Archive for Mei, 2010

Sidapurna, 2 KM dari arah selatan Pasar Jamblang

Bismillahirrokhmanirrokhiim…
Sidapurna adalah nama sebuah Blok/Kampung disuatu Desa yang bernama Desa Kasugengan Kidul-Kecamatan Depok yang terletak 2 KM dari arah selatan Pasar Jamblang menuju Desa Sindang jawa-Kecamatan Sumber. Blok/Kampung Sidapurna terdata menjadi Rw IV semenjak Desa Kasugangan mengalami pemekaran menjadi 2 Desa, Desa Kasugengan Lor dan Desa Kasugengan Kidul. Yang kemudian disusul dengan pemekaran Kecamatannya, yang semula masuk Kecamatan Plumbon sekarang menjadi Kecamatan Depok.

Adapun menurut riwayat, kira-kira pada tahun 1690 kampung Sidapurna dulu masuk wilayah dari Desa Babakan yang sekarang menjadi Desa Waruroyom. Antara keduanya, Sidapurna dan Waruroyom memiliki sejarah yang saling berkaitan/berhubungan. Menurut primbon yang dimiliki oleh Bpk. H.Taspi ketua LKMD Desa Waruroyom yang pernah dimuat di Majalah Tandang terbitan Kantor Deppen Kab.Cirebon edisi No.6/tahun 1985/1986 hal.12, mengenai Asal-usul Desa Waruroyom. Dikatakan bahwa yang sekarang bernama Desa Waruroyom itu dahulunya adalah Babakan. Yang dipimpin oleh seorang Ki Gede yang bernama Ki Gede Babakan, dan diabadikan menjadi sebuah nama desa tersebut. Ki Gede Babakan memiliki 3 orang putra yang bernama :

1. Ki Samsudin kemudian menggantikan ayahandanya menjadi seorang Kepala Desa/Kuwu.
2. Ki Jaenudin menjadi aparat dari desa tersebut ( Lebe ).
3. Ki Akmaludin, beliau lebih memilih menjadi Ajengan/Kiyai.

Tampuk Kepemimpinan Kuwu pun diserahkan kepada putra pertama Ki Gede Babakan yaitu Ki Samsudin yang nantinya akan merubah nama Desa Babakan menjadi Desa Waruroyom. Dan Ki Gede Babakan sendiri berpindah ke daerah selatan, tepatnya di wilayah Sumber lalu beliaupun mendirikan sebuah desa dengan nama Desa Babakan-Sumber. Ki Gede Babakan pun menurunkan keturunannya sampai ke Wanantara dan Wanasaba. Pada pemerintahan Ki Samsudin, pertumbuhan desa Waruroyom sangat baik. Menjadi desa yang subur, makmur, loh jinawi tidak kurang sesuatu apapun. Namun sayangnya beliau lebih memilih bergaul dengan para penjajah VOC ketimbang dengan saudaranya yang bernama Ki Akmaludin yang notabene seorang ulama pada waktu itu. Sehingga terkadang sering terjadi perselisihan yang mengakibatkan kejadian2 aneh yang pernah dialami oleh Ki Samsudin bersama para VOC ketika mengadakan sebuah acara pesta dirumahnya yang dilakukan oleh Ki Akmaludin dengan ilmu kebathinannya. Seperti ketika para koki memasak untuk keperluan hidangan para tamu undangan Ki Samsudin, Nasi tidak bisa disiduk karena keras sekeras batu, Masakan yang berjenis lauk ikan pun dapat hidup kembali, Masakan yang berjenis daging kembali menyatu menjadi hewan dan hidup. Maka dengan sekejap suasana pesta pun berubah menjadi rusuh dan para undangan pun berfikir bahwa kejadian tersebut adalah sebuah gangguan ghaib sebangsa setan, jin atau sejenisnya yang tidak terima dengan kahadiran para undangan. Namun Ki Samsudin berpendapat lain bahwa kejadian tersebut hanyalah ulah dari adiknya Ki Akmaludin. Sehingga Ki Samsudin pun tidak berfikir lama beliau langsung saja pergi untuk menemui adiknya. Sesampainya ditempat Ki Akmaludin, Ki Samsudin tidak menemui adiknya lalu beliaupun terus mencari hingga akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti sejenak melakukan pencarian. Sampai suatu ketika ada seorang penggembala kambing melihat seseorang yang keluar dari gowok yang berada ditepi sungai sedang mengambil air wudhu. Dan sipenggembala melaporkan kesaksianya tersebut kepada Ki Jaenuddin yang juga salah satu adik dari Ki Samsudin yang bekerja di pemerintahan desanya sebagai lebe/naib. Bersama sipenggembala Ki Jaenuddin menemui kakaknya untuk menceritakan semua yang dilihat oleh sipenggembala tersebut. Tanpa berpanjang waktu kemudian berangkatlah mereka menuju tempat dimana seseorang yang dianggap sipenggembala adalah Ki Akmaludin. Beliau pun menungguniya hingga seseorang yang dianggap mereka Ki Akmaludin itu keluar. Dan akhirnya yang mereka tunggu pun muncul, seketika itu juga Ki Samsudin bersama Adik dan sipenggembala tersebut menubruk seseorang yang memang benar beliau adalah Ki Akmaludin sambil berkata nggowok temen sampeyan ( nggowok; bersembunyi didalam gua ditepian sungai ). Dan atas kejadian itu daerah tersebut sekarang diberi nama Sigawok. Sigawok adalah salah satu tempat yang berada di Blok/Kampung Sidapurna yang letaknya berseberangan dengan kampung Kedungdadap Desa Beran. Disebelah selatan Sigawok terdapat suatu tempat yang bernama blok Pesantren, dimana ditempat tersebut Ki Akmaludin pernah mendirikan sebuah pesantren dan beliau sendirilah sebagai kiyainya. Dari kejadian2 diluar nalar manusia yang Ki Samsudin alami atas perbuatan adiknya yang punjul ilmunya itu, maka beliau Ki Samsudin berkata kepada adiknya Sida Sampurna sampeyan… Sida Sampurna yang berarti “Jadi Sempurna” akan keilmuan yang Ki Akmaludin miliki dan atas izin Allah jua Ki Akmaludin tunjukkan kepada kakaknya dengan maksud agar kakaknya mau kembali ke jalan yang benar, lurus serta diridhoi oleh Sang Pencipta, Pemilik dari segalanya Allah SWT. Maka atas kejadian tersebut lahirlah sebuah nama yang sekarang diriku lahir, besar dan tinggal didalamnya Kampoeng Sidapoerna…( Diambil dari Ringkasan Sejarah/Legenda Asal-Usul Kampung Sidapurna, yang disusun oleh Moch.Aminuddin Sadali )

