Archive for Januari, 2009

Alunan Sekaten 1 Syawal di Kasepuhan

ALUNAN gending gamelan yang ditabuh para nagaya terdengar apik di Keraton Kasepuhan Cirebon. Ritme lagu-lagu buhun seolah membawa siapa pun yang mendengarkan terbawa ke masa silam. Masa di mana para waliyullah berjuang mendakwahkan Islam.

Iringan gamelan sekaten yang dibawa sembilan nayaga mulai terdengar jelas saat Sultan Kasepuhan, Sultan Maulana Pakuningrat keluar dari Masjid Sang Cipta Rasa seusai melaksanakan salat id. Dari jarak sekitar 100 meter, sang Sultan pun kembali ke istananya. Gending-gending buhun seperti Kodok Ngorek, Sekatenan dan Bango Butak pun masih diperdengarkan sembari mengiringi warga Cirebon bersilaturahim, sungkem dengan sang Sultan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang setia mendengarkan irama dari gamelan sekaten yang dimainkan dari bangunan Siti Inggil.

Azan zuhur pun akhirnya berkumandang, selesailah para nayaga melaksanakan tugas mereka. Seperangkat gamelan kuno yang sejak subuh diangkut dari museum pun dikembalikan lagi ke tempat asalnya.

 “Ini sudah tradisi,” tutur Pangeran Raja Adipati (PRA) Arif Natadiningrat. gamelan sekaten hanya diperdengarkan dua kali dalam setahun, yaitu usai salat id pada Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan sekaten merupakan seperangkat gamelan kuno warisan Raden Pati Unus, Raja Islam Demak II. Gamelan yang diwariskan kepada Keraton Kasepuhan sekitar 1429 M itu sebelumnya digunakan sebagai sarana dakwah Islam yang dilakukan sejak Raden Patah memangku jabatan sebagai Raja Islam Demak pada awal abad XV.

Kemudian Gamelan sekaten ini diwariskan kepada Nyi Mas Ratu Mulung Ayu, puteri Syech Sunan Gunung Jati yang merupakan menantu dari Raden Pati Unus. Di masa Sultan memimpin pemerintahan di Keraton Kasepuhan, gamelan sekaten sering dipakai untuk mengiringi hiburan wayang kulit. Namun, setelah itu gamelan sekaten hanya disimpan di museum dan akan dimainkan setahun dua kali usai salat id sesuai dengan wasiat dari Raden Pati Unus.

Kesembilan alat musik gamelan kuno berlaraskan madenda itu terbuat dari bahan logam perunggu. Terdiri dari dua rangkaian bonang sebanyak 14 buah, beduk, kendang, kebluk, gong, dua buah saron dan serangkaian jengglong. Gamelan kuno ini dimainkan sembilan orang nayaga atau penabuh gamelan yang secara rutin berlatih sebulan sekali di museum. “Tidak hanya nayaga, tapi keluarga keraton pun diwajibkan untuk berlatih gamelan untuk mengantisipasi jika ada di antara para nayaga yang meninggal dunia.

Tiga buah gending kuno yang sering dimainkan para nayaga memiliki arti masing-masing. Gending Kodok Ngorek, misalnya, dilantunkan untuk memanggil hujan, gending sekatenan mengiringi masyarakat masuk memeluk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan gending Bango Butak sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk Islam. Karena perawatan cukup apik, semua jenis alat musik tabuh sekaten yang sudah berusia lebih dari 600 tahun itu masih nampak bagus dan utuh. Bahkan termasuk tempat gamelan yang terbuat dari kayu jati. Karenanya, suaranya pun masih terdengar nyaring dan empuk sehingga tanpa dibantu alat pengeras pun suaranya bisa didengar dari kejauhan.

Selaku putra mahkota, PRA Arif Natadingrat mengaku bangga dengan tradisi yang hingga kini masih terpelihara dengan baik. “Bahkan tidak hanya keluarga keraton yang menikmatinya, warga Cirebon lainnya pun masih mendengarkan dengan seksama gending-gending lawas yang dimainkan dari gamelan sekaten,” katanya. Bahkan banyak sekali di antara warga Cirebon yang sengaja datang ke keraton hanya untuk mendengarkan gending-gending sakral yang hanya dimainkan dua kali dalam setahun itu.

