Posts from the ‘Tak Berkategori’ Category

Desa di Kabupaten Cirebon

 Abjad A

       Adidharma, Cirebon Utara, Cirebon

       Ambit, Waled, Cirebon

       Ambulu, Losari, Cirebon

       Arjawinangun, Arjawinangun, Cirebon

       Asem, Lemahabang, Cirebon

       Astana, Cirebon Utara, Cirebon

       Astanajapura, Astanajapura, Cirebon

       Astanalanggar, Losari, Cirebon

       Astanamukti, Pangenan, Cirebon

       Astapada, Tengahtani, Cirebon

dijukut sing http://id.wikipedia.org kesuwun, Kang…

Ruwed…

Lamun dipikir-pikir, ruwed pisan negeri kita iki yo?

Akeh wong sing ngomong’e ngecuprus bae, tapi lamun di rongok’nang langka arti’e. Padu ngecuprus bae, ambir katon’ne pinter, jago teori, ahli mikir. Padahal bli ngerti apa-apa…

Ngomong politik-lah, ngomong ekonomi-lah, ngomong sosial-lah… ning Tipi pada gegrawokan, ribut. Ngomong pajak, padahal bli ngerti hukum pajak. Ngomong budaya, padahal ora ngerti ‘ilmu-ne seniman’, ngomong kesejahteraan, padahal durung pernah ngerasa’i dadi wong melarat.

Lamun jare bocah ABG jaman sekiyen sih : sing penting EKSIS!

Gaya’e bae nganggo dasi larang, kacamata-an, rambut klimis, sepatu mengkilat, tapi omongan’ne bli jelas, ngalor-ngidul. Adu teori, ngotot-ngototan, padahal lamun di runguk’nang langka artine.

ngomong DOANG, kagak ngarti ape-ape…aih, basa Betawi dadi’ye? hehehe… sorry, ngapura kula!

Mbuh, kula sih wong cilik, wong deso, …bli ngerti apo-apo. Sing ribut, ribut’o mano. Sing debat, gage-an debat. Sing diskusi, mangga. sing awit bengen, debat, diskusi, seminar… negara mengkenen-mengkenen bae.

Wong Cerbon

dijukut sing facebook Wong Cerbon

Awal Perkembangan

Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.

Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

 

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.

Sumber: Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000.

Lara Boyok

JARE bobade wong kanda, masih mending disewoti mertua, tenimbang boyoke lara. Wis olih rong dina, Lamsijan mlaku prekangkang-prekengkeng lantaran boyoke lara.

“Jan, nambani lara boyok kuh gampang…”

“Carae priben Dul?” takon Lamsijan.

“Ditugel boyoke!” jawab Dul Gepuk.

“Sira sih.., disalari kuh jawabane moregan.”

“Baka bab nyalar sih kudu ning Mama Elang,” jare Dul Gepuk.

Kadingaren, Mama Elang ujug-ujug tandang.
Lamsijan gage bae takon soal boyoke kang lara.

“Jan, lamun sira duwe rangda rawatan, kudu gage dipegat, lamun duwe anak rabi, gage gawe surat wasiat, baka sira akeh dosa gagean tobat.., sebab uripe sira bakal sedelat.., sira bakal mati.”

Ngrungu Mama Elang ngomong mengkonon, Lamsijan metu kringet atis, bari nangis-nangis, nyebut-nyebut asmae Allah lan maca istighfar.

“Toli kapan kula matie Ma..?” takon Lamsijan.

“Kapan-kapan Jan.., kabeh menusa bakal mati, kaya dene sira.., bisa sukiki, bisa emben, bisa uga taun arep…” jawab Mama Elang.

Leres pisan…

Seni Batik Trusmi dari Cirebon

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Di daerah Cirebon ada sebuah desa yang hingga saat ini telah menjadi sentra bisnis batik, nama desa tersebut adalah desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Desa ini terletak sekitar 5 km dari pusat kota.

Adalah Ki Gede Trusmi salah seorang pengikut Sunan Gunung Jati yang mengajarkan seni batik di desa tersebut sambil meyebarkan agama Islam (1448-1568). Dengan kelihaian membatik yang diajarkan oleh Ki Gede Trusmi, ternyata banyak memberi berkah bagi para pengikutnya di kemudian hari. Hingga kini makam Ki Gede Trusmi di Desa Trusmi masih terawat baik. Bahkan setiap tahun selalu diadakan upacara “Ganti Welit” (atap rumput) dan “Ganti Sirap” setiap empat tahun sekali.

Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Ada dua corak dalam batik Trusmi, yakni keratonan dan pesisiran. Motif keratonan biasanya memakai ornamen yang diambil dari lingkungan keraton, seperti batu-batuan (wadas), kereta singa barong, naga seba, Taman Arum Sunyaragi, dan ayam alas. Untuk warna pada batik dengan motif keratonan lebih cenderung menggunakan warna-warna gelap, seperti coklat, hitam.

Sedangkan untuk motif peisisiran gambar motifnya lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat seperti dedaunan, pohon, dan binatang laut. Sedangkan untuk warna pada motif pesisiran lebih cenderung ke warna yang lebih terang seperti merah muda, biru laut, dan hijau pupus.

Selain itu salah satu ciri khas batik asal Cirebon yang tidak ditemui di tempat lain adalah motif “Mega Mendung”, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama. Motif Mega Mendung adalah ciptaan Pangeran Cakrabuana (1452-1479), yang hingga kini masih kerap digunakan. Motif tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon. Karena pada awalnya, seni batik Cirebon hanya dikenal di kalangan keraton.

Bila dibanding dengan batik Yogyakarta, Solo atau Pekalongan, batik Trusmi mempunyai ciri yang berbeda dan khas. Pengaruh ini diakibatkan dengan letak geografis kota Cirebon yang berada di kawasan pantai. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi warna dan motif. Secara umum, batik asal Cirebon muncul dengan warna-warna kain yang lebih cerah dan berani.

Ani Nurdwiyanti adalah kontributor swaberita dan dapat dihubungi di ani.nurdwiyanti@swaberita.com

matur kesuwun kanggo http://www.swaberita.com sing wis tak jukut tulisane…kesuwun ya ?

Tarling, melodi sarat pesan dan moral

Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara (pantura), terutama Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, kesenian tarling telah begitu akrab. Alunan bunyi yang dihasilkan dari alat musik gitar dan suling, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.

Meski telah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat, tak banyak yang mengetahui bagaimana asal-usul terciptanya tarling. Selain itu, tak juga diketahui dari mana sebenarnya kesenian tarling itu terlahir.

Namun yang pasti, tarling merupakan kesenian yang lahir di tengah rakyat pantura, dan bukan kesenian yang ‘istana sentris’. Karenanya, tarling terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak terikat ritme serta tatanan tertentu sebagaimana seni yang lahir di tengah ‘istana’.

Sebelum ‘resmi’ bernama tarling, kesenian ini dikenal dengan sebutan ‘melodi kota ayu’ di Kabupaten Indramayu, dan ‘melodi kota udang’ di Cirebon. Pada 17 Agustus 1962, ketua Badan Pemerintah Harian (BPH, sekarang DPRD) Kabupaten Cirebon, menyebut kesenian itu dengan sebutan tarling.

Nama tarling itu diidentikkan dengan asal kata ‘itar‘ (gitar dalam bahasa Indonesia) dan suling (seruling). Versi lain pun mengatakan bahwa tarling mengandung filosofi ‘yen wis mlatar kudu eling” (jika sudah berbuat negatif, maka harus bertaubat).

Salah seorang tokoh seni asal Kabupaten Indramayu, Supali Kasim, membuat catatan tersendiri soal tarling dalam bukunya yang berjudul Tarling, Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling. Dalam buku itu dia menuturkan, asal tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan.

Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.

Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis.

Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi indah dengan iringan petikan gitar. ”Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu,” ujar Supali.

Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup.

Bahkan pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu patromak (saat malam hari).

Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, maupun Lair Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.

Tak hanya Sugra, di Kabupaten Indramayu pun muncul sederet nama yang melambungkan tarling hingga ke berbagai pelosok daerah. Di antara nama itu adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj Dariah, dan Dadang Darniyah. Pada dekade 1950-an, di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarlig bernama Uci Sanusi.

Kemudian pada dekade 1960-an, muncul tokoh lain dalam blantika kesenian tarling, yakni Abdul Ajib yang berasal dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Marta Atmaja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.

Seni tarling saat ini memang telah hampir punah. ”Namun, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura Dermayon dan Cerbon,” tandas Supali. lis

Dijukut sing http:\\www.infoanda.com matur kesuwun Kang…

Data Toponimi Cirebon

Oleh Arif Kurniawan

Berdasarkan toponimi (http://en.wikipedia.org/wiki/Toponymy), ilmu asal-usul tempat berdasarkan kebahasaan, di Cirebon nampak adanya suatu penamaan tempat-tempat geografis dengan peninggalan sejarah masa lalu. Hal ini karena sepanjang waktu di daerah kota selalu terjadi perkembangan dan perubahan, baik perubahan sosial maupun perubahan fisik.