dijukut sing http://sidapoernation.blogspot.com/ kesuwun, Kang..!

Ujunggebang, Susukan, Cirebon

Nama “Ujunggebang” karena letak desa ini berada pada ujung pertemuan tiga kabupaten: Cirebon, Indramayu (di utara), dan Kabupaten Majalengka (di sebelah selatan), menurut Kyai Idris.

Salah satu keunikan masjid Ujunggebang tidak memiliki Bedug, seperti masjid yang lain, konon katanya, dulu masjid Ujunggebang pernah memiliki bedug, tapi ketika bedug itu di bunyikan buaya-buaya dari kali rentang mendatangi masjid itu, dan semua warga dea Ujunggebang terserang penyakit, sehingga banyak yang meninggal, Dan konon katanya bedug tersebut sering berbunyi sendiri, lalu bedug itu di kubur di suatu tempat yang sekarang di namakan sibeduk.

Tempat wisata lokal

  • Situs Balong Indah
  • Situs Nyibuyut
  • Situs Nyiwaja
  • Petapan
  • Situs Kipenggung
  • Situs Kitambak
  • Situs Kibogo
  • Situs Kalen Sepuluh
  • Sibedug
  • Janggleng

dijukut sing http://id.wikipedia.org/ kesuwun Kang…!

Obrog

TD Sudjana, budayawan pengamat masalah tradisi Cirebonan, menyatakan, seni obrok-obrok tidak memiliki akar sejarah yang berkait dengan tradisi Islam di masa silam. Tampaknya itu hanya merupakan gerakan spontanitas masyarakat, dalam ikut membantu ibadah puasa.

Meskipun demikian, sejak sebelum zaman kemerdekaan embrio seni obrok-obrok sudah ada. “Dulu pada zaman Belanda, obrok-obrok menggunakan alat kentongan yang ditabuh beberapa orang. Setiap bulan Puasa, obrok kentongan ini keliling desa, bahkan sampai jauh ke berbagai desa dan jalannya gelap waktu itu, karena belum ada listrik. Makanya jalannya terkadang cepat sekali, takut dalam kegelapan kalau saja ada hewan galak atau harimau misalnya,” kata Sudjana.

Pemerintah Belanda, menurut TD Sudjana, tidak melarang kegiatan ini. “Belanda tidak curiga terhadap kegiatan penggugah makan sahur ini. Mereka dibiarkan meskipun ketemu dengan tentara Belanda misalnya,” kata Sudjana.

Perkembangan obrok-obrok makin kentara, terlihat setelah perang kemerdekaan. Terutama alat-alat musiknya, di samping kentongan ditambah dengan rebana. “Dari jauh kedengarannya seperti suara obrok, obrok, obrok, makanya dinamai seni obrok-obrok,” tegasnya.

Satu hal yang dicatat oleh TD Sudjana, dalam perkembangan seni obrok-obrok ini adalah penampilan tokoh banci, lelaki yang menggunakan kebaya wanita. Menurut dia, itu bukan sekadar lelucon, tetapi juga penggambaran kenangan masa si-
lam, seputar abad XVI-XVII. Ketika Cirebon sempat dikuasai Sultan Agung dari Mataram, banyak orang Cirebon yang dijadikan telik sandi (intelijen), untuk mematai-matai Belanda saat Sultan Agung hendak menyerang Batavia.

