbagai motief antara lain burung merak, bangunan suci, dan sebagainya. Selanjutnya sekalian wisata ziarah, kita dapat nikmati keindahan dan kemegahan kompleks makam Sunan Gunung Djati dengan hiasan tempel keramiknya. Komplek makam ini terletak di luar Kota Cirebon arah utara; atau tepatnya di atas puncak Bukit Sembung. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di lokasi kompleks makam Sunan Gunungjati juga raja-raja dari garis keturunan Keraton Kasepuhan ataupun Keraton Kanoman. Keramik berjejer rapi menempel di tembok seluruh bangunan kompleks makam, sehingga tampak indah dan rame. Di salahsatu bagian pintu makam terdapat hiasan tempel keramik berbentuk piring dengan tulisan Arab.

Dalam kompleks makam atau tepatnya di belakang kompleks makam terdapat Masjid Makam Sunan Gunungjati, dari struktur bangunannya tampak bahwa ciri bangunan masjid ini termasuk ciri bangunan masa kini atau modern, di dinding mesjid terdapat tempelan hiasan keramik yang sebagian besar keramik made in China. Kemudian, perjalanan wisata kita lanjutkan ke Keraton Kanoman letaknya tidak jauh dari pasar Kanoman. Dinding tembok pagar depan bagian paling luar yang hanya tersisa bagian barat di hias dengan keramik jenis piring dan cawan; kemudian pagar ke dua dengan gapura paduraksa juga dihias dengan berbagai jenis keramik jenis piring dan cawan; setelah melewati dua pagar tersebut sampailah pada pendopo berdenah segiempat yang seluruh bagian dindingnya dihias tempelan keramik, dari piring, tutup cepuk, cawan, sampai vas bunga. Hampir seluruh bangunan dalam kompleks ini di hias dengan keramik. Keraton lain yang layak dikunjungi ialah Keraton Kacirebonan, arsitektur keraton ini memang berbeda dengan keraton lainnya, dicirikan dengan pendoponya, disini selain dapat menyaksikan tempelan keramik juga koleksi wayang kulit khas ka-Cirebon-an yang masih di rawat. Hiasan tempel keramik tampak di tembok dalam sebelah barat pintu masuk yang menghubungkan antara pendopo dengan ruang keluarga. Keramik jenis piring warna biru-putih, hiasan singa ciri khas motief ka-Cirebon-an, asal Belanda Maastricht abad ke-19-20, ini menunjukkan sebagai barang pesanan khusus atau mungkin juga sebagai hadiah dari penguasa Belanda pada masa itu.

Bangunan lain yang sebaiknya juga dikunjungi adalah Tamansari Sunyaragi yang terletak di pinggir jalan raya Jakarta-Jawa Tengah. Bangunan Sunyaragi merupakan bangunan yang difungsikan sebagai tempat berkhalwat atau menyepi dan juga sebagai tempat rekreasi. Ciri tradisionalnya antara lain tampak dari gapura bentar yang bentuknya sama dengan bentuk gapura bentar yang terdapat di Keraton Kasepuhan dan Masjid Abang. Bangunan Mande Beling dengan lantai yang ditinggikan dari tanah, beratap sirap, dan tiang dari kayu, hiasan keramik wadah pada dinding baturnya. Keistimewaan bangunan ini dibuat dari susunan bata dan batu karang yang membentuk gunungan atau awan ciri khas ka-Cirebon-an, bangunan terdiri atas ruangan atau ceruk-ceruk yang saling berhubungan dan masing-masing memiliki nama. Gua ini didirikan kurang lebih pada abad ke-18. Tempelan tegel biru-putih dan coklat putih sama dengan tegel di Keraton Kasepuhan. Penggunaan keramik sebagai seni hias tempel keramik, baik itu dibangunan profan maupun sakral, menunjukkan salahsatu hasil budaya ciri khas di wilayah Cirebon. Terlepas dari pengertian atau anggapan isi cerita dari tegel-tegel keramik yang ditempel, hingga saat kini boleh dikatakan bahwa masyarakat Cirebon pada umumnya dan kerabat kasultanan khususnya masih menjaga keutuhan dan melestarikan tinggalan budaya seni tersebut. Ini merupakan bukti sejarah dan kecanggihan gagasan pada masa lampau. Tentunya tingkah laku ini akan membawa dampak positif terutama di bidang kebudayaan dan pariwisata, karena ciri seni ini dapat dijadikan aset budaya dan pariwisata. Keindahan dan kelangkaan yang terselamatkan ini memiliki persamaan dengan seni hias tempel keramik di masjid-masjid dan makam-makam suci di Turki, yang menjadikannya azet wisata domistik dan mancanegara sebagai sumber devisa negara.

