Archive for Juli, 2010

Desa Sampiran, Desa Pemecah Batu di Cirebon

Desa Sampiran, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon sebagai desa yang hampir semua warganya bekerja sebagai pemecah batu. Tapi anehnya yang bekerja sebagai pemecah batu Justru banyak dilakukan oleh kaum perempuan di desa tersebut.

Sebagai pekerjaan yang tergolong kasar tetapi tetap dilakukan para wanita di Desa Sampiran, karena kaum perempuan di desa tersebut bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Hal ini juga dirasakan oleh Nunung, salah seorang pekerja pemecah batu di desa tersebut.

 Awalnya Nunung bekerja sebagai pemecah batu karena untuk membantu ekonomi keluarganya, dengan penghasilan suaminya sebagai buruh serabutan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Biasanya Nunung bisa menghasilkan 4 sampai 5 rinjing batu yang sudah dipecah dalam per hari dengan harga jual perinjing Rp2000. Itupun hasilnya dibagi dua untuk yang punya batu Rp1000, dan untuk yang memecah batu Rp1000.

Para pekerja pemecah batu biasanya mendapat batu yang akan di pecah dari juragan batu itu pun bila ada pesanan dari matrial, batu-batu yang sudah dipecah biasa diangkut dengan truk 2 sampai 3 hari sekali bila sudah ada pesanan.

Ternyata peran seorang wanita di Desa Sampiran begitu besar bagi kehidupan ekonomi keluarga dan masyarakat di desa tersebut. Tidak heran kalau Desa Sampiran Cirebon, desa pemecah batu karena sebagian besar masyarakatnya kerja sebagai pemecah batu. (BC-07)

dijukut sing http://labtani.wordpress.com/ kesuwun Kang…

Desa Kudumulya, Babakan, Cirebon

Desa Kudumulya yang terletak di kabupaten Cirebon ini memiliki jumlah populasi sebanyak 3244 jiwa. Keseluruhan masyarakat Kudumulya merupakan etnis Jawa, walaupun Cirebon sendiri berada di wilayah Jawa Barat akan tetapi masyarakat sendiri mengidentifikasikan dirinya bukan sebagai etnis Sunda. Hal ini diperkuat dengan bahasa mayoritas mereka gunakan yaitu bahasa Jawa, akan tetapi terdapat sebagian masyarakat yang mengerti dan menggunakan bahasa Sunda.

Karakteristik masyarakat desa ini cenderung mengenal satu dengan yang lain. Selain itu tidak jarang kita melihat, kegiatan anak-anak sampai orangtua yang berbincang-bincang secara berkelompok baik sore maupun malam di pinggir jalan dengan jarak berdekatan dengan kelompok lainnya. Hal tersebut menunjukan kuatnya ikatan kekeluargaan pada diri mereka sehingga terdapat waktu luang untuk berbagi pengalaman maupun cerita bersama tetangga maupun kerabat mereka.

Ekonomi memang sesuatu yang biasa diukur dalam suatu keberhasilan suatu daerah, dan hal itu juga yang akan menjadi salah satu indeks keberhasilan desa Kudumulya dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya. Ada dua sisi yang dibahas disini, pertama bagaimana mereka bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dan melihat standar hidup mereka.

Desa kudumulya merupakan desa dengan padat pemukiman, dan sisanya diperuntukan untuk lahan pertanian. Banyak dari warga desanya bekerja pada bidang pertanian. Namun mirisnya mereka harus bekerja pada tanah mereka sendiri dengan upah yang terhitung kecil. Ada 2 tipe petani di sini Farmer dan peasant. Farmer adalah petani yang memiliki lahan untuk bercocok tanam dan biasanya mereka mempekerjakan banyak pekerja untuk bekerja di lahannya. Peasant adalah petani yang tidak memiliki lahan mereka hanya mengandalkan tenaga dan peralatan pribadi untuk bekerja di lahan milik farmer dengan kata lain mereka adalah buruh tani.

Di Desa Kudumulya mayoritas berperan sebagai peasant, dan sisanya farmer menyewakan lahan miliknya kepada pihak asing yang lebih banyak memiliki modal. Lahan di desa Kudumulya didominasi oleh penanaman padi, tebu dan beberapa bawang merah dan jagung manis.

Standar hidup di Desa Kudumulya tergolong menengah kebawah. Banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu didasarkan dari beberapa faktor seperti pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang masih menjadi masalah utama pada sebagian besar penduduk Desa Kudumulya. Angkatan kerja produktif yang ada di desa ini mayoritas menjadi buruh tani sedangkan perempuan angkatan produktif di desa ini sebagian besar menjadi pekerja di luar negeri (TKI) di Malaysia, Hongkong, Arab maupun Singapura.