“Para telik sandi itu biasanya menyamar sebagai wanita, dan pura-pura ngamen. Inilah yang ditiru obrok-obrok sampai sekarang. Meskipun saat ini lelaki banci ini menjadi tontonan yang segar dan lucu bagi masyarakat, seni obrok-obrok setidaknya telah mencatat sebuah sejarah tentang keberadaan intelijen di masa silam,” kata Sudjana.

Bukan itu saja, perkembangan seni obrok-obrok kini juga memulai penggarapan seni yang sifatnya tidak spontanitas. Banyak seni obrok-obrok yang mulai “memperkaya diri”. Peralatannya tidak seadanya, tetapi berusaha memiliki peralatan seperti gitar elektronik dan sistem pengeras suara yang lebih memadai. Mengarang lagu sendiri dengan bahasa khas Cirebon juga dilakukan kelompok obrok-obrok.

Mungkinkah obrok-obrok juga akan berkembang pesat, seperti seni tarling yang sudah menjadi kemasan paket di hotel berbintang, atau kasetnya sempat mengisi belantika musik Indonesia? “Kami berharap begitu, sebab grup obrok-obrok kami pernah diundang sebuah hotel berbintang di Cirebon,” harap Pramhudi. Kalau begitu, ada harapan. (***)

dicuplik sebagian sing http://webcache.googleusercontent.com/ kesuwun Kang…

Muludan Trusmi

Muludan Trusmi merupakan rangkaian dari acara tradisi Muludan Cirebon yang dimulai dari Keraton Kanoman ( 1-8 Mulud ), Keraton Kasepuhan ( 1-12 Mulud ) Gunung Jati ( 12 Mulud ), Tuk ( 19 Mulud ), Gegesik ( 21 Mulud ) dan terkhir Trusmi ( 12-25 Mulud ). Muludan Trusmi terbesar kedua setelah Keraton Kasepuhan.Hal ini terlihat dari jumlah pedagang dan pengunjung yang membanjiri acara ini. Rentetan pedagang dan hiburan berjajar sepanjang jalan desa Trusmi Wetan, Trusmi Kulon, Weru Lor dan Kaliwulu.

Terlihat penuh sesak karena jalanan Trusmi hanya satu arah sehingga pengunjung harus rela berdesak-desakan. Lain halnya dengan jalanan di Kasepuhan yang pararel membuat banyak pilihan untuk membagi keramaian.

Puncak ritual Muludan Trusmi pada tanggal 25 Mulud. Ritual dimulai setelah sholat Isya dengan jalannya iring-iringan jimat dan tumpeng dari rumah Sep ( sebutan untuk kedudukan tertinggi pengurus keramat Trusmi ) K.H. Ahmad Abdurrahin. Iringan tersebut menuju ke komplek keramat Buyut Trusmi dan masuk ke dalam masjid keramat Baiturrahman. Di dalam masjid ratusan orang menyambutnya dengan pembacaan Maulid Al Barjanzi dan diakhiri dengan doa dan ceramah oleh Sep.

Untuk lebih detail tentang Muludan Trusmi dapat dibaca disini. Saya akan menuliskan sisi lain dari Muludan Trusmi yang mungkin belum pernah ditulis oleh orang lain.

  • Muludan Trusmi merupakan berkah bagi masyarakat Trusmi dan sekitarnya karena mereka dapat menyewakan lahan untuk pedagang. Dari sewa lahan ini mereka dapat membayar tagihan listrik selama setahun atau membeli sepeda motor baru, atau biaya umroh ( lumayan besar ya… )
  • Sebagian pemilik lahan merelakan lahannya untuk pedagang, tidak memungut biaya sesenpun dengan alasan untuk melestarikan tradisi Trusmi atau kasihan terhadap pedagang. Semoga pedagang beruntung mendapatkan lahan dari pemilik yang baik ini.
  • Selama Muludan Trusmi pemilik showroom Trusmi harus istirahat karena showroom mereka tertutup oleh pedangan. Mereka harus merelakan omset puluhan juta ( mesti ikhlas dong ). Tapi tahun ini dua showroom besar Nofa dan Asofa mengadakan bazar cuci gudang. Sebelumnya Sinar Gunung Jati menjadi pioner dalam bazaar tersebut.
  • Puncak ritual berlangsung ricuh, tidak tertib. Hal tersebut karena banyaknya pejiarah yang berebut nasi kuning pada waktu acara pembacaan Maulid Al Barjanzi. Pejiarah laki-laki dan perempuan bercampur dalam masjid untuk memperebutkan nasi kuning yang dianggap sebagai berkah untuk tujuan yang berbeda. Padahal acara tersebut utuk laki-laki dan perempuan hanya menyimak diluar masjid.
  • Puncak acara mulai poluler setelah adanya iring-iringan jimat dan tumpeng dari rumah sep. Sebelumnya hanya segelintir orang ( lima puluhan orang ) yang mengetahui acara pembacaan Maulid Barjanzi. Tapi semakin popular semakin ricuh karena tidak adanya tindakan penertiban oleh pengurus.

dijukut sing http://wongtrusmi.blogspot.com/ kesuwun, Kang atawa Yayu…

Musik Cirebon, dari Tradisi Hingga Pop

MUSIK yang hanya digelar setahun sekali pada awal Rabiul Awal ini
dikenal dengan nama “gong sekati”. Satu rentetan musik yang terdiri
atas gamelan Jawa (Cirebon) yang hanya ada di Keraton Kanoman. “Gong sekati” merupakan ucapan lidah lokal Cirebon yang berarti gong
syahadatain. Istilah sekaten juga ada di Keraton Yogya dan Surakarta
yang digelar pada saat Grebeg Mulud. Lagunya sederhana “Bango Butak”
yang mirip iringan gamelan renteng penyambut tamu agung.