Naniek H Wibisono
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

dijukut sing : http://portalcirebon.blogspot.com/ kesuwun kang…

Suwung

dulu mungkin amat megah, kini teronggok dalam sejarah yang terusir…

Tari Topeng Palimanan yang Terabaikan

KEJAYAAN tari topeng Pali-manan di Cirebon telah lama redup. Tak terlihat geliat kebangkitan tari topeng Palimanan Cirebon ala Ibu Sudji (alm.). Padahal tari topeng tradisional yang satu ini punya ciri khas tersendiri di samping tari topeng lainnya, seperti tari topeng Losari, tari topeng Sla-ngit dan tari topeng Kalianyar. Tari topeng Palimanan pernah mengalami masa keemasan di tangan maestro Ibu Sudji (alm.). Kepiawaian Ibu Sudji mengekspresikan tari topeng Palimanan ini mampu mengantar dirinya keliling mancanegara, di antaranya ke Jepang, Beijing, dan Australia.

Meski begitu, penerus maestro tari topeng Palimanan Ibu Sudji (alm.) -bernama Nani Kadmini (39) – tak pernah lelah menjaga agar tarian tradisional Cirebon ini tidak terbenam dalam kejayaan yang padam. Lantaran itu Nani Kadmini-murid kesayangan ibu Sudji dan pewaris tari topeng Palimanan ini hari-harinya penuh dengan derai peluh dan selimut debu melangkah setiap jengkal tanah wali untuk mencari anak-anak yang mau belajar dan menggeluti tari topeng Palimanan ini. Upaya kerasnya tak sia-sia. Kini Nani punya puluhan anak binaan selain di sanggamya di Ke-dungbunder. Ia melatih tari topeng di wilayah kota Cirebon, yakni di sekolah milik PUI Kanggraksan, Sekolah Taman Siswa di Kompleks Kraton Kani iman, SMKI di Kompleks Keraton Kasepuhan. Yang ia ajarkan adalah tarian tradisional sesuai dengan pakem, bukan tarian kreasi atau tarian modifikasi, meski ia sadar dengan mempertahankan tradisi tanpa sentuhan kreasi modern atau kreasi kreatif berisiko dijauhi penonton.

“Alhamdulillah untuk mempertahankan eksistensi tari topeng Palimanan ini saya membuat sanggar latihan tari meski belum punya tempat yang khusus,” tutur Nani yang pernah mengenyam pendidikan tari di perguruan tinggi seni ASTI Bandung (kini STSI), walau ndak sampai tuntas.

Jerih payahnya untuk mengembangkan tari tadisional Cirebon ini memang tidak membuahkan materi yang memadai. Honor mengajar tari di tiga sekolah itu kurang dari dua ratus ribu rupiah sangat tidak mencukupi untuk menopang hidup keluarganya. Ta kami syukuri saja apa yang kami terima, walau kalau dihitung honor mengajar tari di tiga sekolah itu habis untuk biaya ongkos angkutan umum dari rumah menuju ke sekolah-sekolah. Tapi saya yakin rezeki untuk kami dari Allah pasti ada,” ujar Nani dengan nada pasrah tetapi kedua matanya berkaca-kaca digenangi air mata perih.

Meski demikian, semangat dan kegigihannya untuk mempertahakan keberadaan tari topeng Palimanan ala Ibu
Sudji agaknya tak pernah terkubur oleh impitan ekonomi keluarga yang makin menyesakkan hidupnya. Nani Kadmini adalah seorang ibu yang mempunyai dua anak, tinggal di kampung Desa Kedung Bunder Kecamatan Gempol (pemekaran kecamatan Pali-manan). Dengan segala keterbatasannya. Nani Kadmini mampu membesarkan dua anaknya sehingga anak pertamanya, Indra Prianto, bisa mengenyam pendidikan di SMK 1. lam biang kelas X dan putrinya, Hani Indrani, di SDN Kedung-bunder.

