PANGGILAN shalat telah dikumandangkan dari Masjid Sang Cipta Rasa. Ini berarti ajakan bagi tiap umat yang bermukim di sekitar masjid untuk merunduk dan bersujud menyembah Allah telah tiba.

NAMUN, berbeda dengan azan di masjid mana pun, azan di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Kasepuhan Cirebon) bukan sekadar dilantunkan seorang muazin, apalagi sekadar bebunyian rekaman kaset belaka, tetapi dilantunkan langsung oleh tujuh (pitu) muazin.

Sebagaimana layaknya sebuah masjid agung, Masjid Sang Cipta Rasa yang dibangun pada tahun 1500-an oleh Wali Songo menjadi “kiblat” masyarakat Cirebon untuk beribadah, terlebih di bulan Ramadhan ini.

Masjid ini dibangun atas petunjuk Sunan Kalijaga, dengan melibatkan 500 tenaga kerja dari Cirebon, Demak, dan sisa punggawa Majapahit.

Saat itu, Sunan Kalijaga dibantu Raden Sepat, arsitek dari Majapahit, seorang yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, dan diboyong Sunan Gunung Jati, salah satu senopati Demak dan Wali Songo.

Sebagai “kiblat” umat Islam Cirebon, tidak heran bila satu hingga dua jam sebelum tiba waktu shalat Jumat, masjid ini telah dipadati umat.

Namun, sesuai tradisi, sebuah lajur tepat di tengah masjid yang berhadapan langsung dengan imam selalu dikosongkan. Dan, di tempat itulah para awak azan pitu nantinya akan menunaikan tugas.

Satu demi satu, ketujuh muazin akan memasuki masjid dari salah satu pintu utara masjid. Secara keseluruhan, masjid ini memiliki sembilan pintu sebagai lambang sembilan wali.

Bersorban putih, berjubah hijau, dengan janggut di dagu, ketujuh muazin berjalan mencapai tempatnya, disertai sambutan jabat tangan umat.

Setelah bersimpuh, sesekali mereka akan “mengiring” umat untuk berzikir sebelum waktu shalat tiba.

Namun, setelah hampir tiba waktu shalat, berdirilah mereka bertujuh dan melantunkan azan. Dan, biasanya pada waktu tersebut, Sultan Kasepuhan beserta keluarga akan memasuki masjid untuk menempati bangsal bagi anggota kerajaan.

MENURUT Khatib Agung Masjid Sang Cipta Rasa, Kyai Hasan M, pada saat masjid dibangun para wali, masyarakat setempat belum memeluk agama Islam. Masyarakat masih memeluk agama Buddha dan Hindu, bahkan ada yang tidak beragama.

Maka, ekses dari pembangunan sebuah masjid adalah sikap penolakan masyarakat setempat.

“Saat itu, terjadi kematian tiga muazin secara berturut-turut. Kematian mereka dirasa aneh dan diduga terkena guna-guna atau kekuatan metafisis tertentu,” kata Hasan.

Rapat pun digelar para Wali Songo. Akhirnya mereka bersujud dan berdoa kepada Allah untuk meminta petunjuk. Sunan Kalijaga yang menerima wahyu Allah kemudian menitahkan agar azan dilakukan oleh tujuh muazin sekaligus.

Alhasil, pada waktu shalat subuh, ketika adzan dikumandangkan tujuh muazin, dari kubah Masjid Sang Cipta Rasa terdengar suara ledakan.

“Hancurlah Aji Menjangan Wulung, sang penunggu masjid oleh suara ketujuh muazin,” kata Hasan. Dengan demikian, mulai saat itu Masjid Sang Cipta Rasa terbebas dari pengaruh gaib yang menghalangi umat Islam untuk berkembang.

Hasan mengisahkan, saat terjadinya ledakan, kubah masjid “terbang” terpental hingga Banten sehingga layaklah bila Masjid Agung Banten memiliki dua kubah.

Dia menjelaskan bahwa peristiwa itulah yang menjadi akar penyebab tidak dimilikinya kubah oleh Masjid Sang Cipta Rasa.

Namun, penduduk setempat memiliki kisah tersendiri. Menurut mereka, asal-muasal azan pitu berasal dari adanya kelompok masyarakat di sekitar Masjid Sang Cipta Rasa.

Untuk memenuhi asas keadilan, terutama pihak mana yang berhak melantunkan azan, maka para wali sepakat menunjuk seorang wakil dari masing-masing kelompok untuk menjadi muazin.

Menanggapi dua versi azan pitu, Hasan tetap beranggapan bahwa kisah versi dialah yang benar. (HARYO DAMARDONO)

Kesuwun kanggo http://www2.kompas.com sing tak jukut tulisane…kesuwun Kang!