Kisah dari mulut ke mulut menyebutkan, gamelan inilah yang konon mampu membuat masyarakat Cirebon pra-Islam tergetar hatinya saat
mendengarkan irama lagu tersebut. Pada saat gong dibunyikan, maka atas anjuran Sunan Kalijaga untuk membaca dua kalimat syahadat. Saat itulah istilah syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat diucapkan
menjadi sekati. Terkenalah kemudian nama “gong sekati.”

Waditra yang terdapat dalam gamelan sakati Cirebon adalah bonang,
saron, beduk, cekebres, goong, kemanak, dan kebluk. Penclon bonang
diletakkan sederet dalam dua ancak. Ancak kadang-kadang diletakkan
memanjang atau menyambung di antara keduanya, tetapi kadang-kadang
diletakkan berdampingan sehingga nayaga (penabuh) duduk secara
berhadapan. Lagu gamelan sakati Cirebon di antaranya lagu “Rambon”,
“Sekaten”, dan “Bango Butak”. Lagu-lagu gamelan sakati menurut tradisi
dibuat oleh Sunan Kalijaga (http://e-travelplan.com.)

Abad ke-14 dan ke-15 oleh masyarakat Cirebon dianggap sebagai abad
pencerahan. Alasannya, pada kedua abad tersebut terjadi perubahan
keyakinan secara besar-besaran. Dari anutan agama Hindu, Buddha, dan
kepercayaan lokal lainnya yang ada beralih kepada ajaran baru saat
itu, yakni Islam.

Momen ini yang kemudian menjadi tonggak perubahan dalam segala
tatanan, baik dari keyakinan maupun produk kebudayaan termasuk seni
musik, tari, rupa, dan vokal. Gamelan atau tabuhan yang digunakan para
sunan itu pun kemudian dijadikan induk dan berkembang menjadi berbagai
seni pertunjukan, baik musik, vokal, maupun sastra. Gamelan sekaten
dianggap masyarakat Cirebon sebagai gamelan induk yang menjadi patokan
ritme bagi gamelan-gamelan lainnya.

Gamelan renteng

Pada seni musik, gamelan sekaten memberikan ilham terhadap seniman
saat itu untuk membangun sebuah gamelan pengiring penerima tamu agung.
Gamelan itu dikenal sebagai “gamelan renteng”. Catatan Dinas
Pariwisata Daerah Kabupaten Cirebon (1992/1993) menyebutkan, gamelan
ini pemberian dari Mataram untuk Cirebon, dibawa Ki Ageng Gamel Syekh
Windu Aji pada masa Sunan Gunung Jati. Gamelan renteng disebut juga
“gamelan dawa”. Berasal dari dakwah, yang berarti gamelan tersebut
sebagai alat dakwah.

Pada masa berikutnya, gamelan renteng merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan dengan pergelaran jaran lumping. Jaran lumping dalam
khazanah kesenian Cirebon berbeda dengan jaran kepang yang biasa
dimainkan pada masa kini. “Jaran lumping” hanya membawakan tarian
tanpa mempertunjukan atraksi makan beling, rumput, dan atraksi
lainnya.

Gamelan renteng yang dianggap sebagai karawitan keraton menyatu dengan
jaran lumping yang merupakan kesenian rakyat. Seperti pada musik
tradisi Jawa Tengah (Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, 2002) secara
garis besar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yakni musik
tradisi keraton dan musik tradisi rakyat.

Musik tradisi Cirebon pun tampaknya tak berbeda dengan musik-musik
tradisi lainnya di Jawa. Karena memang Jawa merupakan pusat kebudayaan
yang mampu memberikan pengaruh terhadap musik-musik tradisi lainnya.
Pada gamelan sekati misalnya, gamelan ini dianggap sebagai hak paten
keraton, baik Kanoman maupun Kasepuhan. Sementara gamelan renteng dan
jaran lumpingnya merupakan musik dan tarian tradisi yang dipelihara
rakyat.

Angklung Bungko

Sebenarnya musik ini merupakan musik dan tarian perang (baca: tawuran)
antarwarga desa pada masa awal Islam. Bungko merupakan sebuah desa
yang terletak di pinggir pantai. Sebagian besar masyarakatnya bermata
pencarian sebagai nelayan. Dari desa itulah “angklung bungko” lahir.
Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini adalah angklung.
Bentuknya hampir sama dengan angklung Sunda masa kini.