Profesi sebagai penari topeng sekarang ini tidak secerah dekade 1970-an. Menjadi dalang/penari topeng saat ini harus bergulat dengan ketidaksantunan teknologi asing yang menyekap setiap saat di ruang-ruang apresiatif belahan kota budaya Cirebon. Tari topeng yang pada dekade 70- an bisa dengan mudah kita saksikan di tempat-tempat orang hajatan, kini nyaris terabaikan. “Kalaupun ada tanggapan tari topeng untuk saya pribadi paling ikut pentas di acara-acara ulang tahun Pemda Kabupaten/Kota Cirebon dan pentas-pentas kolosal bersama Sanggar Tari Pringgading pimpinan Handoyo M.Y. dan Lembaga Kebudayaan Kota Cirebon pimpinan Andrian Hardjo. Atau kalau ke luar negeri biasanya saya ikut tim pameran dari Indonesia ke luar negeri seperti Jepang dan Korea,” ujar Nani.

Nani merasa bangga bisa pentas bersama-sama Handoyo M.Y. dan Andrian Hardjo, sehingga ia bisa menari ke berbagai pelosok nusantara seperti ke Jakarta, Yogyakarta, Solo, Kalimantan, dan Sulawesi Ia bisa ikut pentas Sendratari Swatacana “Putri Sela Pan-dan” di Panggung Budaya Sunyaragi beberapa tahun lalu ditonton Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ikut pentas Sendratari Swatacana “Cheng Ho” di Jakarta dan ditonton sejumlah menteri dan pimpinan DPR RI. Ia pun ikut menjadi penari Keraton Cirebon saat Festival Keraton Nusantara.

Sanggar tarinya yang diberi nama Sanggar Tari Wulan Sari memiliki dua puluh murid – anak dari kampung setempat Anak-anak yang rata-rata berusia 10 tahun dan masih sekolah di SD ini biasanya berlatih tari topeng seminggu tiga kali. Hanya, anak-anak itu sudah hampir satu tahun tidak latihan lantaran kondisi ekonomi orang tuanya. “Padahal sungguh saya tidak pernah memaksa dan mewajibkan anak-anak yang belajar tari ke saya untuk bayar iuran Rp 20.000 per bulan. Selama ini banyak yang tidak membayar iuran itu saya tetap melatih anak-anak,” tuturnya.

Menurut dia, tari tradisi topeng Pali-manan Cirebon ala ibu Sudji (alm.) sebetulnya sangat diminati pakar/pemerhati tari tradisional dari luar negeri. Ibu Sudji juga semasa hidupnya pernah menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat

Kini tari topeng ala Ibu Sudji nyaris tak ada yang mewarisi. Seperti kuburan – tempat peristirahatan terakhimya-yang saat ini dipenuhi lumut dan rumput Tinggal Nani Kadmini – murid satu-satunya kesayangan Ibu Sudji yang begitu hormat dan menjaga warisan seni tradisi yang langka ini, termasuk melakukan ritual penari topeng ke kuburan yakni berdoa ke kuburan Ibu Sudji setiap Jumat Kliwon sore dengan menggunakan kostum lengkap penari topeng.

“Berziarah ke kuburan leluhur penari/dalang topeng Ibu Sudji ini tidak punya tujuan atau maksud apa pun kecuali sebagai rasa hormat kami ke leluhur dengan mengirim doa,” ujarnya.

Nani Kadmini mengakui, peninggalan Ibu Sudji yang ia miliki cuma Kedok Wana yang usianya sekitar 100 tahun lebih. Itu pun sudah agak retak. “Sedangkan kostum dan kedok-kedok lain milik Ibu Sudji ketika saya coba tanyakan kepada anak cucunya sudah tak ada lagi. Kedok tari topeng unggulan Ibu Sudji adalah Kedok Panji. Saya ingin punya Kedok Panji itu. Tapi katanya kini kedok bersama peralatan lainnya sudah terjual entah sekarang di simpan di mana dan jadi milik siapa. Andai saya punya uang banyak pasti kedok dan peralatan tari topeng ibu Sudji akan saya cari dan saya beli kembali,” tuturnya.