Karena itu, seluruh keluarga keraton Kasepuhan akan selalu berusaha untuk menjaga barang pusaka peninggalan leluhur. Termasuk melestarikan tradisinya. Karena jika tidak dijaga, jati diri Cirebon akan hilang.(M-4)

Oleh, Nurul Hidayah

Kesuwun kanggo http://mediaindonesia.com sing wis tak jukut tulisane…

Norbertus Riantiarno (Nano)

Pendiri Teater Koma (1 Maret 1977) Norbertus Riantiarno yang akrab dipanggil Nano lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Suami dari aktris Ratna Riantiarno ini seorang aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia. Nano, terpilih sebagai penerima Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Riantiarno terpilih karena kontribusinya pada dunia teater di Indonesia. Dewan juri FTI 2008 yang diketuai Jacob Soemardjo dengan anggota Radhar Panca Dahana, Jajang C Noer, Nirwan Arsuka, dan Kenedi Nurhan, menilai Nano sangat konsisten berkarya dalam dunia teater. Sehingga kononsistensinya patut dihargai. Penganugerahan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari jadi ke-4 FTI pada 27 Desember 2008.

Menurut anggota dewan juri Anugerah FTI 2008, Radhar Panca Dahana, di Jakarta, Rabu 10/12/2008, sejak berdiri 1977, Teater Koma selalu pentas setiap tahun dan penonton pun selalu memenuhi gedung pertunjukan, bahkan pernah pentas selama 40 hari.

Menurut Radhar, lamanya waktu pentas Teater Koma, itu sesuatu yang fenomenal untuk dunia teater. ”Riantiarno memberi inspirasi pada pekerja teater di daerah untuk menggunakan musik dan tari dalam pementasannya. Teater di daerah pun menirukan dengan gaya-gaya akrobatik dan sukses. Inspirasi semacam ini memperkaya kehidupan teater Indonesia,” kata Radhar.

Di kota kelahirannya, Cirebon anak kelima dari tujuh bersaudara ini menamatkan pendidikan SD (1960), SMP (1963) dan SMA (1967). Ketika kanak-kanak, ia hobi menonton teater rakyat, wayang, reog, dan masres (ketoprak), genjring dogdog — semacam sirkus yang menggunakan tarian. Saking seringnya menonton sampai pagi, suatu ketika Nano dikurung orang tuanya di gudang. Namun ketika dikurung itu, ia pun lantas menulis cerpen dan komik.

Saat di SMA, orangtuanya heran, ketika Nano sudah bicara tentang pilihan karirnya menjadi orang teater. Koq teater, untuk apa? Sebab di keluarga itu tidak ada latar belakang teater. Ayahnya, M. Soemardi, pegawai kereta api.

Sejak SMA, Nano sudah mulai mengenal seni pertunjukan, bergabung dengan Teater Tanah Air yang bermarkas di RRI Cirebon. Suasana berkesenian waktu itu sangat kondusif. Nano turut mendengarkan jika Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi membaca puisi.

Kemudian Nano melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta. Di luar jam kuliah, Nano bersama Boyke Roring dan Slamet Rahardjo, mengikuti acting course di bawah bimbingan Teguh Karya. Teguh mengajaknya ke Hotel Indonesia, dimana Teguh menjadi stage manager. Akhirnya Nano bersama Teguh mendirikan Teater Populer, 1968.

Lalu , kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Dia pun mengecap pendidikan International Writing Program, University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, 1978.

Pengalaman yang dia peroleh dari Teater Populer, mendorong Nano mendirikan Teater Koma, 1975. Saat itu usianya 26 tahun. Ia pun berkeliling Indonesia selama enam bulan untuk mengenal kehidupan teater rakyat di pelbagai daerah. Suatu ketika, saat hendak menuju Ujungpandang, perahu yang ditumpanginya dihantam gelombang. Namun, Nano selamat.

Nano telah aktif dalam dunia teater sejak 1965 di Cirebon. Dia pun menjadi pemain drama, pemain film-tv, penulis dan asisten sutradara panggung dan film (1968-1977). Pada tahun 1968, Nano sudah ikut mendirikan Teater Populer (bersama Teguh Karya) di Jakarta.

Lalu pada 1 Maret 1977, Nano mendirikan Teater Koma dan sekaligus memimpinnya sampai sekarang (2008). Teater Koma salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia. Pusat Data Tokoh Indonesia mencatat sampai 2008, Teater Koma sudah menggelar lebih 111 produksi panggung dan televisi. Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain: Rumah Kertas; Maaf, Maaf, Maaf; Jakarta Jakarta (mendapat Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI 1978); Kontes 1980; Bom Waktu; Suksesi, Opera Kecoa; Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay; Banci Gugat; Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Rumah Sakit Jiwa, Opera Ular Putih, Semat Gugat, Cinta yang Serakah; Opera Sembelit; Samson Delilah, Republik Bagong dan Tanda Cinta.