Pada awalnya merupakan musik ritmis dengan menggunakan media kentongan
(kohkol) yang terbuat dari potongan ruas bambu. Angklung bungko
diperkirakan lahir menjelang abad ke-17 setelah wafatnya Sunan Gunung
Jati. Diduga, kesenian ini lahir secara kolektif. Tercipta atas dasar
luapan emosi kegembiraan setelah mereka memenangkan perang (tawuran)
melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan). “Tawuran” sebagai
akibat perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip ajaran Islam yang
diajarkan Sunan Gunung Jati. Karena itu gerakan-gerakan tari angklung
bungko lebih merupakan dari penggambaran peperangan saat mereka
mematahkan serangan Pangeran Pekik.

Ada empat tarian dalam angklung bungko, antara lain 1. Panji,
menggambarkan sikap berzikir. 2. Benteleye, menggambarkan sikap
bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan. 3. Bebek ngoyor,
menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan. 4. Ayam
alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran pemilih.

Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan
banyak jasa semasa hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan
masyarakat bungko. Karena itu untuk mengenang jasa-jasa leluhurnya,
mereka mengimplementasikannya dalam upacara ritual adat yang dikenal
dengan ngunjung.

Terbang brai & rudat

Terbang atau trebang sebenarnya merupakan bentuk tabuhan semacam
genjring. Sedangkan brai berasal kata dari “birahi” yang berarti
kasmaran atau jatuh cinta. Namun berahi di sini sebagai “berahi”
kepada Allah atau lazim dikatakan “Brai maring Pengeran” (cinta kepada
Allah).

Dari berbagai catatan yang ada, seni brai diperkirakan telah dikenal
sejak abad ke-13 sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon. Diceritakan,
berawal dari tiga pemuda Timur Tengah bernama Sayid Abdillah,
Abdurrakhman, dan Abdurrakhim diperintahkan orang tuanya mencari
seorang bernama Syekh Nur Jati di Tanah Jawa (Cirebon) untuk berguru
dan memperdalam ajaran Islam. Selama dalam perjalanan itulah mereka
menyenandungkan syair-syair mengenai keagungan Allah dan rasul-Nya,
Muhamad saw. Mendengar irama itu, masyarakat yang belum mengenal Islam
berbondong-bondong mengikuti tiga pemuda tampan itu dari belakang
hingga ke Gunung Ampara Jati pimpinan Syekh Nur Jati (Disbudpar Kota
Cirebon, 2006). Brai digelarkan biasanya pada malam Jumat atau pada
acara-acara tertentu, seperti mitung wulan, puputan, dan acara-acara
lain yang berkaitan dengan syukuran.

Penggunaan genjring sebagai alat tabuh dilakukan juga pada seni rudat.
Bedanya irama genjring rudat lebih keras, bergairah, dan beraturan.
Sedangkan pada brai, genjring ditabuh dengan sangat lembut dengan
diselingi syair-syair keagungan dan ketauhidan. Seni rudat lebih
menekankan pada irama yang keras dan diiringi selawat nabi serta
tarian pencak silat.

Abtadi-ul imlaa-a bismidzdzatil ‘aliyah (Aku memulai menulis – kisah
maulid Nabi Muhammad saw. – ini dengan menyebut nama Allah Zat Yang
Mahamulia). Begitulah mereka mengucapkan sebait syair yang ditulis
Syaikh Ja’far Al Barzanjie sebagai awal dari lagu-lagu rudat yang akan
mereka mainkan. Sudah tentu syair itu diucapkan sebelumnya mereka
membaca basmallah.

Syair-syair karya Al Barzanjie memang telah lama menjadi pilihan kaum
santri di pinggiran jalur pantura dalam memuja-muji Allah SWT dan
memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Mereka melagukannya di
masjid-masjid, musala, dan rumah-rumah pada hari-hari tertentu. Mereka
terus berupaya mengenang Rasulullah Muhammad melalui syair-syair
tersebut.

Pada saat upacara tradisional mitung wulan (tujuh bulan), puputan,
khitanan, nyukur (mencukur) rambut jabang bayi yang telah berumur 40
hari atau pada saat-saat sukacita sebagai rasa syukur dan penghormatan
terhadap Rasulullah, genjring rudat dimainkan. Beberapa lagu cuplikan
dari syair Al Barzanjie yang paling populer, di antaranya Al
Muqoddamili dan Al Musaf fa ufil waroo.

Rudat yang diduga berasal kata dari iradat merupakan salah satu sifat
Allah Yang Mahaagung, berarti berkehendak. Kehendak Tuhan Yang
Mahabenar itulah yang ditafsirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw.
ke muka bumi sebagai rahmatan lil’alamiin. Rudat kemudian menjadi
bentuk kesenian tradisional di Cirebon.

Pada awalnya rudat hanya dimainkan dalam kelompok kecil yang terdiri
dari lima hingga sepuluh orang. Mereka bermain di masjid dan
surau-surau. Dari tempat ini, dakwah Islamiyah dikembangkan sebab dari
syair-syair yang dinyanyikan seluruhnya berisi ajaran untuk menyembah
Allah Yang Maha Tunggal dan meneladani Rasulullah.