Ya, saat ini ia masih terbantu oleh penghasilan suaminya yang seorang sopir. Rumah peninggalan orang tuanya – terletak 200 meter dari Jalan Raya Pali-manan Cirebon Bandung masuk gerbang Pondok Pesantren Kempek – yang sebagian besar kusen jendela dan pintu serta atap rumah mulai rapuh. “Sebetulnya saya pengen rumah ini dirombak menjadi rumah tinggal sekaligus sanggar latihan tari. Saya ingin tari topeng Palimanan tetap hidup di tempat kelahiran Ibu Sudji, termasuk para penabuh gamelan topeng khas Palimanan ini ada pewaris-nya. Sebab kini para penabuh yang bisa mengiringi tari topeng ala Palimanan ini mulai surut dan kalau pun ada tinggal yang sepuh-sepuh,” ujar Nani Kadmini -yang juga mengangankan memiliki perangkat gamelan pengiring tari topeng sendiri. Saat ini untuk pentas-pentas sendiri di berbagai tempat ia terpaksa menggunakan gamelan pengiring berupa rekaman kaset

Nani Kadmini tak pernah menyerah dan hanya sendirian bergulat dengan waktu guna mempertahankan hidup tari topeng Palimanan ala Ibu Sudji ini Tak ada mengucur bantuan apa pun dari pihak terkait pembina seni budaya baik yang berada di Cirebon, provinsi, maupun pusat Boleh jadi dirinya yang kini masih energik lambat laun akan makin ringkih terimpit tekanan ekonomi keluarganya, seperti nasib dalang/penari topeng Cirebon lainnya. Semua lantaran profesi dalang/penari tari tradisional topeng Cirebon hanya dipandang sebelah mata oleh penguasa. Sungguh tari topeng Palimanan sama nasibnya dengan tari topeng Losari, tari topeng Slan-grt, tari topeng Kalianyar – tampaknya sebelum nenemui ajal atau mati, lama telah terabaikan.***

SUMBADI SASTRA A1AM,

Ketua Dewan Penasehat Komunitas Penulis Cirebon CEMPOR.

dijukut sing http://bataviase.co.id/ kesuwun Kang…

Kisah Pusaka Keong Buntet Palimanan

Sebuah penemuan yang menggegerkan para supranatural di belahan bumi tanah Jawa. Betapa tidak para pemborong yang sedang menggarap perluasan areal pabrik semen Palimanan harus terhenti dari pekerjaannya. Semua karena adanya suatu keganjilan yang membuat mereka harus geleng kepala.

Kisah ini terjadi pada tahun 1996 lalu, berawal dari pembangunan pabrik semen yang arealnya ingin diperluas. Konon dengan alat berat dan peralatan mesin canggih, areal yang sekelilingnya berupa perbukitan ini satu persatu mulai diratakan. Namun dalam penggarapannya, ada satu keanehan yang terjadi, yaitu, ditengah areal yang sedang digarap ada satu gundukan tanah yang tidak bisa dihancurkan oleh tenaga mesin.

Dalam hal ini sudah tiga kali sekop buldoser harus mengalami kerusakan fisik akibat patah disaat menghancurkan gundukan yang ternyata hanya sebongkah cadas kering. Dan dari  kejadian ini pula pemborong akhirnya menghentikan pekerjaannya selama beberapa bulan karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Lantas apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri si pemborong?

Sebagai seorang pemborong yang sering menangani proyek besar, baru kali ini ia merasa sangat ketakutan. Konon sejak menangani proyek pelebaran areal pabrik semen, sipemborong ini selalu didatangi makhluk dari dimensi alam lain yang menuntut agar pekerjaannya dihentikan.

Sejak saat itu pula beliau akhirnya mencari beberapa orang pintar yang bisa menangani masalahnya. Namun entah sudah berapa puluh paranormal yang didatangkan tapi tetap saja beliau ini masih selalu diganggu oleh puluhan bangsa lelembut areal Palimanan, sehingga dengan kondisi seperti ini terpaksa bagian pengelola pabrik semen membatalkan seluruh kontraknya.