Dari nama-nama tempat yang ada kita dapat mengetahui adanya beberapa kelompok pemukiman di Cirebon, yaitu kelompok-kelompok berdasarkan profesi seperti; Panjunan (tempat pembuat enjun), Pesuketan (tempat penjual rumput), Pagongan (tempat penjual gong), parujakan (tempat penjual rujak uuntuk tujuh bulanaan hamil wanita),Pengampon (tempat pembuat kapur dari kulit kerang), Pandesan (tempat membuat padesan untuk mengambil air wudhu), dan lain-lain.

Selain itu ada tempat yang dinamakan berdasarkan suku atau ras seperti; Pecinan (tempat orang-orang Cina, Kejawanan (dulu tempat berhentinya pasukan Mataram yang akan menyerang Cirebon).

Masih banyak lagi nama-nama tempat di Cirebon tidak termasuk dalam kelompok yang tidak disebutkan diatas. Hal ini karena tempat-tempat tersebut tidak mengacu pada suatu kelompok masyarakat khusus, tetapi mengacu pada hal lain seperti peristiwa, fungsi, flora, fauna dan lain-lain.

Contoh uraian ini menunjukkan pola penamaan suatu tempat yang diambil dari berbagai hal, yaitu;

A. Nama Flora
Mandu,dulunya banyak pohon mundu.
Gambira, kebonpring, dulunya banyak pohon bambu.

B. Nama peristwa
Pronggol, banyak pohon yang ditebangi oleh pasukan Mataram untuk markas.

Pagajahan, banyak terdapat gajah-gajah pemberian luar negeri ke Cirebon.
Peklutukan, terdapat mata air yang mendidih keluar dari tanah.

C. Fungsi tempat
Pabean, pelabuhan.
Pelandratan, tempat pengadilan di Cirebon.
Jagabayan, tempat penjaga keamanan.
Pekawatan, tempat persediaan kawat telpon.

D. Nama Jabatan
Kasepuhan, tempat Sultan Sepuh.
Kanoman, tempat Sultan Anom.

Dari data toponimi yang ada, Cirebon merupakan suatu kota yang sudah lama berkembang. Nama-nama diatas menunjukkan suatu masyarakat kota yang kompleks, dengan berbagai macam profesi, suku, status dan aktifitasnya.

Jumlah penduduk kota Cirebon merupakan tergolong cukup banyak. Berbeda dengan Banten Lama yang perkembangan kotanya beralih ke daerah sekarang yang sekitar 14 km dari Banten Lama. Di Cirebon perkembangan kota terjadi di lokasi semula dan meluas ke daerah sekitarnya. Hal ini pula yang menyebabkan suatu tempat tidak identik lagi dengan namanya. Kini data toponimi Cirebon umumnya berupa nama desa, nama jalan, juga nama pasar.

Daerah Cirebon merupakan puasat penyebaran agama Islam di Jawa. Selain Sunan Gunung Jati, banyak pula ulama dan pengajar-pengajar penyebar agama Islam. Data toponimi yang memperkuat bukti ini, dengan diketahui adanya tempat dengan nama Pekalipan yang berasal dari kata Khalifah.

Pengaruh bahasa menentukan sebagai indikator dalam data toponimi, dengan banyaknya daerah Cirebon yang memakai bahasa pada awalan pe- atau ke- pada kata dasar. Awalan tersebut adalah pengaruh dari bahasa Jawa. Jika pengaruh bahasa Sunda adalah pada pengunaan awalan pa- atau ka-. Masyarakat kota Cirebon umumnya memang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan bahasa lebih banyak dipakai oleh masyarakat yang tinggal di sebelah selatan kota.

Pengaruh bahasa pula yang menentukan ciri khas Cirebon. Sebuah kota dengan budaya multikultur. Dimana perbedaan, di kota ini, adalah perwujudan nyata dari rahmat illahi.

dijukut sing http://serum.org matur kesuwun sanget Kang…

Seniman Tarling Cirebon Riwayatmu Sekarang

“TARLING dangdut yang ada sekarang ini adalah proses destruksi,” tegas Ahmad Syubhanuddin Alwy. Ketua Yayasan Dewan Kesenian Cirebon itu menyayangkan seni tarling yang saat ini sudah banyak terkontaminasi dengan musik dangdut. Kelompok-kelompok musik yang ada, menurut Alwy, bahkan lebih suka menyandang predikat sebagai kelompok seni tarling dangdut ketimbang tarling murni.