Bentuk seni lain yang serupa, tapi tak sama adalah gembyung. Iramanya
lebih halus, demikian pula lagu-lagu yang dibawakannya terasa sangat
lembut. Namun, baik rudat, brai, maupun gembyung pada dasarnya
memiliki nilai dasar seni yang sama, yakni melagukan selawat nabi.

Pada seputar tahun 1960-an, seni rudat mengalami kejayaannya. Bahkan,
kemudian dimodifikasi dengan atraksi-atraksi akrobat yang diramu
dengan debus. Kesenian ini pun sempat berganti nama menjadi genjring
akrobat.

Marhaban yaa marhaban yaa marhaban, marhaban jaddal husaini marhaban.
Yaa nabii salaam ‘alaiika yaa rasuul salaam ‘alaika. Yaa habiib salaam
‘alaika shalawaatullaah ‘alaika. Asyraqal badru’alainaa fakhtafat
minhul buduruu. “Selamat datang, selamat datang wahai kakek Hasan dan
Husein, selamat datang. Wahai Nabi, semoga kesejahteraan selalu
melimpah kepadamu. Wahai Rasul, semoga kesejahteraan selalu melimpah
kepadamu. Wahai kekasih, semoga kesejahteraan selalu melimpah
kepadamu. Semoga rahmat Allah selalu tercurah kepadamu. Telah terbit
bulan purnama kepada kita, maka bersembunyi dan suramlah semua bulan
dibandingkan bulan purnama itu….”

Kitab Barzanjie memang memiliki makna tersendiri bagi kaum santri
“pinggiran” di sepanjang jalur pantura. Karya sastra terkemuka di
Timur Tengah pada seputar abad ke-12 itu telah menjadi bagian
kehidupan sastra lisan mereka.

Tarling

Kesenian yang satu ini merupakan puncak kreativitas seniman Cirebon
dalam merombak tradisi gamelan menjadi gitar dan suling. Tarling lahir
diperkirakan sejak masa pos-kemerdekaan, yakni sekitar tahun 1945-an.
Semula kesenian ini merupakan bagian dari kesenian pribadi untuk
merayu gadis atau janda pada masa itu. Lagu-lagu yang dibawakannya
bersifat improvitaris, seadanya, dan seketemunya. Pada periode
berikutnya tarling digubah dalam bentuk “kiseran” (balada). Muncullah
opera rakyat Cirebon. Salah satu kiser terkenal, di antaranya “Kiser
Saidah Saini” berikutnya “Kiser Baridin dan Ratminah” Berbarengan
dengan itu tarling terus mengalami perubahan dalam perjalanannya.

Tahun 1965, Kepala RRI Cirebon saat itu Fajar Madraji memberi cap
tarling sebagai “Melodi Kota Udang.” Sejak saat itulah tarling
mengalami masa keemasannya, setelah munculnya dua tokoh terkemuka H.
Abdul Adjib dan Soenarto Martaatmadja. Dari sini fenomena PoP (protest
of people) terjadi. Berbeda dengan masa kiseran yang mengandalkan
improvisasi dari para pemainnya dan tidak memiliki durasi yang pasti,
maka pada era Melodi Kota Udang, lagu-lagu tarling ditentukan
durasinya karena bukan hanya untuk kepentingan panggung, tetapi juga
industri rekaman. Salah satu contoh lagu tarling “Melati Segagang”
ciptaan Soenarto Martaatmadja ”

Melati segagang, cukul ning pekarangan,
Mambune rum mawangi, langka sing duweni.

Ketika mulai memasuki dunia rekaman, tarling pun tergoda untuk
melakukan kolaborasi dengan dangdut, musik pop, dan bahkan rock. Saat
ini tarling mulai kehilangan rohnya, yang ada adalah “dangdut
Cerbonan”. Kalangan seniman tarling, seperti H. Abdul Adjib dan
Soenarto tak rela lagu-lagu semacam itu disebut “tarling dangdut”,
yang benar benar adalah “dangdut Cerbonan”. Tak ada dangdut dalam
tarling,” kata mereka. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Lembaga
Basa lan Sastra Cerbon)***

dijukut sing : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/ kesuwun Kang…

Titik Kemacetan Di Cirebon Saat Lebaran

Seperti tahun-tahun sebelumnya Kabupaten Cirebon adalah jalur tersibuk dan terpadat di masa arus mudik dan balik lebaran. Hal ini dikarenakan Kabupaten Cirebon adalah perbatasan wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah di jalur pantura.

Baca selengkapnya…

Bacakan (Pesta Giling Tebu)

Bacakan sangat ditunggu-tunggu kedatangannya oleh anak-anak, walaupun kadang-kadang membuat para orang tua terbebani untuk menyediakan anggaran lebih (budget) untuk menyambut bacakan dalam rangka melaksanakan permintaan anak-anaknya.

Bacakan paling ditonggoni ding bocah-bocah cilik, kadang-kadang gawe wong tua dadi kebebani mumet kudu nyedia-aken duit go nuruti pengenan bocah-bocahe.