Selain drama-drama karya Nano sendiri, Teater Koma juga telah memanggungkan berbagai karya penulis kelas dunia, antara lain; Woyzeck karya Georg Buchner, The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brecht, The Comedy of Errors karya William Shakespeare, Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, Animal Farm karya George Orwell, The Crucible karya Arthur Miller, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere dan
The Marriage of Figaro karya Beaumarchaise.

Selain itu, Nano juga berkarya dalam dunia film, antara lain: – Wajah Seorang Lelaki (1971) – Cinta Pertama (1973) – Ranjang Pengantin (1973) – Kawin Lari (1974)- Jakarta-Jakarta (1977)
– Skandal (1978) – Puber (1978)- Kasus/Kegagalan Cinta (1978) – Dr. Sii Pertiwi Kembali Ke Desa (1979)- Jangan Ambil Nyawaku (1981) – Dalam Kabut dan Badai (1981) – Acuh-Acuh Sayang (1981) – Amalia SH (1981)- Halimun (1982) – Ponirah Terpidana (1983) – Gadis Hitam Putih (1985) – Sama juga Bohong (1985) – Pacar Pertama (1986) – Dorce Ketemu Jodoh (1990). Film layar lebar perdana karyanya, Cemeng 2005 / The Last Primadona (1995) yang diproduksi Dewan Film Nasional Indonesia.

Selain aktif di dunia teater, Nano juga pernah menekuni dunia jurnalistik. Ia ikut mendirikan dan bertugas sebagai Redaktur majalah Zaman, 1979-1985; Juga ikut mendirikan majalah Matra dan menjabat sebagai Wapemred (1985–1988) dan Pemimpin Redaksi (1988 sampai Maret 2001). Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan dan berkiprah sepenuhnya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.

Nano juga aktif sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 1985-1990 dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta, 1984-sekarang.

Nano juga seorang penulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.

Ia juga menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. Ranjang Bayi dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.

Dalam mengembangkan karyanya, pada tahun 1975, Nano berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. Selain kegiatan dalam negeri, pada 1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan. Lalu pada 1987, ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Tahun berikutnya diundang ke New Order Seminar, 1988, di Australia juga.

Nano juga pernah menyampaikan makalah Teater Modern Indonesia di Universitas Cornell, Ithaca, AS, 1990. Juga berbicara mengenai Teater Modern Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth, 1992. Dan di tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.

Nano menyutradarai Sampek Engtay di Singapura, 2001, dimana pekerja dan para pemainnya dari Singapura. Dia juga salah satu pendiri Asia Art Net, AAN, 1998, sebuah organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara-sutradara Asia. Menjabat sebagai artistic founder dan evaluator dari Lembaga Pendidikan Seni Pertunjukan PPAS, Practice Performing Arts School di Singapura.

Ia juga pernah berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pernah pula mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Tiongkok, 1986-1999.

Selain aktif di Dewan Kesenian Jakarta, Nano juga menjadi Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Juga anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004. Juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Dia juga menulis dan menyutradarai 4 pentas multi media kolosal, yaitu: Rama-Shinta 1994, Opera Mahabharata 1996, Opera Anoman 1998 dan Bende Ancol 1999.

Teater Koma juga dikenal dengan kritik-kritik sosialnya. bahkan beberapa karya Nano bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta. Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar pula karena alasan yang serupa. Tapi Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.

Atas berbagai aktivitas dan karyanya, Nano sudah menerima sejumlah penghargaan. Antara lain: – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1972) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1973) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1974) – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1975) – Penulis Skenario Terpuji dari Forum Film Bandung atas skenario sinetron Kupu-Kupu Ungu – Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI Ujung Pandang melalui film Jakarta-Jakarta (1978) – Hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen P&K (1978) – Piala Vidya untuk sinetron Karina pada Festival Sinetron Indonesia 1987 – Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K atas nama Pemerintah RI, 1993 – Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1997) – Penghargaan Sastra Indonesia 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; sekaligus meraih SEA Write Award, dari Raja Thailand untuk karyanya Semar Gugat – Piagam Penghargaan dari Departemen Pariwisata dan Seni Indonesia, 1999 – Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Selain itu, dua novel pria semampai ini, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, meraih hadiah Sayembara Novelet Majalah Femina dan Sayembara Novel Majalah Kartini. Karya pentasnya Sampek Engtay, 2004, masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama. ►ti/tsl

Referensi:
http://www.tamanismailmarzuki.com
http://www.pdat.co.id

Bedaya Rimbe

Bedaya rimbe adalah satu bentuk reportoar tari kelompok putri yang hidup di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat. Repertoar tari ini bersumber pada cerita “Menak Jayengrana” dan ditarikan oleh enam orang penari putri keraton, yang dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton Kanoman pada masa lalu. Ketatnya berbagai aturan yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai historik.