TAK bisa dimungkiri, seni tarling yang asli saat ini memang sudah tidak begitu diminati kelompok-kelompok kesenian.

Sebab, dengan memasukkan unsur dangdut, pertunjukan mereka dapat menarik lebih banyak penonton terutama di desa-desa yang memang lebih gandrung dengan jenis musik itu.

“Seni tarling secara tegas harus dibedakan dengan dangdut,” ujar Alwy. Bila dua kesenian tersebut dicampur, maka akan merusak keaslian tarling itu sendiri.

Padahal, pertunjukan tarling digunakan para seniman untuk mencurahkan kesedihan tentang penderitaan, percintaan, atau penindasan.

Secara filosofis, tarling bahkan dapat mewakili gambaran sosial antarkelas masyarakat elite dengan alit (kecil). Sedangkan tarling dangdut, sebagian besar hanya menampilkan musik dari negara India yang durasi pertunjukannya lebih banyak diisi dengan musik dangdut.

Hal ini mengakibatkan pesan yang ingin disampaikan tidak tercapai. “Karena waktu yang diberikan untuk pertunjukan tarling sedikit, ceritanya sering tidak selesai,” kata Alwy.

>small 2small 0< tarling yang baru dikenal sekitar tahun 1950-an, pada awalnya merupakan musik hiburan anak muda yang dimainkan secara spontan sambil menikmati indahnya rembulan di malam hari.

Pada saat itu instrumen gitar dimainkan dengan cara menirukan tabuhan melodi saron pada gamelan dan diiringi dengan alunan nada suling.

Dari dua alat musik yang sering dimainkan itu, tidak heran bila tarling merupakan sebuah akronim yang berasal dari kata gitar dan suling. Pada awal tahun 1960-an, pementasan tarling di panggung-panggung mulai dipelopori oleh seorang seniman yang bernama Jayana.

Saat itu para pemain tarling tidak hanya melengkapi dirinya dengan gitar dan suling, tetapi juga instrumen lainnya, seperti kendang, gong, tutukan, dan kecrek.

Pertunjukan tarling itu sendiri berupa musik dengan membawakan lagu-lagu gamelan Cirebon, seperti kiser, bendrong, waledan, dan lain-lain.

Dengan kreativitas para pelakunya, tarling kemudian berubah bentuk dari seni musik menjadi teater. Pertunjukan tersebut menyerupai pentas opera, yang sebagian besar tokoh-tokohnya melantunkan dialog dalam bentuk nyanyian.

Kesenian tarling lebih populer di daerah Indramayu dan Cirebon sebab masyarakat di daerah pesisir seperti di kedua daerah tersebut lebih suka mengungkapkan perasaannya langsung secara verbal. “Bisa dibilang, dalam berbicara mereka belak-belakan dan spontan,” kata Alwy.

>small 2small 0< menyebut dua seniman yang masih memegang teguh nilai-nilai asli budaya tarling, yaitu Narto Marta Atmadja dan Abdul Adjib. Narto Marta Atmadja saat ini memimpin kelompok Nada Budaya dan Abdul Adjib memimpin kelompok Putra Sangkala.

Sebenarnya tarling yang dipentaskan Narto dan Adjib merupakan pengembangan dari apa yang dilakukan Jayana. Namun, transformasi seni dari Narto atau Adjib tidak mengubah substansi tarling itu sendiri, karena masih ada pesan-pesan sosial yang disampaikan.

Hal yang berubah adalah proses modernisasi dalam pertunjukannya saja. Dalam hal teknologi misalnya, perbedaan pertunjukan tarling oleh Adjib atau Narto dengan Jayana yang beraliran klasik hanya pada penggunaan perangkat pengeras suara serta instrumen musik elektronik.

Dari segi pemaparan cerita, Jayana mengisahkan kesedihan tokoh-tokohnya dengan nyanyian dari mulutnya sendiri. Oleh karena itu, dalam pertunjukannya, Jayana paling banyak hanya diiringi oleh empat pemain musik. Sedangkan kelompok tarling yang dikelola Narto atau Adjib, anggotanya bisa mencapai hingga 30 orang karena sudah berupa pertunjukan teater musikal.

Saat ini belum tentu sebulan sekali para kelompok kesenian tarling mendapat panggilan pentas. “Di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) mungkin hanya satu sampai dua kali dalam satu tahun,” kata Alwy menambahkan.