Bacakan atau bancakan adalah acara pesta giling hampir sama dengan karnaval, yang diselenggarakan oleh pabrik gula (dulu Tersana Baru) Rajawali di Desa Babakan. Pesta ini diadakan sebagai tanda dimulainya kegiatan penggilingan tebu di pabrik gula serta dalam rangka syukuran panen tebu.

Bacakan atau bacakan pesta giling pada karo acara karnaval sing diselenggaraaken ding pabrik gula tersana baru (sakien PT. Rajawali) ning desa babakan. Pesta kie di-ana-aken go tanda mulaine penggilingan tebu karo syukuran hasil panen tebu sing sukses.

Bacakan diramaikan dengan pasar dan hiburan-hiburan. Pasar terdiri atas para pedagang mainan, panganan dan sandang kebutuhan sehari-hari yang jarang ditemukan pada hari biasa, diantaranya

Bacakan ramene ding pasar karo hiburan. Pasare ana sing dagang dolanan, panganan, klambi kebutuhan sedina-dina sing jarang ana ning dina biasa, yaiku:

A. Pasar

1) mainan : boneka, perahu, pistol air, motor2an dari kaleng (yang diputar dengan benang) dll.

2) panganan dan minuman: jajanan martabak ‘Teluk bayur’, tahu petis, bakso ‘rudal’, mie ayam, buah-buahan, temulawak dll.

3) sandang : sepatu ‘sanutra sport’, kaos gaul, jaket, jeans dll.

4) Tukang obat dengan atraksi sulapnya yang membuat anak-anak dan orang dewasa tercengang

B. Hiburan

1) Tong setan , yaitu rumah-rumahan yang berisi hantu-hantu yang menyeramkan untuk menakut-nakuti pengunjung

2) Atraksi motor trail berputar-putar di dalam bola raksasa

3) Komidi putar, dengan kuda-kudaannya

4) Ombak banyu

5) Korsel dll.

Para pedagang dan pemilik hiburan yang berpartisipasi adalah penduduk asli dan pendatang berasal dari Padang, Brebes, Losari, Kota Cirebon dll.

Tukang dagange ana sing penduduk asli karo pendatang sing asale daerah Padang, Brebes, Losari, cirebon dll.

Acara puncak pesta ini adalah adanya arak-arakan “pengantin tebu” yaitu sebagai simbol bibit tebu. Pada acara puncak sepanjang jalan raya babakan yaitu dari daerah Karanganyar (perumahan pegawai pabrik gula) sampai dengan perempatan Balai Desa Babakan (alun-alun) menjadi macet total, sehingga mobil-mobil elf dan kendaraan lain dari arah utara dibelokkan (perempatan SMAN 1 Babakan) ke kanan ke Desa Dompyong menuju Desa Serang/Gembongan yang kemudian akan bertemu lagi di Jalan Raya Babakan pada perempatan Balai Desa Babakan (alun-alun Babakan).

Acara puncake ana pawai penganten tebu sing dadi lambang bibit tebu. Lamon acara puncak dalan Babakan dadi macet sing mulai Karanganyar sampe prapatan bale desa Babakan. Mobil elf karo kendaraan sejene sing lor dibelokaken ning dompyong (prapatan SMAN Ciledug/sakien SMAN 1 Babakan) sing akhire ketemu maning dalan Babakan ning prapatan bale Desa Babakan)

Biasanya anak-anak sekolah (termasuk saya) bahkan ada beberapa pasangan ‘pacaran’ lebih baik berjalan kaki ke/dari sekolah, sambil menikmati keramaian pesta tersebut dengan sekali-sekali mampir ke penjual jajanan dan minuman.

Biasane bocah sekola (termasuk aku) karo sing pada demenan mangkat/balik sekola pada mlaku-mlaku karo nikmati ramene bacakan sekali-sekali mampir tuku jajan karo minuman.

Acara ini banyak memberi berkah baik bagi pendatang yang berjualan maupun pedagang penduduk asli serta para tukang parkir (taro motor dan sepeda). Namun ada beberapa kejadian tidak mengenakkan sering terjadi yaitu adanya tawuran antar pemuda desa dan pelajar ini mungkin akibat adanya pertemuan para pemuda dan pelajar yang memusat di sekitar jalan raya Babakan.

Acara kie akeh nein berkah ning pedagang karo tukang parkir (taro motor & sepeda). Kadang-kadang ana kejadian sing blenaki yaiku bocah-bocah ‘nom karo bocak skola sok pada gulet soale pada ketemu ning kene.

Mudah-mudahan acara ini tetap dilestarikan. Mungkin kalau dikelola dengan serius dapat dijadikan sebagai objek wisata di wilayah Cirebon Timur.

Muga-muga acara kie tetap dilestari-na. Apamaning lamun diurus serius bisa dadi objek wisata ning wilayah Cirebon wetan.