Kini areal tersebut tidak ada yang berani meneruskan, bahkan para pemborong lainnyapun enggan menerima tawaran dari manager perusahaan. Mereka semua takut dengan apa yang sudah dialami oleh pemborong pertama.

Lain pemborong, lain pula dengan beberapa orang yang merasa mempunyai kelebihan  olah bathin. Sejak tersiarnya kabar yang menggemparkan ini para jawara dan ahli ilmu Al Hikmah lainnya, mereka antusias datang menguji nyali untuk mendapatkan satu petunjuk tentang apa sebenarnya yang ada didalam gundukan tanah kering ini, sampai sampai sekop buldoser tidak sanggup untuk  menghancurkannya.

Bahkan tidak kalah menghebohkannya, hampir para jawara kebathinan dari beberapa daerah yang sudah jauh jauh datang ke lokasi ini telah mendapat sebuah wangsit yang menyatakan, bahwa didalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat sebuah mustika pilih tanding kepunyaan dari, Pangeran Tepak Palimanan (Ki Gede Palimanan)

Dengan adanya isyaroh ini hampir semua paranormal dan orang pintar lainnya yang datang ke lokasi, mereka rata rata ingin mendapatkan mustika yang konon punya tuah sangat luar biasa. Sehingga dengan segala kemampuannya ini mereka mulai mencari tempat penarikan yang dianggap bisa dijadikan lahan penarikan mustika tersebut.

Satu bulan telah berlalu dan mustika yang menjadi rebutan para jawara ini belum juga muncul dari persembuyiannya, satu persatu para ahli bathin akhirnya pulang dalam keadaan tidak membawa hasil.

Ditempat lain tak jauh dari lokasi dimana mustika pilih tanding sedang diperebutkan,  ada salah satu  orang yang sama sekali tidak tertarik dengan hebohnya mustika yang sedang ramai dipergunjingkan banyak orang, beliau ini bernama, bapak Suparman, asal daerah Panjalin Majalengka.

Sehari hari Suparman bekerja sebagai tukang pecah batu yang penghasilannya sangat minim. Disamping ini beliau juga terkadang membantu masyarakat sekitarnya dalam hal menyembuhkan penyakit non medis. Maklumlah dengan keadaan yang serba pas pasan, walau beliau tergolong mempunyai banyak kelebihan dalam ilmu supranatural, namun baginya lebih condong mencari materi untuk bertahan hidup dari pada memburu mustika yang dianggapnya belum pasti.

Namun ditengah malam yang sangat sepi, seperti hari hari biasannya beliau ini selalu datang kepetilasan sunan Bonang, yang ada disebelah barat  bukit Palimanan, guna mencari ketenangan bathin. Tanpa disadari beliau, seberkas sinar putih yang sangat menyilaukan mata tiba tiba terpancar terus menerus dari salah satu areal yang akan dibangun pabrik semen.

Dengan rasa penasaran, beliau akhirnya mendekati datangnya sinar tadi dan ternyata, sinar itu berasal dari gundukan sebuah tanah kering. Tanpa punya pikiran lain, beliau tambah mendekat dimana letak sinar itu berada.

Setelah diamati secara seksama, sinar itu berasal dari sebuah cadas kering. Lalu dengan rasa penasaannya, Suparman langsung mengambil batu besar yang banyak berserakan dan menghantamkannya kegundukan cadastersebut,  maksudnya agar cadas tadi pecah dan apa yang menjadi sumber dari sinar tadi bisa keluar wujudnya.

Ternyata usaha yang dilakukannya tidak sia sia, cadas tadi terpecah dan wujud dari sinar itupun keluar, yaitu sebuah batu berwarna putih yang masih dalam keadaan menyala. Dan saat beliau ini akan mengambil batu bercahaya tadi, tiba tiba dalam batu itu keluar seekor babi yang sangat besar sekali.

Suparman langsung kaget bukan kepalang dan langsung terjatuh saat akan melarikan diri. Dengan kondisi seperti ini beliau hanya pasrah ditengah rasa takut yang tiada terhingga.

Belum lagi beliau bisa bangun, dalam pancaran batu tadi keluar juga seekor macan loreng yang sangat besar. Kedua binatang ini perlahan lahan mendekatinya. Tak ayal beliau menjerit sejadi jadinya karena rasa takut yang teramat sangat.