Persoalan bedaya rimbe yang tetap misteri selama lebih dari 30 tahunan, keterangan yang ada selama ini hanya merupakan serpihan catatan pendek dari beberapa peneliti terdahulu, seperti dari Dr. Budding (seorang Belanda) 1842, Prof. Dr. R.M. Soedarsono (1972), Theresia Hastuti (1991), dan R.A Nungki Kusumastuti (1980-an), mulai tampak titik terang ketika penulis bertemu dengan P.A. Djoni Arkaningrat (Ngabei Karawitan) di Keraton Kanoman 2000 yang lalu, ketika penulis melakukan penelitian untuk keperluan tugas akhir program S-2 (tesis; Tayub Cirebonan) di Pascasarjana UGM Yogyakarta.

Dalam dialog ketika itu, muncul semangat Mama Djoni (panggilan akrab penulis) untuk melakukan rekonstruksi agar tarian tersebut bisa hidup kembali melengkapi prosesi ritual kenegaraan di Keraton Kanoman. Upaya tersebut baru terlihat hasilnya di 2003.

Tarian ini terakhir kali dipergelarkan sekitar 1967, ketika Sultan Kanoman waktu itu kedatangan tamu negara dari Prancis yang salah seorang penarinya adalah ibu Ratu Nuraeni dan kakak kandungnya, ibu Ratu Yohana (almh). Bahkan, menurut P.H. Yusup Dendabrata (alm) bahwa tari bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Kraton Mangkunegaran awal 1960-an dan saat itu rombongan dari Cirebon setelah selesai pentas, diberi cendera mata berupa jam tangan berlapis emas dari Sultan Mangkunegaran.

Menyoal tentang cerita “Menak Jayengrana”, semula cerita ini bersumber dari kitab Qissai Emr Hamza, satu kesusastraan Persia pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766-809). Di daerah Melayu kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah (Ki Waluyo, 1997). Berdasarkan hikayat itulah yang dipadu dengan cerita Panji, akhirnya lahir cerita Menak. Dalam cerita ini nama-nama tokohnya disesuaikan dengan nama Jawa, antara lain Omar bin Omayya menjadi Umarmaya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi`ul Zaman menjadi Imam Suwongso, Mihrningar menjadi Dewi Retna Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraisin, Unekir menjadi Dewi Adaninggar dan lain-lain.Pada garis besarnya, cerita menak mengisahkan permusuhan Amir Ambyah (Wong Agung Jayengrana) dari Mekah dengan raja Nusirwan, mertuanya dari Medayin yang masih kafir. Raja Nursirwan yang tidak mau tunduk, selalu berusaha mencari bantuan dan perlindungan dari negara-negara lain yang rajanya bersedia memusuhi Amir Ambyah. Hingga terjadilah peperangan yang berkepanjangan.

Hal lain yang tidak kalah menariknya dari cerita Menak Jayengrana yang merupakan perpaduan antara cerita Panji yang berbau Hindu-Budha dengan cerita Amir Ambya/Hamzah yang berbau Islam dalam tarian rimbe ini adalah keterkaitannya dengan filosofi hidup masyarakat Sunda lama, khususnya pada kosmologi rumah Sunda.

Telah dijelaskan oleh Jakob Sumardjo bahwa bagi urang Sunda kalau rumah menghadap utara, maka wilayah laki-laki berada di bagian utara-barat, sedangkan perempuan di bagian timur-selatan. Ini sesuai dengan pola kosmologi topeng cirebon. Panji yang berada di pusat, membagi dua wilayah timur-selatan yang dihuni oleh tari pamindo dan rumyang (halus/keperempuanan), sedangkan wilayah utara-barat dihuni oleh tari patih/tumenggung dan klana (kasar/kelaki-lakian).

Sementara itu, apabila menelisik secara keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya rimbe, maka akan terlihat beberapa aspek yang tampak memancarkan aura yang tidak sekadar percikan nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh keenam penarinya merupakan nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia, dalam menjalani kehidupannya baik dalam mencari rida Allah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur garap penyajian tarinya, sangat simbolik.