Jika kita menilik tingkat pendidikan formal di Desa Kudumulya, tingkat pendidikan desa ini masih tergolong sangat rendah, baik kesadarannya maupun kemauan warga Desa Kudumulya itu sendiri. Hal ini disebabkan sedikitnya minat atau tingkat partisipasi program pemerintah yang terhambat dalam menggalakkan program Wajib Belajar 9 tahun. Dapat kita lihat dari data-data yang telah dilampirkan sebelumnya, yakni hanya sekitar kurang dari 40% warga Desa Kudumulya saja yang pernah mengecap bangku pendidikan. Kemudian rendahnya kemauan para masyarakatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan fasilitas pendidikan di Desa Kudumulya yang masih tergolong sangat memperihatinkan, terhitung hanya terdapat satu SD dan satu tempat pendidikan agama yang terdapat disana yaitu madrasah. Selain itu rendahnya tingkat ekonomi masyarakatnya serta pola pikir yang menganggap bahwa tanpa sekolah pun mereka bisa menghasilkan uang, karena mayoritas pekerjaan mereka adalah bertani.

Kesadaran tentang hidup sehat bisa dikatakan sudah cukup baik, dapat dilihat dari sarana dan prasarana yang sudah mencukupi di desa. Keberadaan puskesdes dan 4 posyandu menjadi sarana untuk warga desa dalam menjalankan kegiatan yang diperuntukan untuk kepedulian terhadap kesehatan warganya. Namun hal itu tidak bisa menjadi acuan dasar tentang kesehatan di Desa Kudumulya. Satu hal yang dapat menjadi sorotan utama di Desa Kudumulya adalah sanitasi. Tidak terdapatnya tong sampah yang dapat menampung sampah rumah tangga dan juga tidak terdapatnya TPS menyebabkan warga tidak memiliki sarana untuk menjaga lingkungannya sendiri. Bisa kita tebak selanjutnya sampah bertebaran dimana-mana, menumpuk dan menggenangi saluran air. Dalam kurun satu tahun kemarin hanya terdapat sedikit kasus penyakit, namun hal tersebut tidak menimbulkan masalah yang berarti bagi Desa Kudumulya.

dijukut sing : http://blogs.unpad.ac.id/ ….kesuwun Kang….

Basa Jawa Cerbon

Bahasa Jawa Cirebon atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai Basa Cerbon ialah sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, (Subang), Jatibarang, Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah.

Dahulu dialek ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad 15-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan kebudayaan Sunda. Dialek Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno Bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya)dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh Bahasa Jawa Baku.

Dialek Cirebon diajarkan di sekolah-sekolah wilayah eks-Karesidenan Cirebon bersama dengan Bahasa Sunda. Di wilayah eks-Karesidenan Cirebon, dialek ini dituturkan oleh mayoritas penduduknya yang bertempat tinggal di sepanjang pantai utara seperti di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka bagian utara, dan Indramayu atau dinamai Dermayon. Sedangkan di Kuningan pada umumnya digunakan bahasa Sunda dialek Cirebon.

Bahasa Cirebon juga memberi pengarih pada bahasa Banten. Asal muasal Kerajaan Banten memang dari laskar gabungan Cirebon-Demak yang berhasil merebut wilayah utara Kerajaan Pajajaran

Contoh:

  • Kepriben kabare, cung? — Bagaimana kabarnya, nak?
  • Isun lunga sing umah — Aku pergi dari rumah
  • Aja gumuyu bae — Jangan tertawa saja
  • Sira arep mendhi? — Kamu mau ke mana?

Ada juga kata-kata yg sering digunakan oleh orang-orang tua dahulu seperti

  • Sruwal: Celana
  • Pinggan: Mangkok
  • Mangan durung?: Sudah makan belum
  • Jonong aja ning kono: Awas jangan di situ

dijukut sing http://wapedia.mobi/ kesuwun, Kang…!

100-an Naskah Kuno di Cirebon Rapuh

SETIDAKNYA 100-an lebih naskah kuno yang tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, rawan rusak.

Minimnya perawatan dan penyimpanan membuat kondisi naskah yang sebagian berupa kertas, lontar, dan kulit hewan menjadi rapuh. Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, putra Sultan Kasepuhan XIII, Cirebon, mengungkapkan hal itu di sela-sela acara seminar Revitalisasi Keraton yang diselenggarakan SMK Pakungwati, Cirebon, di Bangsal Pagelaran, Keraton Kasepuhan, Rabu (3/3/2010).

Menurut Arief, naskah-naskah kuno itu hanya disimpan di lemari, dalam sebuah ruangan di kompleks keraton. Kadar kelembaban tak bisa dipantau. Naskah-naskah yang merupakan turunan dari Sunan Gunung Jati, pendiri Kerajaan Cirebon 600 silam hingga naskah yang berusia sekitar 100 tahun, tidak dirawat secara khusus.

Arief menambahkan, keutuhan naskah-naskah tersebut penting karena sampai kini banyak naskah yang belum diterjemahkan dan diperbanyak. Adjar Prayudi, Kepala Subbidang Penataan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Ciptakarya Kementerian Pekerjaan Umum mengakui ada bantuan dari pemerintah pusat untuk Keraton Kasepuhan, tetapi hanya untuk perbaikan fisik berupa penataan taman dalam keraton senilai Rp 2 miliar. (NIT)

….PRIBEN IKI CO…?? mengko lamun dituku wong luar negeri, bisa’e ribut-ribut…dirawat beli, diopeni beli : iki arane NAMBANG DAWA… 

Sumber: Kompas, Kamis, 4 Maret 2010