Ditengah kepanikannya, tiba tiba seorang putri yang sangat cantik jelita telah muncul ditempat itu dan langsung menyapa kedua binatang tersebut. Ya, rupanya putri ini tak lain adalah, Kanjeng Ibu Ratu laut kidul sang penguasa laut selatan.

Dengan sapaan lembutnya, kedua binatang yang berwujud, babi dan macan loreng ini lalu menghampirinya dengan penuh  rasa hormat, “ Wahai Suparman! Jangan kau merasa takut atas kehadiran kita bertiga, sesunguhnya kau orang yang kucari untuk kutitipkan mustika kol buntet dari kepunyaan sang penguasa daerah ini, yang dimaksud adalah Ki Gede Palimanan.

Sesungguhnya mustika ini sulit dicari tandinganya, karena sejak pecahnya perang Cirebon-Palimanan, yang dipimpin oleh, Syarief Hidayatulloh, (Zaman Wali Songo) mustika ini sengaja ditanam oleh sang penguasa ( Ki Gede Palimanan) agar pasukan Cirebon tidak sampai bisa masuk kewilayah ini,  disamping itu mustika ini pernah ditaruh dibawah kursi singgasananya  selama kurang lebih setengah abad, sebagai bentuk kelanggengan sebuah tahta dari seorang pemimpin” jelas sang ratu.

Dari kejadian ini Suparman akhirnya bisa mengerti betul tentang kejadian yang sedang dialaminya. Namun seiring waktu disaat orang orang besar tahu tentang kharisma dan kekeramatan mustika kol buntet palimanan yang beliau miliki, pada suatu hari, mustika ini dipinjam salah satu promotor untuk tujuan agar jabatan, namun setahun sudah mustika kol buntet yang dipinjamnya tiaak dikembalikan sehingga dengan usia yang semakin lanjut, Bapak Suparman hanya bisa pasrah menerima segala kenyataan yang memang sudah punya garis hidup masing masing.

Ditengah ajal akan menjemputnya, salah satu kyai yang tidak mau namanya disebutkan ini mendatangi rumah bapak Suparman, yang intinya dia datang karena sebuah isyaroh yang dialaminya, yaitu untuk menarik kembali mustika kol buntet yang pernah menjadi miliknya. Dan dengan rasa puas bapak Suparman pun mengijinkannya.

Dari rentetan kisah ini, tentunya pembaca sekalian sedikitnya mengerti tentang sejarah yang pernah ada dibalahan bumi Indonesia, bahwa bangsa ini baik dahulu maupun sekarang tetap masih menjadi sebuah bangsa yang kaya akan mistik dan kekuatan. Sehingga dengan sajian kali ini akan membawa kecintaan kita pada makna leluhur yang telah banyak berjasa pada bangsa dan negara.

dijukut sing : http://www.indospiritual.com/ kesuwun Kang…

Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon

beberapa kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon. Beberapa Kerajaan dan keraton itu antara lain, Kerajaan Indraprahasta, Keraton Carbon Girang, Keraton Singapura, Keraton Japura dan Keadipatian Palimanan dibawah Pemerintahan Keraton Rajagaluh.

1. Kerajaan Indraprahasta
Diperkirakan berdiri tahun 363 – 723 Masehi, lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Raja pertamanya Resi Santanu dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.

Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warman Dewi, Raja Slakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas.

Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :
1. Prabu Resi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana, memerintah tahun 363 – 398 M
2. Prabu Resi Jayasatyanegara ( 398 – 421 )
3. Prabu Resi Wiryabanyu, mertua dari Prabu Wisnuwarman ( 421 – 444 )
4. Prabu Wama Dewaji ( 444 – 471 )
5. Prabu Wama Hariwangsa ( 471 – 507 )
6. Prabu Tirta Manggala Dhanna Giriswara ( 507 – 526 )
7. Prabu Asta Dewa ( 526 – 540 )
8. Prabu Senapati Jayanagranagara ( 540 – 546 )
9. Prabu Resi Dharmayasa( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M
10. Prabu Andabuwana, ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M.
11. Prabu Wisnu Murti ( 636– 661 ), Tentara Islam sudah membebaskan wilayah Palestina, Syiria, Irak, Mesir dan jauh sebelumnya Yaman sudah dalam kekuasaan Islam sejak menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW.
12. Prabu Tunggul Nagara ( 661 – 707 ), pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
13. Prabu Resi Padma Hari Wangsa ( 707 – 719 ), pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal.
14. Prabu Wiratara ( 719 – 723 ), pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani.
Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

2. Keraton Carbon Girang
Keraton Carbon Girang berasal dari keraton Wanagiri, setelah runtuhnya Indraprahasta yang didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana.

Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh :
1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya.
2. Ki Ghedeng Carbon Girang
Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana.

3. Keraton Singapura
Singapura merupakan sebuah pemerintahan bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Letak Keraton Singapura sekira empat kilometer utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati sekarang), batas dan luas tidak jelas, tetapi ada perkiraan sebagai berikut ;
Sebelah Utara berbatasan dengan Surantaka,
Sebelah Barat berbatasan dengan Carbon Girang,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Keraton Japura,
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa Teluk Cirebon.

Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi naik tahta pada tahun 1428.

4. Keraton Japura
Japura berasal dari kata ” Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi ;
Sebelah Utara Laut Jawa,
Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,
Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,
Sebelah Timur Desa Gebang
Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna.

5. Keadipatian Palimanan
Keadipatian Palimanan dibawah pemerintahan Raja Galuh, dipimpin oleh seorang Adipati bernama Arya Kiban. Pusat Keadipatian terletak di Pegunungan Kapur Gunung Kromong Kecamatan Palimanan sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan Banyu Panas, saat itu wilayahnya meliputi Kecamatan Ciwaringin dan Kecamatan Susukan. Masa Keadipatian berlangsung hingga tahun 1528, pada saat pecahnya perang terakhir di Gunung Gundul antara Palimanan melawan Carbon.

Tegal Alang Alang

Dari sumber literatur dalam negeri, disebutkan pada hari Jum’at kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka diperkirakan tahun 1445 Masehi, Pangeran Walangsungsang Putra Raja Pajajaran Sri Beduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi, mulai membuka hutan bersama 52 orang penduduk dipesisir utara Jawa. Tempat itu kemudian disebut dukuh Tegal Alang-alang yang makin lama menjadi ramai, sehingga karena adanya interaksi sosial yang tinggi, datanglah para pedagang dan orang-orang untuk menetap, bertani dan menjadi nelayan.
Dukuh Tegal Alang-alang kemudian diberi nama Desa Caruban karena penduduknya dari berbagai suku bangsa, Caruban berarti campuran. Sumber-sumber Barat yang monumental seperti catatan Tome Pires (Portugis) menyebut Cirebon dengan Corobam, dalam catatannya Pires mengatakan Corobam adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar besar dan sentra perdagangan yang merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Sumber-sumber Belanda menyebutnya Charabaon (Rouffaer) Cheribon atau Tjerbon (Kern). Dan dari sumber lokal didapat penyebutan Sarumban, Carbon, Caruban, Cherbon bahkan Grage.

Masyarakat kemudian memilih Ki Danusela yang disebut Ki Gedeng Alang-alang selaku penguasa Tegal Alang-alang sebagai Kuwu Carbon I, sedangkan Pangeran Walangsungsang sebagai Pangraksa Bumi dengan gelar Ki Cakra Bumi. Pada tahun 1447 Ki Danusela meninggal dan Ki Cakra Bumi dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai Kuwu Carbon II dengan sebutan Pangeran Cakra Buwana. Sebelum membuka Dukuh Tegal Alang-alang Pangeran Walangsungsang dan para pengikutnya telah lebih dulu masuk Islam.

Kantor Pemerentah Cerbon

iki kang, tempate pak Walikota ngatur Cerbon ‘Kota’ ambiran masyarakate makmur, waras kabeh, ora kurang sandang, ora kurang pangan, bisa gemuyu, …

nah, lamunan sing ning sor : iki kantore Pak Bupati… ya pada bae, tempat ngatur masyarakat Cerbon ‘Coret’ ambir pada sehat, waras, bungah lair batin, makmur kabehlah….

yah. semoga masyarakat Cerbon kabeh, antara Kota atawa Coret, pada bagja kabeh diurus ning Pak Walikota karo Pak Bupati… mengkonon tah, lud?