Demikian kenangan saya pada saat bacakan, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam informasi yang disampaikan. terima kasih sudah membaca. Ditunggu komentar dan pelurusan apabila ada yang bengkok.

dijukut sing http://sman1babakan.site40.net/ kesuwun Kang…

Desa di Kabupaten Cirebon

 Abjad A

       Adidharma, Cirebon Utara, Cirebon

       Ambit, Waled, Cirebon

       Ambulu, Losari, Cirebon

       Arjawinangun, Arjawinangun, Cirebon

       Asem, Lemahabang, Cirebon

       Astana, Cirebon Utara, Cirebon

       Astanajapura, Astanajapura, Cirebon

       Astanalanggar, Losari, Cirebon

       Astanamukti, Pangenan, Cirebon

       Astapada, Tengahtani, Cirebon

dijukut sing http://id.wikipedia.org kesuwun, Kang…

Jaman Bengiyen

Foto-foto lawas kanggo kenangan, dijukut sing berbagai sumber…

Kraton Kanoeman, Cheribon, West-Java. Poerapoort van rode gebakken steen met ingemetselde gewitte porseleinen bordjes, Circa 1925. [Kraton Kanoeman, Cirebon, Jawa Barat. Poerapoort dari batu bata merah dengan piring porselen putih berdinding, Sekitar 1925 ].

Suikerfabriek Nieuw-Tersana ten zuidoosten van Cheribon [ Pabrik gula-Tersana Baru Cirebon Tenggara ]

Suikerfabriek Karang-soewoeng ten zuidoosten van Cheribon [ Pabrik gula Karang Suwung, Cirebon Tenggara ]

dijukut sing http://dmadjmoe.blogspot.com/ kesuwun Kang…!

Motif-Motif Batik Cirebon

Batik trusmi memiliki ciri khas yang membedakan dengan batik lainnya. Ragam motif batik trusmi tidak terlepas dari sejarah pembuatannya. Misalnya percampuran kepercayaan, seni dan budaya yang dibawa etnis dan bangsa pada masa lampau. Seperti diketahui, pada abad ke-20, Cirebon merupakan pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari China maupun Timur Tengah.

Motif batik trusmi yang merupakan proses percampuran antara  budaya, kepercayaan, dan etnik adalah motif paksinaga liman dan motif singa barong, yang merupakan dua kereta Kerajaan Cirebon: Kesepuhan dan Kanoman. Replika bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi nagaliman merupakan wujud perpaduan budaya China, Arab, dan Hindu.

Dua corak batik trusmi menjadi ikon batik nasional, yaitu motif keratonan dan motif pesisiran. Motif keratonan biasanya menggunakan bentuk yang diambil dari lingkungan keraton, seperti Taman Arum Sunyaragi, Kereta Singa Barong, Naga Seba, ayam alas, dan wadas. Warna yang digunakan pada batik ini cenderung gelap, seperti cokelat dan hitam.

Motif keraton terbagi dalam dua jenis. Pertama, yang biasa dipergunakan punggawa atau abdi dalem. Jenis motif batik untuk punggawa kuat dan besar. Kedua, yang biasa dipergunakan kalangan ningrat. Ragam hiasnya halus dan kecil. Warna-warna batik keraton asli Cirebon umumnya sogan, hitam, biru tua, dan kuning.

Adapun motif pesisiran biasanya memiliki ciri gambar lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter. Misalnya gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat, seperti dedaunan, pohon, dan binatang laut. Warna pada motif pesisiran cenderung terang, seperti merah muda, biru laut, dan hijau pupus.

Penciptaan terhadap motif batik trusmi memiliki latar historis yang kuat. Motif yang dibuat adalah simbol dari apa yang dikehendaki atau menceritakan latar sosial tertentu. Misalnya jenis motif pusar bumi, yang menggambarkan sebuah lubang di puncak Gunung Jati, tempat pemuka agama Islam bermusyawarah, atau batik ayam alas gunung yang menjadi perlambang penyiaran dan penyebaran agama Islam dari bukit Gunung Jati.

Batik taman arum sunyaragi melambangkan sebuah taman yang harum, tempat para raja bersemadi untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta. Kebudayaan China yang mengilhami motif batik trusmi disebut dengan batik piring dan piring selampad. Ini berasal dari susunan piring porselen China yang dipakai sebagai hiasan dinding Astana Gunung Jati dan keraton.

Sedangkan motif bergaya China ini merupakan pengaruh akumulasi selera juragan-juragan batik keturunan China waktu itu. Batik produk juragan China ini umumnya berwarna merah, biru, hijau, dan putih. Itu menjadi warna khas batik pesisir.

Besarnya pengaruh budaya dan kepercayaan pada motif batik, di antaranya ada yang terasa begitu kental dengan kepercayaan berbau mistik. Sebut saja nama batik kapal keruk, yang menurut kepercayaan, sangat baik dipakai mereka yang ingin menambah dan menggali ilmu.
Lain halnya dengan batik kapal kandas, yang konon sebaiknya dipakai oleh orang yang sudah matang dan dewasa dalam segalanya dan tangguh menghadapi liku-liku kehidupan dalam menggapai maksud tujuan.

dijukut sing http://www1.kompas.com/ kesuwun Kang