Khususnya mengenai struktur penyajian rimbe yang terbagi dalam tiga bagian, terlihat adanya upaya manifestasi nilai-nilai budaya dari masa/periode zaman Sunda lama/wiwitan. Sumardjo berpendapat bahwa angka 3 dan 6 dalam kosmologi masyarakat Sunda lama yang menganut tata nilai berazaskan Tri Tangtu memiliki arti yang penting dan spesifik. Kalau di Jawa dikenal bilangan penting seperti 4, 8, 16, 32, dan seterusnya, maka dalam masyarakat Sunda bilangan penting berupa 3, 6, 12, 24, dan seterusnya. Jika demikian adanya, maka kita bisa membaca kosmologi masyarakat Sunda yang lebih dalam dan komprehensif lewat potret bedaya rimbe. Wacana ini semakin menarik dalam upaya membuka cakrawala pandang masyarakat Jawa Barat (Cirebon, Priangan, dan lainnya) bahwa Jawa Barat adalah Sunda, dan Sunda itu adalah kita, seluruh warga masyarakat Jawa Barat dalam pengertian yang utuh. Semoga***

 

Lalan Ramlan
Pengamat tari

Kesuwun kanggo http://www.pikiran-rakyat.com sing wis tak cuwil – cuwil tulisane, Kesuwun kang…

Almamater

smanda-cheeper2

Bagen blesak mengkenen gan, kita kuh pernah urip telung taun ning Smanda Cerbon kuh…

 

Ya, walopun dudu dadi ketua OSIS, apa maning dadi murid kang berprestasi, tapi lumayanlah kanggo jejeg – jejegi jumlah murid bae-lah… Numpang lewat bae, lamun istilah ning perfilman sih cuma figuran…

Priben arep dadi ketua OSIS, wong nilai pas – pasan, tampang ora karuan, aktif ning Paskibra cuma sedelat, lamun sekolah telat, ndodok ning bangku paling pojok… mbawang’lah pokoke…i’m nothing, jare bahasa Jamblange sih…

 

Waktu jaman semana, durung ana sing arane Grage Mall, durung usum nongkrong ning mall

Grage Mall waktu iku masih wujud kolam renang, ana wong adol buku lan majalah bekas ning pojokane. Lah, ning tempat wong adol buku bekas mau kita sering maca – maca, tapi bli tuku…maklum, ora gableg duit…hehehehe

 

Ya, jaman iku durung ngerti SMS, durung ngerti chating, durung ngerti hp, atawa sing aneh-aneh lah…, paling – paling nongkronge ning warung rokok cilik, ning pinggir jembatan, sambil tuku es bajigur…

 

Tapi, lumayan akeh’lah kisah sing digawe ning Smanda Cerbon, dawa pisan lamun di cerita’nang kabeh, bli pragat rong minggu.

Mangkane, kesuwun pisan kanggo Smanda Cerbon sing wis gelem nerima isun dadi murid’e, kesuwun kanggo para guru sing ngajar isun, “terima kasih yang amat dalam Pak, Bu…”

 

Kanggo adik-adik kelas, sing masih belajar ning Smanda Cerbon, isun cuma pengen nitip pesen setitik bae ning kabeh’ane :

Hari ini adalah sejarah yang akan kau baca kelak. Hari ini adalah bunga yang akan kau petik di masa depan. Masa depanmu, adalah gambar yang saat ini sedang kau lukis. Maka, lukislah hari ini dengan indah.

 

Sing pada wekel belajar ya?

 

Iki lamun pengen weru, priben Smanda Cerbon iku http://school.sma2-cirebon.sch.id ayo pada ndeleng ning kene…

Viva Paramasdya Paramatatva Cisya

Pasukan Kancil Merah

Sejarawan Cicero mengatakan “Historia MagistraVitae’ yang artinya sejarah adalah guru kehidupan.

Salah satu peristiwa sejarah yang terjadi masayarakat Cirebon pernah ditulis oleh Saudara Maharyono, yang diterbitkankan oleh penerbit PT. Grasindo pada tahun 2003. Sampai saat ini buku tersebut merupakan satu-satunya buku yang ditulis secara khusus mengupas tentang perjuangan yang dilakukan masyarakat Kota Cirebon dan sekitarnya pada masa perang kemerdekaaan (1945 – 1949).

Buku itu selain menceritakan tentang bagaimana kondisi yang dialami masyarakat Cirebon pada masa kemerdekaan, juga menceritakan secara khusus kisah heroik Pasukan Kancil Merah dan peritiwa Palagan Mandala. Pasukan Kancil Merah pada saat itu memang keberadaanya sangat dikenal oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya.

Pasukan Kancil Merah adalah nama samaran Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di wilayah Cirebon dengan komandannya yang bernama Letnan Abdul Kadir. Pasukan Kancil Merah, merupakan salah satu pasukan gerilya yang memiliki persenjataan yang lengkap dengan jumlah personil yang cukup banyak serta dikenal dengan kedisiplinan dan keberaniannya.

 Tercatat dalam buku yang berjudul “Semuanya Untuk Cirebon” (Maharyono : 2003), Pasukan Kancil Merah mengalami beberapa kali kontak senjata dengan Belanda serta melakukan tindakan sabotese untuk memperlambat gerak pasukan Belanda.