Bahkan, ada dari para seniman tersebut yang bergabung ke partai politik hanya untuk mendapat penghasilan ataupun mempertahankan kesenian tarling itu sendiri. Dari kegiatan partai itu, biasanya para seniman mendapat kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya sekaligus mendapat penghasilan seadanya.

“Dengan honor satu kali pertunjukan sekitar Rp 30 juta pun, kalau dalam sebulan cuma manggung sekali, seniman itu tidak akan jadi kaya,” ujar Alwy menjelaskan.

Dia mengenang masa kejayaan seni tarling pada tahun 1970 sampai awal tahun 1980-an. Ketika itu seniman tarling bisa mendapat panggilan setiap hari, bahkan hingga dua kali dalam sehari.

Walaupun begitu, Alwy sangat kagum dengan para seniman tarling, yang menurutnya sangat setia dan tidak cengeng dalam menghadapi perubahan zaman.

Para seniman tersebut, saat ini menjalani berbagai macam pekerjaan, seperti guru, petani, bahkan tukang ojek. Hebatnya, ketika mendapat panggilan pentas, mereka tidak memerlukan latihan sama sekali.

Selanjutnya, cukup dengan petunjuk lisan dari ketua kelompok, para seniman tarling sudah bisa melakukan improvisasi dengan baik sesuai dengan perannya masing-masing. Meski demikian, pemerintah tidak terlalu peduli dengan kesenian tarling ini. (J15)

Tulisan iki, isun jukut sing http://www2.kompas.com matur kesuwun ya Kang ?

Wilayah Cirebon Pra Islam

Matur kesuwun kanggo http://singabarong.blogspot.com sing wis tak jukut tulisane… Maaf ya Kang, tulisane tak tempel’nang ning kene… Tujuanne cuma siji kang, arep dadi perawan sunti…hehehe, maaf guyon…maksud isun, tujuanne kanggo menambah wawasan tentang Cerbon… busung Kang…temenan, bli bobad

 

Tahun 732 M di daerah Kabupaten Kuningan berdiri kerajaan Saunggalah / Arileu, dengan raja bernama Prabu Seuweu Karma. Wilayahnya hanya meliputi Cigugur, Darma dan Kadugede. Tidak diketahui kapan berakhirnya kerajaan yang merupakan bawahan kerajaan Galuh.

 

Awal abad ke-15 di sekitar Talaga berdiri Kerajaan Talagamanggung yang juga bawahan Kerajaan galuh, raja yang terkenal adalah Prabu Pucuk Umum. Hubungannya sangat erat dengan Kerajaan Saunggalah.

 

Sekitar abad-15 juga di daerah Rajagaluh, berdiri Kerajaan Rajagaluh dengan pusat pemerintahan di daerah desa Bobos. Raja yang terkenal Prabu Cakraningrat.

 

Nagari Wanagiri berpusat di Desa Wanagiri (sekitar Palimanan) yang wilayahnya hingga mencapai Desa Cirebon Girang. Penguasanya waktu itu adalah Ki Gede Kasmaya.

 

Di Kapetakan berdiri Nagari Surantaka penguasanya adalah Ki Gede Sindangkasih, dengan pusat pemerintahan terletak di Desa Kedaton.

 

Wilayah Cirebon Utar tepatnya di Desa Astana (Komplek Makam Sunan Gunung Jati), berdiri Nagari Sing Apura dengan penguasa Ki Gede Surawijaya. Nagari ini mempunyai pelabuahan yang diberinama Muara Jati dengan Syahbandarnya Ki Gede Tapa. Muara Jati saat itu ramai didatangi oleh kapal-kapal dagang asing dari Cina, India, Kamboja (Campa), maupun Arab. Bahkan beberapa kapal perang asing pun sering singgah di sini.

 

Sekitar abad-15 di wilayah Kabupaten Cirebon berdiri kerajaan yang cukup besar bernama Kerajaan Japura. Rajanya bernama Prabu Amuk Murugul, dengan wilayah meliputi Losari, Babakan, Ciledug, Waled, Karang Sembung, Lemahabang, Mundu,Beber, dan Astana Japura. Tahun 1422 Prabu Amuk Murugul tewas saat terjadi pertempuran dengan Nagari Sing Apura. Pada masa itu Kerajaan Japura mempunyai pelabuhan yang cukup ramai, tidak kalah ramainya dengan Muara Jati dan Sunda Kelapa (penulis bangsa Protugis, Tome Pires).