ALUNAN gending gamelan yang ditabuh para nagaya terdengar apik di Keraton Kasepuhan Cirebon. Ritme lagu-lagu buhun seolah membawa siapa pun yang mendengarkan terbawa ke masa silam. Masa di mana para waliyullah berjuang mendakwahkan Islam.

Iringan gamelan sekaten yang dibawa sembilan nayaga mulai terdengar jelas saat Sultan Kasepuhan, Sultan Maulana Pakuningrat keluar dari Masjid Sang Cipta Rasa seusai melaksanakan salat id. Dari jarak sekitar 100 meter, sang Sultan pun kembali ke istananya. Gending-gending buhun seperti Kodok Ngorek, Sekatenan dan Bango Butak pun masih diperdengarkan sembari mengiringi warga Cirebon bersilaturahim, sungkem dengan sang Sultan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang setia mendengarkan irama dari gamelan sekaten yang dimainkan dari bangunan Siti Inggil.

Azan zuhur pun akhirnya berkumandang, selesailah para nayaga melaksanakan tugas mereka. Seperangkat gamelan kuno yang sejak subuh diangkut dari museum pun dikembalikan lagi ke tempat asalnya.

 “Ini sudah tradisi,” tutur Pangeran Raja Adipati (PRA) Arif Natadiningrat. gamelan sekaten hanya diperdengarkan dua kali dalam setahun, yaitu usai salat id pada Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan sekaten merupakan seperangkat gamelan kuno warisan Raden Pati Unus, Raja Islam Demak II. Gamelan yang diwariskan kepada Keraton Kasepuhan sekitar 1429 M itu sebelumnya digunakan sebagai sarana dakwah Islam yang dilakukan sejak Raden Patah memangku jabatan sebagai Raja Islam Demak pada awal abad XV.

Kemudian Gamelan sekaten ini diwariskan kepada Nyi Mas Ratu Mulung Ayu, puteri Syech Sunan Gunung Jati yang merupakan menantu dari Raden Pati Unus. Di masa Sultan memimpin pemerintahan di Keraton Kasepuhan, gamelan sekaten sering dipakai untuk mengiringi hiburan wayang kulit. Namun, setelah itu gamelan sekaten hanya disimpan di museum dan akan dimainkan setahun dua kali usai salat id sesuai dengan wasiat dari Raden Pati Unus.

Kesembilan alat musik gamelan kuno berlaraskan madenda itu terbuat dari bahan logam perunggu. Terdiri dari dua rangkaian bonang sebanyak 14 buah, beduk, kendang, kebluk, gong, dua buah saron dan serangkaian jengglong. Gamelan kuno ini dimainkan sembilan orang nayaga atau penabuh gamelan yang secara rutin berlatih sebulan sekali di museum. “Tidak hanya nayaga, tapi keluarga keraton pun diwajibkan untuk berlatih gamelan untuk mengantisipasi jika ada di antara para nayaga yang meninggal dunia.

Tiga buah gending kuno yang sering dimainkan para nayaga memiliki arti masing-masing. Gending Kodok Ngorek, misalnya, dilantunkan untuk memanggil hujan, gending sekatenan mengiringi masyarakat masuk memeluk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan gending Bango Butak sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk Islam. Karena perawatan cukup apik, semua jenis alat musik tabuh sekaten yang sudah berusia lebih dari 600 tahun itu masih nampak bagus dan utuh. Bahkan termasuk tempat gamelan yang terbuat dari kayu jati. Karenanya, suaranya pun masih terdengar nyaring dan empuk sehingga tanpa dibantu alat pengeras pun suaranya bisa didengar dari kejauhan.

Selaku putra mahkota, PRA Arif Natadingrat mengaku bangga dengan tradisi yang hingga kini masih terpelihara dengan baik. “Bahkan tidak hanya keluarga keraton yang menikmatinya, warga Cirebon lainnya pun masih mendengarkan dengan seksama gending-gending lawas yang dimainkan dari gamelan sekaten,” katanya. Bahkan banyak sekali di antara warga Cirebon yang sengaja datang ke keraton hanya untuk mendengarkan gending-gending sakral yang hanya dimainkan dua kali dalam setahun itu.

Karena itu, seluruh keluarga keraton Kasepuhan akan selalu berusaha untuk menjaga barang pusaka peninggalan leluhur. Termasuk melestarikan tradisinya. Karena jika tidak dijaga, jati diri Cirebon akan hilang.(M-4)

Oleh, Nurul Hidayah

Kesuwun kanggo http://mediaindonesia.com sing wis tak jukut tulisane…