Beberapa anggota Pasukan Kancil Merah yang gugur dalam medan pertempuran, diantarnya kini diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cirebon, seperti jalan Kusnan, Jalan Saleh dan Jalan Suratno. Sedangkan Palagan Mandala merupakan peristiwa yang berawal ketika meletusnya Agresi Belanda I sebagai bentuk pengingkaran Belanda terhadap kesepakatan hasil perjanjian Linggarjati.

Belanda melakukan agresinya yang pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dengan melakukan penyerangan diberbagai daerah termasuk wialayah Cirebon.

Tepat pada pukul 09.00, bertepatan dengan Bulan Puasa, serangan udara dilancarkan oleh Belanda, sebagai tanda dimulainya agresi militer Belanda ke Cirebon. Padahal saat itu Belanda masih terikat oleh perjanjian Linggarjati. Kota Cirebon diserang dari udara dengan pesawat pemburu dan pembom yang melepaskan tembakan senapan mesin, roket dan bom yang terdiri dari jenis seberat sepuluh hingga seratus kilogram.

Pada tanggal 22 Juli Belanda terus melakukan penyerangan dari udara dan laut. Beberapa daerah yang dijadikan sasaran tembak diantaranya adalah jembatan kereta api Krian, Stasiun Kejaksan, Kutagara, Prujakan dan Pagongan. Akibat insiden tersebut puluhan orang tewas termasuk anak-anak, kaum perempuan serta masyarakat sipil lainnya. Pasukan Siliwangi yang berkedudukan di Cirebon waktu itu tidak dapat menahan serangan Belanda yang pesenjataannya lebih lengkap dan modern. Atas segala pertimbangan dan untuk menghindarkan dari kehancuran yang lebih fatal Pasukan Siliwangi menjauh ke Desa Mandala untuk mengatur siasat gerilya.

Desa Mandala adalah salah satu desa yang berada di bawah kaki Gunung Ciremai, secara administratif berada di wilayah Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Selanjutnya pertempuran terus terjadi antara pasukan TNI dibawah pimpinan Letnan Budhi Hardjo dengan pasukan Belanda sampai dengan tercapainya persetujuan penghentian tembak menembak pada bulan Agustus 1949, yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Selama pertempuran yang terjadi di Desa Mandala puluhan pejuang gugur termasuk diantaranya Kapten Hendrik bersama putranya yang baru berusia 10 tahun.

Kini sebagian besar para pahlawan dalam pertempuran Palagan Mandala dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kesenden Kota Cirebon. Masyarakat Desa Mandala pun banyak yang menderita kerugian, baik materi maupun immateri, semuanya dilakukan demi kecintaan terhadap tanah air dan bangsa serta adanya dorongan kuat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Mungkin masih banyak kisah perjuangan masyarakat Cirebon pada khususnya dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya yang sarat dengan nilai –nilai heroik, namun belum tergali. Semua itu merupakan potensi khasanah sejarah bangsa yang tiada ternilai harganya. Sebagai bagian dari generasi muda yang hidup di masa kemerdekaan, tentu akan merasa sangat bangga jika membaca atau mengetahui kisah heroik yang pernah dilakukan oleh para generasi sebelumnya. Sehingga akan timbul rasa kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, sekaligus akan tumbuh juga rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sesuatu yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Seperti apa yang telah diberikan oleh para pahlawan bangsa terhadap negeri ini.

INDRA YUSUF, Praktisi Pendidikan, tinggal di Kota Cirebon.

Kesuwun kanggo http://www.kabarindonesia.com sing wis tak jukut tulisane…Kesuwun Kang!

Pengajaran Bahasa Cirebon

Bahasa Cirebon yang selama ini menjadi salah satu mata pelajaran bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal di Cirebon dan sekitarnya terancam kelangsungannya oleh rencana pemerintah menghapus muatan lokal dari kurikulum pendidikan nasional.

Demikian diungkapkan budayawan dan sejarawan Cirebon TD Sudjana di Kota Cirebon, Jawa Barat (Jabar), hari Rabu (21/5). TD Sudjana adalah penyusun Kamus Bahasa Cirebon dan termasuk salah satu tokoh yang memperjuangkan bahasa Cirebon menjadi bagian muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 12 tahun silam.

Kekhawatiran tokoh yang akrab dipanggil Pak Djana itu didasari pada kenyataan bahwa selama ini perhatian pemerintah terhadap muatan lokal, terutama bahasa daerah, sangat rendah. “Di zaman sentralisasi dulu, pemerintah seolah tidak peduli pada pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal, apalagi sekarang mau dihapus sama sekali dari kebijakan kurikulum nasional,” katanya.

Sudjana juga meragukan, apabila penentuan muatan lokal diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota masing-masing, pengajaran dan pembelajaran bahasa daerah akan lebih baik dari masa lalu. “Jangan-jangan malah lebih tidak peduli,” ujarnya prihatin.

Ia mencontohkan pada saat awal perjuangan memasukkan bahasa Cirebon menjadi mata pelajaran yang diajarkan di daerah-daerah pemakai bahasa itu, yaitu di Kota/Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, 12 tahun lalu. Pada waktu itu, pemerintah pusat memberi kewenangan kepada masing-masing pemerintah daerah menentukan muatan lokal bahasa daerah masing-masing. “Pada awal penyusunan materi pelajaran bahasa Cirebon, ada tim yang beranggotakan orang- orang dari seluruh Wilayah III Cirebon. Tetapi, setelah pemerintah memutuskan bahasa Cirebon menjadi muatan lokal, tim itu justru pecah dan sibuk mengurusi daerah masing-masing,” kata Pak Djana.

Sudjana mengharapkan agar pemerintah daerah terutama Pemkot Cirebon, Pemkab Cirebon, dan Pemkab Indramayu tidak menghapus bahasa Cirebon dari muatan lokal pendidikan dasar dan menengah di daerah masing-masing. “Jika tidak, saya khawatir bahasa Cirebon tidak lagi dipelajari orang dan lama-lama tidak diakui sebagai salah satu bahasa daerah resmi,” tuturnya.

Bahasa Cirebon, menurut TD Sudjana, adalah bahasa daerah yang unik dan berkembang di pesisir utara Jabar bagian timur. Bahkan, pengaruh bahasa Cirebon masih ditemui di bekas wilayah Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Saat ini, bahasa Cirebon dipopulerkan lewat lagu-lagu tarling dangdut Cirebonan.

Bahasa yang selintas terdengar mirip dengan bahasa Jawa dialek banyumasan tidak dapat digolongkan bahasa Sunda maupun bahasa Jawa. Selama ini, orang awam menduga bahasa Cirebon adalah peleburan antara bahasa Jawa dan Sunda karena letak Cirebon di perbatasan Jabar dan Jateng.

“Tetapi, sebenarnya bahasa Cirebon memiliki keunikan tersendiri dan dapat digolongkan bahasa daerah yang mandiri. Itu sebabnya saya memperjuangkan bahasa Cirebon menjadi muatan lokal dan menyusun kamusnya,” papar Pak Djana.

Menanggapi kekhawatiran TD Sudjana, Wali Kota Cirebon Subardi menegaskan, pelajaran bahasa Cirebon tidak akan dihapus dari kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Kota Cirebon. “Sudah banyak usulan yang menghendaki adanya alokasi satu jam pelajaran khusus untuk pelajaran bahasa Cirebon,” kata Subardi. (dhf)

Dijukut sing http://www2.kompas.com kesuwun ya Kang…

Wilayah Cirebon

Wilayah Cirebon adalah Eks-Karesidenan Cirebon yang merupakan bagian paling timur dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara geografi Wilayah Cirebon atau CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) merupakan daerah pantai, daerah dataran rendah, daerah perbukitan dan daerah pegunungan.

Adapun batas-batas administrasinya yaitu:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes.
• Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Ciamis, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap.
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang.

Kondisi geografi yang strategis tersebut merupakan keuntungan bagi Wilayah Cirebon terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara dan timur merupakan daerah dataran rendah serta pantai sedangkan kawasan selatan dan barat berbukit-bukit serta dataran tinggi dan Gunung Ciremai.

Selain itu, Wilayah Cirebon yang memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sunyai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Wilayah Cirebon beriklim tropis.

Luas Wilayah Cirebon yang meliputi 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota yaitu seluas 5.450,57 km², dengan rincian sebagai berikut:

NO KABUPATEN/KOTA LUAS WILAYAH (Km²)
1. Kota Cirebon 37,33
2. Kabupaten Cirebon 99,32
3. Kabupaten Indramayu 2.040,11
4. Kabupaten Majalengka 1.204,24
5. Kabupaten Kuningan 1.178,57
JUMLAH 5.450,57

Dijukut saking http://www.bakorwilcrb.jabarprov.go.id kesuwun kang…

Makna tanaman di Kraton Kasepuhan

Menurut keterangan Bp. Amang Darta dari Unit Pengelola Keraton Kasepuhan (UPKK) beberapa tanaman yang terdapat pada bangunan-bangunan Kerajaan Cirebon mengandung makna tertentu. Pohon beringin sebagai lambang kekuasaan dan pengayoman; tanjung merupakan lambang nunjung atau menyanjung yang berarti derajat tinggi (bertahta) atau dapat pula diartikan meninggikan derajat (menyanjung); kepel berarti menggenggam; mangga dalam bahasa Jawa disebut pelem merupakan lambang kemauan (gelem); dewadaru berarti cahaya dewa; sedangkan sawo di dalam buahnya terdapat biji yang dalam budaya Jawa dinamakan kecik, sawo merupakan lambang kebaikan (becik).

Rangkaian pohon-pohon yang ada bila dihubungkan dengan keletakannya mengandung arti yang lebih mendalam. Hal ini terlihat pada Keraton Kasepuhan sebagai kelanjutan Keraton Pakungwati pada masa awal pendirian Negari Cirebon ditujukan sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa khususnya Jawa Barat.

Keraton sebagai pusat pemerintahan dipercaya juga sebagai pusat kosmis. Berkaitan dengan simbol pepohonan yang ditanam di keraton, makna yang terkandung berhubungan erat dengan ajaran Islam. Sebelum memasuki komplek keraton, pada halaman alun-alun terdapat pohon beringin yang mengandung pesan agar penguasa selalu mengayomi rakyat. Selanjutnya pada halaman pertama terdapat pohon sawo dan tanjung. Pesan yang disampaikan, penguasa sebagai pengayom rakyat harus selalu berbuat baik (becik) dan selalu ingat kepada Allah (menyanjung). Seluruh syariat agama harus digenggam dengan kuat (kepel). Pesan-pesan simbolis ini berada pada halaman pertama memasuki keraton atau sebagai tingkatan pertama.

Selanjutnya pesan itu diteruskan pada jenjang yang lebih tinggi/dalam sebagaimana pesan pada halaman kedua. Ajaran atau syariat agama harus ditingkatkan tidak hanya dimengerti tetapi harus mau (gelem) dijalankan agar disanjung untuk kebaikan. Sebagai tanda kesempurnaan derajat, manusia akan mendapat sinar kedewaan (dewadaru).

Demikianlah, ternyata pohon yang ada di lingkungan keraton tidak sekedar ditanam tanpa arti, namun mengandung makna filsafat yang tinggi. Makna tersebut terutama ditujukan kepada penguasa agar selalu mengayomi rakyatnya. Sebagai penguasa yang berdasarkan ajaran Islam, penguasa harus dapat dijadikan teladan atau contoh bagi rakyat. Sesuai dengan ajaran Islam, penguasa hendaknya dapat menjadi uswatun khasanah.

Dijukut sing http://www.pelita.or.id kesuwun Kang…

Macan Ali

 

benderacirebon

“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti bentuk piktogram stilasi dari “Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan Kaca seniman Cirebon, tulisan arabnya berbunyi: “thoyibah laa ila ha illallah”.

Hubungannya dengan Sayidina Ali, berdasarkan cerita ringkasnya karena Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) keturunan ke 17 dari Sayidina Ali, ke 18 dari Rasulullah, karena di depan namanya memakai Sayid Syarif, nasab dari Husein.

Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi macan. Keratonmemberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda. Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja.

Tandanya Cirebon bahaya adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gn.Jati yang berlapis emas raib…terbang… atau bergoncang. Pasukan ini berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja.

Menurut cerita lain kalau bulan Mulud suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati). Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda, menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang.
Tiap anggota punya nama dan pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng…..”

 

Cerita yang lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama Singha Barwang Djalalullah (kalau tidak salah ucap), yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Dari seorang kenalan banyak didapat informasi perihal pelacakan ini, termasuk ke sumber informasi yang secara moril masih berstatus sebagai seorang Adipati Kraton. Awalnya sumber yang tinggal di daerah utara Cirebon tersebut enggan mengutarakan, namun setelah mengenal lebih dalam mengenai pribadi tentang diri dan keluarga barulah beliau mau mengutarakan lebih lanjut.


Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.


Pakaian yang bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian harus hening dan sedikit penerangan. Tapi sayang tidak bisa didokumentasikan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.

Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah karena memang masih ada hubungan trah.


Dari semua pembicaraan, ternyata yang paling mengesankan adalah tentang beladiri yang dipakai Pasukan Khusus itu, yaitu Gerak Gulung Pajajaran. Ketika dikonfirmasi mengenai kesamaannya dengan Gerak Gulung Budi Daya yang di Bogor, beliau mengatakan memang masih satu rumpun.

dijukut sing Kaskus… keswuwun, Kang!

Awal abad ke-16

Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.

Dicuplik saking http://halimihusnan.multiply.com